Jane mencoba menetralkan nafasnya yang sangat tak beraturan sebelum membuka pintu. Mirael Kassa Parker—sepupunya—sudah ada di depan pintu selama sepuluh menit. Saat Jane membuka pintu, Kassa sudah melipat kedua tangannya di dadanya. Bibirnya ditekuk, terlihat kesal usai menunggu Jane yang tak kunjung muncul padahal ia ada di dalam unitnya.
"Aku baru saja berpikir untuk menendang pintu ini." Perkataannya tentu saja sindiran karena ia menunggu Jane terlalu lama di depan pintu. Kassa memperhatikan perempuan itu dari atas ke bawah. Meneliti sesuatu dari wajah hingga ke kakinya. "Kurasa kamu sepertinya punya pacar baru."
"Sok tahu sekali."
Ia hanya tersenyum simpul melihat Jane yang bertanya-tanya. Kassa itu pandai membaca gerak-geriknya. Apalagi, keduanya dekat sejak kecil. Tak heran perempuan itu hafal dengan berbagai tingkah lakunya. Kassa berhenti tepat di depan rak sepatu. Ia harus melepaskan heels miliknya. Jane melotot melihat sepatu Andrew yang masih ada di lantai unitnya. Ia lupa menyembunyikan sepatu itu. Kassa pasti melihatnya. Ia pasti tahu jika ada tamu yang datang di rumah ini.
"Anggap saja aku tidak melihat sepatu itu. Entah milik siapa, tapi besarnya seperti milik Sean." Kassa hampir benar, memang Andrew punya tinggi yang mirip Sean. Tapi sudah pasti bukan Sean yang datang ke kamarnya. "Walaupun aku yakin Sean tidak akan mendatangi unit ini kalau bukan untuk urusan uang dan Adel."
"Aku juga akan pura-pura tidak melihat ini." Kassa menunjuk sebuah bungkusan yang Andrew bawakan untuk Jane. Masih ada di atas meja makannya, perempuan itu lupa menyingkirkannya. "Omong-omong, Mama memintaku membawakanmu rendang. Hari ini Mama memasakan banyak rendang."
"Terima kasih banyak, nanti aku akan mampir ke rumah sebelum kita pergi minum." Jane mengambil alih totebag berisi sekotak makan rendang yang dimasak oleh tantenya. Vania sering kali memasukkan rendang yang kerap kali ia nikmatin jika berkunjung ke kediaman Parker.
Tatapan Jane beralih mengamati Kassa yang hari ini terlalu rapi untuk datang ke apartemennya. Biasanya, ia hanya akan menggunakan hoodie warna hitam kesukaannya, dibandingkan menggunakan kemeja dengan celana bahan dan heels. "Apa kamu akan pergi ke suatu tempat?"
Kassa menghela nafasnya pelan. Jane tahu, sebentar lagi Kassa akan menumpahkan semua kekesalannya. "Aku benci melakukannya, tetapi Noah Johnson memintaku mewawancarainya hari Sabtu. Aku ulangi, hari Sabtu. Konyol, kan? Di saat semua orang sedang istirahat di rumah, aku harus berlari mengejar Noah Johnson untuk mewawancarainya."
Tawa Jane pecah mendengar keluhan itu disebabkan oleh Noah Johnson. Baginya, Noah tak asing untuk Jane. Ia merupakan teman baik Sean hingga Jane sering bertemu dengannya. Entah saat acara keluarga atau pada saat liburan bersama.
Noah sendiri merupakan salah satu anggota The Alexandria. Kelompok pelajar sekolah The Alexandria yang tidak sengaja jadi begitu terkenal usai West Wilton memilih menjadi seorang artis.
Sejak dulu Jane sering menikmati intensi antara Noah dan Kassa. Keduanya mulanya berteman dekat. Namun, aroma busuk permusuhan kemudian tercium olehnya. Sejak saat itu, Kassa sebisa mungkin menjauhkan Noah yang selalu mempersulit langkahnya. Mereka perang dingin, terlebih diantara semua anak The Alexandria.
"Aku ingat jika aku meninggalkan koperku di sini." Kassa langsung masuk ke kamar Jane tanpa aba-aba. Sontak Jane berjalan cepat untuk menghalanginya. Ia tidak boleh menemukan Andrew yang tengah bersembunyi di dalam lemarinya.
"Aku akan ambilkan." Katanya sembari menarik Kassa mundur dari lemarinya. Ia membiarkan Kassa duduk di atas sofanya. Ia tidak memberinya celah sedikit saja untuk mendekati lemari. "Kamu tunggu di sini."
Jantungnya berdegup kencang karena ulah Kassa yang tak bisa ditebaknya. Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika ia menemukan Andrew di lemari. Mungkin awalnya syok tapi tak lama pasti perempuan itu akan meledeknya habis-habisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Games With Love
ChickLitAndrew penasaran dengan Jeanne Clark-teman adiknya. Ia pikir rasa penasaran itu akan usai ketika ia memutuskan mengenalnya lebih dekat. Tetapi, ternyata tidak sesederhana yang ia pikirkan. Games With Love | The Alexandria #1