𑁍𑁍 (P A R T 𑁍𑁍 10) 𑁍𑁍

65 2 1
                                    

✼  ҉  ✼  ҉  ✼ ✼  ҉  ✼  ҉

ROSY SUNSET

Aku tengah melihatnya yang tak berhenti berlarian kesana kemari dengan senangnya, ketika kami baru saja menginjakkan kaki di pantai sore ini. Bagaimana kami bisa berada di sini? Jangan tanya lagi. Tentu saja semua itu karena ulahnya. Dengan ancaman konyolnya yang akan nekat kabur dari rumah, jika sampai aku tidak mau menemaninya pergi ke pantai sore ini. Hah! Dia benar-benar membuatku seperti seorang pengasuh sekaligus bodyguard pribadinya saja.

Dan kini tanpa ragu, ia bahkan melepas sepatunya itu dengan sesuka hati. Tanpa rasa bersalah pula, ia malah menyodorkan sepatu miliknya itu padaku. Membuatku mau tak mau harus menjinjingkan sepatu miliknya itu untuk sementara waktu. Sementara ia sendiri asik bermain air dan pasir pantai tanpa menghiraukan sekitarnya lagi. Aku memang tidak ada niatan untuk bermain di pantai sepertinya. Apalagi untuk menikmati sapuan air laut dengan kaki telanjang, misalnya. Jadi, aku lebih memilih berada di pinggiran pantai dan menikmati pemandangannya saja dari sana.

Dia ...

Bagaimana wajahnya bisa terlihat begitu cerah hari ini? Apalagi saat cahaya jingga yang mulai memudar itu menerpa wajahnya. Keberadaannya dan suasana senja hari ini menjadi pemandangan yang sangat indah di mataku. Meskipun semua itu tidaklah cukup untuk menutupi wajah aslinya yang terlihat pucat pasi hari ini. Ada apa dengannya? Apakah ia tengah menahan dan menyembunyikan rasa sakitnya itu dariku? Namun, aku sendiri tidak cukup berani untuk menanyakan hal itu padanya. Ya, ia benar-benar seseorang yang hebat. Hingga senyum manis dan cerianya itu selalu bisa terkembang sempurna di wajahnya setiap saat. Tanpa orang lain tahu bagaimana kenyataan yang sebenarnya.

"Apakah tidak akan menjadi masalah besar jika kau terus menyembunyikan penyakitmu itu dari keluargamu dan juga teman-temanmu?" tanyaku penasaran bercampur khawatir, sembari memilih duduk di atas bebatuan yang tak jauh dari tempatnya bermain air.

"Ehm ... tidak apa-apa. Tidak masalah." Dengan santainya ia tetap asik bermain air dengan kaki kecilnya. Mirip seperti bocah lima tahunan yang senang bermain air.

"Terutama, Zhao Lusi. Ia tidak boleh tahu. Anak itu sangat emosional sekali. Jika aku mengatakan hal yang sebenarnya, ia pasti tidak akan mau berhenti menangisiku. Itu tidak akan terlihat menyenangkan, kan?" Perlahan ia mulai berjalan menjauh dari tempatku berada sembari masih memainkan air dengan senangnya. Entahlah. Aku sendiri tidak begitu yakin. Apakah ia benar-benar merasa senang saat ini? Seakan ia benar-benar bisa menikmati setiap waktu yang telah dilaluinya itu dengan penuh rasa bahagia.

Setelah beberapa saat lamanya hanya bergelut dengan pikiranku, kini aku melihatnya telah berdiri membelakangiku menghadap ke arah laut lepas di depan sana. Mungkin saja ia tengah melihat sang mentari yang perlahan mulai tenggelam di peraduannya. Atau bisa jadi keduanya. Tak lama setelahnya, ia beralih menatap sesuatu yang nampak berkilau di tangannya. Mungkin saja itu hanya sebuah batu unik yang sempat ditemukannya tadi. Entahlah. Karena dari posisiku sekarang tidaklah terlihat begitu jelas. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ia lakukan di sana.

Aku masih setia memandanginya dari tempatku semula. Dia sungguh seseorang yang terlahir dengan penuh semangat dan keceriaan. Terkadang hal itu membuatku ragu. Apakah ia benar-benar akan mati karena penyakitnya itu? Bagaimana penyakit itu bisa mengalahkan seseorang yang sehebat dan sekuat dirinya? Dia yang tak pernah mengeluh dengan keadaan. Dia yang tak pernah menyerah dengan kehidupan. Dan kenapa Tuhan harus memilihnya? Kupikir, ia terlalu baik. Ya, kelewat baik, kelewat ceria dan terlalu berharga jika harus pergi secepat itu.

Tapi, bukankah memang seperti itu? Seperti sebuah kalimat mutiara, bahwa orang-orang baik akan menemui Tuhannya lebih dulu.

Aku berjalan menghampirinya yang kini tengah berjongkok sembari bermain pasir. Kulihat ia tengah sibuk menggambar sesuatu di atasnya. Namun, lebih tepatnya itu seperti sebuah tulisan. Tanpa berniat ingin mengganggunya, aku memilih berhenti dan berdiri beberapa langkah di belakangnya saja.

I WANT TO EAT YOUR PANCREASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang