Ch. 07 : Putra Mahkota

182 17 64
                                    

Matahari mulai menampakkan dirinya dari ufuk timur. Kicauan burung-burung terdengar merdu dari luar ruangan. Ruangan sederhana yang ditempati oleh pelayan kecil sepertiku.

Ranjangnya sangat-sangat tidak empuk. Keras dan membuat punggungku sakit. Paling parahnya, tidak ada benda favoritku saat tidur. Rasanya ada yang hilang. Guling.

Argh! Kenapa tidak ada guling? Hanya ada benda kotak panjang yang orang zaman ini gunakan untuk alas kepala mereka.

Tidak ada selimut. Tidak ada guling. Membuatku tidak bisa tidur nyenyak. Malam kuhabiskan dengan merenungi nasib yang menimpaku.

Rasanya ini masih seperti mimpi. Aku yang dulunya seorang pekerja kantoran berubah status dalam sekejap menjadi seorang pelayan rendahan di zaman kuno pula.

Aish. Jika saja aku menjadi seorang putri kerajaan besar, dengan lapang dada aku menerimanya. Lah, ini? Malah jadi pelayan pula.

Ah, sudahlah. Teriakan dari luar sedari tadi mengangguku kegiatan pentingku, merenungi nasib.

"Cepat keluar! Kita harus bekerja!" teriak seseorang yang tidak kuketahui. Mungkin gadis itu pelayan juga, pikirku.

Dalam keadaan belum mandi dan sarapan. Aku menjalani aktivitas seorang pelayan. Mulai dari memasak, manyapu halaman hingga menjemur pakaian.

Aku melakukannya dengan hati-hati, walau jujur hati ini terasa malas. Andai aku bisa tidur hingga siang hari, menikmati hidup. Bahkan di kehidupanku sebelumnya, aku hanya bisa menghabiskan hari dengan bekerja-bekerja dan bekerja. Hanya pekerjaan yang setia menemaniku hingga akhirnya aku memiliki seorang pacar pertamaku.

Tapi, sepertinya takdir memang suka membuatku seperti lelucon. Aku malah berakhir diputusi dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Hanya karena pakaianku. Padahal aku sudah effort untuk sekedar bertemu dengan pria sialan itu di tengah kesibukanku mengerjakan pekerjaan kantor. Namanya pria tidak tahu diuntung, sudah dikasih hati malah minta ditabok.

Mengingatnya kembali membuatku emosi seketika. "Harusnya aku memukul wajah sok tampannya itu dan mencakarnya menggunakan kuku panjangku!"

Tidak sadar aku yang seharusnya menyapu halaman penuh daun-daun kering ini agar bersih, malah semakin membuatnya berantakan.

"Apa yang kau lakukan?" Pertanyaan dingin seseorang dari balik tubuhku membuatku kaget bukan main hingga membuat sapu lidi terlepas begitu saja dari genggamanku.

Aku langsung berbalik dengan perasaan cemas. Mataku langsung menangkap pemandangan seorang pria berpakaian penuh kemewahan. Hanfu yang dikenakan dari sulaman dan bordiran emas. Pasti mahal.

Di belakangnya terdapat banyak orang yang mengikutinya. Apakah orang ini memiliki status tinggi di sini?

"Ada apa ya?" tanyaku bingung. Aku tidak mengenal pria di depanku ini. Jadi, aku berusaha memberikan kesan baik dengan berbicara dengan tutur kata sopan.

"Tidak ada sopan santun! Kau pelayan rendahan!" sela seseorang berteriak.

Aku menatap orang yang berteriak itu dengan tatapan bingung. Aku memang seorang pelayan kecil. Tetapi, bisa tidak usah diperjelas begitu? Membuatku seperti rendahan saja.

Aku menatapnya nyalang. Tidak terima diteriaki seperti itu, aku pun membalasnya tanpa pikir panjang. "Heh? Pelayan rendahan?!" seruku tidak terima.

"Hei, pria tua! Jaga ucapanmu itu! Enak saja mengatakan orang rendahan!" lanjutku membuat raut pria tua itu keruh.

Aku tidak menyadari tatapan penuh permusuhan dari berbagai pasang mata yang melihat. Pandanganku hanya berfokus pada pria tua itu yang mulai membisikkan sesuatu kepada pria berhanfu mewah di depannya.

Para Pangeran Tampan Ini Milikku! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang