Gadfly

71 13 2
                                    

Dalam perjalanan pulang sekolah, Lea menemukan tentara yang dimarahi oleh atasannya tadi pagi kini tengah duduk merenung di pinggir lapangan yang kosong. Lea mengerutkan kening, hendak lewat begitu saja andai lelaki berusia sekitar tujuh belas tahun itu tidak memanggilnya.

"Apa aku juga tidak terlihat bagimu? Padahal tadi pagi kita bertatapan?" Suaranya agak kasar, seperti menahan kemarahan.

"Bukankah masalahmu bukan urusanku?" Sahut Lea, heran.

Lelaki itu menoleh dan tersenyum miring. "Kupikir untuk ukuran anak SD, kamu sudah cukup kurang ajar!"

Lelaki itu bergerak mendekat dan membungkuk untuk melihat wajah Lea lebih dekat, namun kemudian tertegun.
"Apa yang terjadi padamu?" Tanyanya, seolah tau sesuatu.

"Apa kamu mau aku belikan sesuatu?" Sahut Lea, membelokkan percakapan.

Mereka berada di sebuah warung makan terdekat. Tentu saja hanya lelaki kelaparan itu yang makan, sementara Lea hanyut dalam diamnya.
"Ah! Tidak kukira makanan disini seenak ini!" Ucap tentara asing itu, melahap nasi kare yang di traktir oleh Lea dengan bersemangat. "Kamu tau? Aku dilarang makan sejak pagi karena gagal mengenai sasaran tembak!" Celotehnya, tidak segalak tadi.

Lea diam saja, menatap ke arah lain dengan sikap tidak peduli. Entah berapa lama, atau apa saja yang dia ucapkan, Lea kembali sadar saat seseorang mengguncang tubuhnya.

"Maaf, Nak. Kami mau tutup," ucap Si Pemilik warung, membuat Lea kaget karena ternyata matahari sudah hampir terbenam.

Dia tertidur? Lebih dari dua jam?? Lea keluar dari warung dengan ekspresi kaget.
"Hei, anak kecil!" Seseorang berseru dan anehnya membuat Lea menoleh. Tentara tadi kini melambai dengan senyum lebar ke arahnya.

Lea mengerjab, mengerutkan kening kemudian memilih pergi. Yaya pasti cemas karena dia pulang sangat terlambat. Apa yang harus dia katakan pada Yaya?

"Hei! Mau kemana?" Tentara itu segera mengejar.

"Tentu saja pulang!" Sahut Lea, agak kesal. "Ini sudah hampir malam!"

"Aku akan menemanimu! Kamu bisa di culik orang jahat kalau berjalan sendirian," ucap tentara itu, tampak ingin menakut-nakuti. Lea tidak peduli, dan terus melangkah terburu-buru.

"Ngomong-ngomong, siapa namamu, bocah?" Tanya tentara itu. "Aku Karkaroff. Panggil saja, Kar!"

Wilayah sekitar tempat Lea tinggal memang banyak terjadi kejahatan. Perampokan, pencurian, jual beli narkoba, bukanlah hal yang baru Lea dengar. Namun, merampok atau memeras neneknya adalah cerita lain.

"Yaya!" Panggil Lea, saat melihat neneknya sedang di ganggu oleh seseorang berpenampilan urakan. Sebuah pisau menempel di dagu neneknya. Dari tempatnya berdiri, Lea bisa mendengar lirih percakapan mereka yang intinya; orang asing itu meminta uang secara paksa!

"Sungguh! Bukankah aku selalu memberimu uang jika ada? Sekarang aku sedang terburu-buru karena cucuku belum pulang dari sekolah! Biar kan aku lewat sekali ini, aja!"

Lea berlari dengan kaki kecilnya, berusaha untuk menyelamatkan neneknya. Namun, belum sempat dia sampai ke tempat neneknya, suara tembakan melayang di atas kepala Lea dan melewati kepala perampas itu hingga membuatnya mati di tempat.

"AKH!" Lea menjerit terkejut. Duduk membeku sambil menutup mata dan telinganya. Seseorang mengguncang tubuh Lea yang kaku dan gemetaran dengan kuat.

"Lea! Lea! Kamu baik-baik saja?" Suara neneknya terdengar setelah beberapa waktu berlalu. Lea membuka mata lagi, dan kiri mereka di kerubungi oleh orang-orang yang ingin tau.

###

Sudah satu minggu Lea tidak bisa berangkat sekolah karena sakit. Lebih tepatnya, traumanya kambuh lagi setelah melihat pembunuhan singkat perampok yang juga telah melukai Yaya. Teman-teman sekolah, di dampingi Bu Latifa sempat menjenguk Lea, namun tidak berarti apa-apa.

Saat akhirnya Lea kembali sekolah, Bu Latifa segera mendekatinya. Guru perempuan itu tidak lagi bertanya tentang apa yang telah terjadi, tapi mengajak Lea mengobrol tentang hal-hal random.

"Lea, apakah kamu pernah dengar tentang cerita Nabi Musa a.s dan Nabi Khidir a.s?" Saat jam istirahat, Bu Latifa duduk di bawah pohon besar bersama Lea yang menikmati langit seperti biasa.

"Kakek Miftah, salah tetangga saya pernah menceritakan hal itu," jawab Lea pendek.

"Jadi, kamu tau kalau Nabi Khidir masih hidup hingga saat ini?" Tanya Bu Latifa, tertarik.

"Ya. Beliau di perintah Allah untuk menjaga telaga yang memiliki air yang bisa membuat manusia hidup abadi," jawab Lea lagi.

"Kamu benar. Tapi, apa nama danau itu, Lea?"

"Telaga Auinul Hayat," Lea menoleh dan mengerutkan kening ke arah Bu Latifa saat menjawab pertanyaan itu. Beliau tersenyum lembut saat Lea memandangnya. "Orang-orang bodoh!"

"Ya?" Ekspresi Bu Latifa berubah kaget.

"Orang-orang yang ingin hidup abadi itu, orang-orang bodoh. Kenapa mereka sangat menyukai dunia yang menyesakkan ini? Tidak ada hal yang bagus untuk dipertahankan," lanjutnya.

Bu Latifa sempat terperangah, tapi kemudian kembali tersenyum.
"Bukankah alasan telaga itu dijaga, karena diinginkan oleh orang-orang jahat? Dalam Al-Quran sudah di beri tau, bahwa dunia ini hanya terasa menyenangkan bagi orang-orang yang tidak beriman. Bahkan ada yang bilang, dunia ini seperti penjara. Jadi mungkin, orang-orang bodoh yang kamu sebut adalah para penjahat yang menikmati dunia ini," katanya.

"Apakah saya tampak seperti seseorang yang beriman?" Lea bertanya dengan mata berkaca-kaca hendak menangis.

Bu Latifa menyentuh wajah Lea lembut dan tersenyum.
"Allah pasti sangat mencintaimu, Azalea. Bersabarlah, dan kamu akan melihat apa yang Allah rencanakan. In Sha Allah, kamu akan bahagia karenanya."

Sungguh bodoh berbicara seperti itu pada anak umur 7 tahun, tapi toh, bagi Bu Latifa, dia belum pernah bertemu anak umur 7 tahun yang memiliki penderitaan seperti yang Lea tampakkan dalam diamnya.

"Bicaralah pada ibu kalau kamu butuh sesuatu, oke? Bahkan hanya untuk pelukan, ibu akan memberikannya, sebanyak yang Azalea inginkan!"

###

Sepulang sekolah, Lea tidak menyadari kalau Karkaroff sedang menunggunya di lapangan tempat biasa. Padahal tadi pagi, Lea tidak melihat para tentara disana.

"Hei, bocah! Kenapa tidak sekolah seminggu belakangan ini? Apa kamu terluka?" Sapanya dengan gaya sok jagoan.

"Kenapa mencariku?" Sahut Lea ogah-ogahan.

"Hmm... Menangih ucapan terimakasih?" Jawabnya, membuat Lea berhenti berjalan dan menoleh.

"Ucapan terimakasih?"

"Aku sudah membantumu, atau kenalanmu sore itu, ingat? Dari perampok?" Lea ingat suara tembakan itu, dan segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Apa kamu tidak punya cara lain selain menembak orang?" Tanya Lea, agak memprotes. Kepalanya juga agak pusing karena menggelengkan kepala terlalu kuat.

"Tentu saja bisa! Aku lebih jago bela diri daripada menembak!" Jawab Karkaroff bangga. "Tapi, aku tidak boleh sembarangan menunjukkan wajahku disini! Yah, meskipun kami punya seseorang yang akan mengurus itu!"

"Aku tidak mengerti apa yang sedang kamu bual, kan!" Tukas Lea.

Karkaroff mengerutkan kening saat menatap Lea, tapi kemudian menganggukkam kepala.
"Tentu saja. Biar bagaimana pun, kamu ini cuma anak kecil. Baiklah! Bagaimana kalau aku ajari beladiri? Supaya saat aku pergi dari sini, kamu bisa melawan seseorang yang akan menyakitimu?"

Lea mengerjabkan mata mendengar hal itu.
"TENTU SAJA!" Sahutnya, untuk pertama kali dalam satu tahun merasakan sebuah keinginan. "Kapan kita akan berlatih?"

"Aku harus melihat dan mencocokkannya dengan jadwal latihanku dulu, bocah! Sana, pulanglah! Besok aku akan mengabarimu!" Karkaroff juga tampak senang dengan reaksi Lea.

"Oke! Kamu tidak akan ingkar janji, kan?"

"Tentu saja. Aku berjanji akan melatihmu beladiri!" Karkaroff meletakkan tangannya di atas dada, pertanda janji.

###

The Crown PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang