Bab 15

34 11 34
                                    

Tok! Tok! Tok!

"Kyra, udah bangun belum?"

"Sampun, Amma."

"Ayo kita sarapan bareng."

"Amma, Kyra belum bisa—"

"Eyang kamu menunggu di meja makan, sayang."

Kyra lalu menghela napas. "Nggih, Amma. Kyra menyusul sebentar lagi." balasnya mengalah pada sang tante.

Seperti biasa, ketika sedang sendirian, Kyra akan menghabiskan waktu berdiri di belakang jendela kamarnya. Memandangi langit, mengamati orang-orang yang lewat di bawah sana, atau sekedar melamun di balik kusen jendelanya. Hal itu yang selalu Kyra lakukan jika semua jadwal dan kegiatan telah selesai dia kerjakan. Apalagi, kini Kyra tengah berada di rumah eyangnya—ndalem Pesantren As-Shiddiq milik keluarga uminya tanpa benda elektronik sama sekali. Ponsel dan iPadnya di simpan oleh Lidya sementara Kyra meninggalkan laptop birunya di Bogor.

Beberapa hari yang lalu Arkan memang membawa Kyra ke tempat sang mertua. Untuk alasan yang belum Kyra pahami, abinya itu meninggalkan dia di tempat ini. Menitipkan Kyra pada orang-orang terbaik yang—sebenarnya jika bisa, ingin Kyra hindari untuk sementara. Bukan karena Kyra merasa tidak nyaman dengan keluarga uminya, hanya saja, seperti yang dia ungkapkan tempo hari, Kyra sungguh merasa malu muncul di hadapan keluarga Eyang Luthfi dengan kondisinya saat ini. Walau semua orang telah membesarkan hati Kyra, gadis itu tetap merasa bersalah karena telah menjadi aib bagi keluarganya.

Kyra menghela napas panjang sekali lagi. Membenarkan tatanan jilbab instannya dan memakai kos kakinya lalu mulai melangkah keluar kamar. Dia telah membuat eyang beserta ammi dan ammanya menunggu di meja makan. Sungguh perilaku yang tidak menunjukkan sopan santun sama sekali.

'Selamat, kamu berhasil merepotkan semua orang, Kyra.' batin gadis itu mencibir.

Saat sampai di balik pintu ruang makan, Kyra mengernyit mendengar suara yang lebih ramai dari biasanya. Tiga hari berada di Jombang, ndalem As-Shiddiq hanya di huni oleh mereka berempat—Eyang Luthfi, Ammi Lukman, Amma Nurul dan dirinya. Santri ndalem hanya datang di saat-saat tertentu untuk membantu Ammanya. Dan kalaupun itu para santri, Kyra ragu mereka akan mengeluarkan suara ramai yang berisik seperti saat ini jika sedang bersama dengan Kyai mereka.

Kyra mengangkat bahu lalu memutuskan masuk. Melihat secara langsung alih-alih berasumsi seorang diri.

"Eyang, maaf Kyra—"

"Princess!"

Kyra termangu. Kalimatnya terhenti bersamaan dengan gerakannya yang sontak terpaku di ambang pintu melihat sosok yang tengah tersenyum sumringah menatapnya di depan sana.

Seorang laki-laki matang nan tampan diusia akhir tiga puluh. Pemilik senyum cerah menawan dengan mata coklat berkilat tajam berdiri tak jauh darinya, merentangkan kedua tangan lebar-lebar seakan mengundang Kyra datang dalam dekapannya.

Dan memang itu yang dilakukan oleh Kyra. Dia berlari menghambur menuju tubuh tegap yang menantinya. Memeluk laki-laki itu erat dengan mata yang ntah sejak kapan telah menitikkan air mata.

"Om Aryan..."

"Hello, Princess..."

Aryan Widihartoyo. Adik bungsu mendiang ayahnya yang memilih menetap di Kota Makassar, memimpin cabang bisnis Widihartoyo Group di Pulau Sulawesi sejak lima tahun lalu bersama keluarga kecilnya. Aryan terhitung cukup sering mengunjungi Surabaya. Tapi dikarenakan Kyra berkuliah di ujung pulau yang berseberangan dengan tanah kelahiran, Aryan jarang bertemu dengan satu-satunya keponakan perempuannya itu.

Di Penghujung Jalan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang