10. Intrik Perebutan Tahta

187 30 63
                                    

"Jadi menurutmu aku harus terbiasa dengan semua kebiasaan permaisuri Zubaidah yang dulu?" Anzilla bertanya pada Halima yang baru saja menerangkan padanya seluk beluk soal kebiasaan permaisuri.

"Ya, Yang Mulia, berusahalah bersikap layaknya permaisuri yang lemah lembut dan lakukan semua kebiasaannya dulu. Seperti kembali mengizinkan para pelayan dan budak membaca alqur'an di sini, dan berhenti bersikap kasar pada Khalifah atau semua orang. Dia adalah raja terbaik yang ada di dunia ini bagi kami seluruh rakyatnya," ujar Halima berusaha meyakinkan.

Mendengar pujian Halima untuk khalifah, Anzilla mendengkus. "Tapi dia punya banyak selir dan wanita yang siap menghangatkan ranjangnya," sanggah Anzilla.

"Permaisuri, Anda tidak boleh bicara kalimat seperti itu di depan orang lain. Sebenarnya wajar bagi para raja memilki banyak selir. Namun, bukan berati hal seperti itu bisa dijadikan alasan untuk memandang rendah seorang raja. Sebab terlepas dari semua itu, khalifah adalah orang yang paling dermawan dan selalu memikirkan rakyatnya. Dia bahkan menyumbangkan hampir seluruh hartanya untuk membangun semua fasilitas publik. Anda hanya belum membuka mata soal kebaikan beliau, nanti ketika Anda sadar, Anda pasti akan kembali jatuh cinta padanya."

Penjelasan Halima soal khalifah membuat Anzilla terdiam, jauh di dasar hati, wanita itu pun mulai ragu dengan kebenciannya pada khalifah. Terlebih setelah dia berinteraksi secara langsung dengannya. Jujur, dari semua laki-laki yang pernah Anzilla temui, hanya Khalifah yang selalu bisa bersabar menghadapi semua sikap buruk Anzilla, bahkan selalu memperlakukannya dengan lembut walau dirinya selalu mengeluarkan kalimat penghinaan yang kasar. Padahal bagi seorang raja, itu adalah hal yang sangat menghancurkan harga dirinya. Namun, doktrin-doktrin buruk soal islam yang didengarnya dari kecil, belum sepenuhnya membuat Anzilla yakin.

Ada satu pertanyaan yang selalu mengganjal di hati Anzilla, mengapa dari semua orang yang ada, harus dirinya yang terjebak di tubuh permaisuri? Anzilla merasa terlalu buruk untuk berada di tubuh mulia Zubaidah yang gemar beribadah. Apakah semua temannya juga terjebak di sini? Agaknya dia harus mulai mencari tahu alih-alih memilih pulang sendirian.

Memikirkan semua itu, Anzilla tiba-tiba bergerak mendekati cermin dengan bingkai emas di kamar itu. Dia menatap pantulan dirinya yang kini berdiri anggun dan cantik dengan gaun satin berwarna lilac. Rambut hitam berhelombangnya tergerai dengan indah.

"Apa dari dulu wajah permaisuri memang seperti ini?" tanya Anzilla tiba-tiba.

Halima dan Aliyah saling berpandangan. "Tentu saja memang seperti itu, Yang Mulia, anda selalu cantik meski sekarang penampilan Anda berubah seperti ini."

Jawaban Halima lagi-lagi membuat Anzilla terdiam. Apa mungkin wajahnya dan permaisuri memang kembar? Tapi bagaimana bisa? batinya terus bertanya.

"Kalau begitu, bisa tolong kamu pakaikan hijab untukku? Aku ingin mencoba terbiasa."

Permintaan tak terduga itu membuat Halima dan Aliyah tersenyum senang. "Anda serius, Yang Mulia?" tanya Aliyah tak percaya.

Anzilla memutar tubuh dan menatap dua dayangnya sebelum mengangguk pasti. "Kau sendiri yang bilang, kan, Halima? Kalau aku harus terbiasa menjadi permaisuri yang dulu demi bisa bertahan di sini? Untuk alasan itu aku akan mencoba. Aku harap kalian juga bisa sabar menghadapi sikap anah ku sampai beberapa waktu ke depan."

"Tentu saja, Yang Mulia, dengan senang hati kami akan membantu," jawab Aliyah mantap. Kata-katanya disetujui Halima dengan anggukan.

"Jadi, aku harus mulai darimana agar mereka tak menganggap aku aneh?" tanya Anzilla.

"Nanti hamba akan memberikan daftar apa saja yang harus Anda pelajari tentang permaisuri dan kebiasaannya dulu."

Anzilla mengangguk mendengar ucapan Halima. Dia ingin mencoba menerima semua keadaan yang ada dan mencari jawaban dari semua peristiwa ini.

***

"Sebenarnya ada apa dengan ibuku? Kenapa dia jadi seperti itu, Guru?" tanya Al-amin pada guru spiritualnya.

Laki-laki dengan perut buncit itu menatap Al-Amin sejenak lalu menjawab. "Seperti yang sudah khalifah katakan sebelumnya, Putra Mahkota, ibu Anda sepertinya tengah sakit. Dari rumor yang beredar di istana, beliau mengalami perubahan sikap yang sangat drastis, dari wanita berbudi luhur menjadi wanita yang kasar, bahkan selalu terang-terangan memusuhi raja. Tapi dari semua itu, yang paling membahayakan adalah sikap gamblangnya dalam berpihak pada pangeran Al-Ma'mun. Anda melihatnya sendiri bukan?"

Mendengar ucapan sang guru, Al-Amin terdiam. Remaja itu mengatupkan rahang ketika membayangkan adegan sang ibu memeluk saudara tirinya dengan penuh perhatian. Bahkan terang-terangan menyindirnya di depan semua orang.

"Aku harus menanyakan semua ini pada ayah. Sebenarnya apa yang sudah merasuki Ibu sehingga dia jadi memusuhiku seperti ini." Setelah mengatakan itu, Al-Amin pun keluar dari kediamannya dan bermaksud menemui khalifah.

Namun, ternyata sang khalifah tengah mengadakan pertemuan dengan para menterinya di aula kerajaan. "Maaf, Pangeran, Raja tengah menghadiri rapat darurat hari ini, karena para menteri sedang mengeluhkan soal permaisuri."

Perkataan kasim raja, membuat Al-Amin urung masuk. Laki-laki itu pun bergegas menuju ke aula untuk mengikuti rapat. Dia harus mencegah siapa pun menjatuhkan ibunya, atau kesempatannya menjadi raja akan beralih pada Al-mamun. Sebab selama ini dukungan klan bani Hasyim lah yang membuatnya menjadi kandidat paling kuat untuk naik tahta, terlepas dari tak seberapa kompeten dirinya dibanding sang kakak, Al-Ma'mun.

Otomatis jika ibunya digulingkan, para musuh-musuh mereka akan bersatu untuk membuat Al-Amin di depak dari garis suksesi. Apa lagi dia tahu bahwa khalifah diam-diam sudah merencanakan suksesi untuk Al-ma'mun. Meski ayahnya itu tak secara terang-terangan mendukung, tetap saja jika dukungan bani Hasyim melemah, maka siapapun bisa memanfaatkan itu termasuk ayahnya.

Melihat kemarahan Al-Amin, Al-Malik justru menyunggingkan senyum licik. Laki-laki itu pun langsung menuju kediaman selir Kasif untuk mengadukan berita itu. Ternyata di kediaman selir Kasif, sudah ada Areta.

"Ada apa, Tuan Guru? sepertinya Anda datang dengan sebuah berita gembira?" tanya selir Areta setelah mereka saling mengucap salam.

"Para menteri sedang mengadakan rapat darurat, sepertinya ini terkait keluhan mereka atas sikap permaisuri belakangan ini."

"Benarkah? Apa itu berarti aku memiliki kesempatan merebut posisi Zubaidah?" tanya Areta penuh semangat.

"Sst ... jangan terlalu kencang, Areta, perkataanmu bisa didengar oleh orang lain," selir Kasif mempetingatkan.

Menyadari dirinya terlalu antusias, Areta pun membekap mulutnya. Tingkah wanita itu justru membuat Al-Malik semakin menyadari, bahwa wanita itu bisa sangat berguna untuk digunakan sebagai alat menjatuhkan Zubaidah dan membuat Al-Qasim, anak selir Kasif, naik tahta.

Sekali mendayung dua pulau terlampaui, balas dendamnya pada Zubaidah karena kematian salah satu keponakannya, sekaligus kesempatan membuat Al-Qasim naik tahta akan terbuka lebar. Sebab menurutnya, pengaruh kuat bani Hasyim memang harus dilenyapkan, karena selama ini mereka lah yang loyal menyokong Al-Amin lewat garis keturunan murni dari ibunya, sedang Kahlifah masih memiliki darah Persia dari Kayzuran, ibunya.

Jadi alasan Al-Amin tidak bisa begitu saja diturunkan dari suksesi tahta adalah, karena dia lah satu-satunya Putra Mahkota yang memiliki darah murni dari bangsa Arab. Bahkan Khalifah pun tak bisa berbuat apa-apa meski yang dia inginkan untuk meneruskan tahta adalah Al-ma'mun. Khalifah memilih diam bukan tanpa alasan, dia hanya tak ingin ada pertumpahan darah di antara putra-putranya dalam memperebutkan tahta.

Anzilla dan Sang KhalifahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang