Bagian 36: HUG FOR YOU
KEGELAPAN yang menyelimuti dalam ruangan tersebut memberikan aura sedikit menyeramkan bagi beberapa orang. Tapi tidak untuk Althea yang tampak duduk sendirian di tengah sofa panjang di area ruang tamu.Hanya ada cahaya temaram yang berasal dari area dapur. Suasana sunyi yang menyelimuti terasa menenangkan baginya.
Berbeda dengan pikirannya yang sangat kacau. Tidak ada ketenangan di dalamnya, Althea yang terbiasa hidup berpindah dan berada di antara keramaian. Kini harus sendirian di antara kesunyian yang tiada batas.
Hembusan nafasnya terasa dingin, tapi hawa yang menyelimuti di sekitarnya terasa sedikit panas.
Althea perlahan semakin mengeratkan selimut putih tipis yang membungkus dirinya. Meringkuk seolah kedinginan, padahal sebutir keringat jelas terlihat mengalir turun di area pelipisnya.
Satu jam yang lalu dia terbangun karena terkejut. Mimpi buruk yang dialaminya terasa begitu nyata, kilasan masa lalu yang menyakitinya terus berulang berputar bagaikan kaset rusak.
Tepatnya sebulan yang lalu, mimpi buruk itu kembali datang. Menghantuinya seperti dulu, saat ia masih berusia belia.
Pertemuan Althea dengan orang tersebut begitu tidak terduga, keselamatannya yang telah diusahakan selama ini. Kembali berada di ujung jurang karena tindakan yang dibuatnya justru tidak selaras dengan keinginan hatinya.
Althea merasakan tangannya sendiri sedang bergetar, rasa sakit yang menghantui seolah terasa sangat nyata tiap kali ia memejamkan mata.
Rintihan kesakitannya yang tiada suara seakan kewajiban yang harus diperbuatnya tiap kali merasakan sakit yang sangat dahsyat.
Althea dahulu masih sangat kecil, merasakan siksaan yang hanya cubitan bisa dianggapnya sebagai gigitan semut. Tapi bagaimana jika bukan hanya jenis sakit yang seperti itu.
Bagaimana jika cahaya lah penyebab Althea menjadi terluka. Ruangan yang dipenuhi cahaya adalah saksi dan penyebab Althea merasakan sakit.
Dan Althea juga tidak begitu menyukai kegelapan, karena bayangan itu akan terus berputar menghantuinya tanpa jeda saat ia memejamkan mata.
Althea menahan nafasnya seraya beringsut takut dengan pandangan yang terus lurus menatap ke area luar. Pintu yang terdengar dibuka dan ditutup sampai ke pendengaran Althea.
Pandangannya tidak dilepaskan bahkan ketika wujud tinggi seseorang tampak hanya bayangan hitamnya saja.
"Thea?"
Althea semakin mendongak, ditatapnya dengan jelas pada wajah Oberon yang berdiri di area kegelapan.
Memang gelap, hanya postur lelaki itu yang dikenalinya. Serta suaranya dan aroma tubuh memikat yang sudah sangat melekat pada diri Oberon.
Althea mengenalinya. Ada tanda kehadiran Oberon yang hanya akan dikenali oleh orang-orang yang menandainya. Termasuk Althea juga yang telah lama menaruh perhatian terhadap lelaki tersebut.
"Lo kenapa ada di sini?" tanya Oberon mendekat dan menyentuh tubuh Althea yang hanya terbungkus kain putih.
Pandangan lelaki itu tampak dialihkan sesaat, menyadari keadaan gelap yang menyelimuti Althea sendirian. Membuatnya jadi menyebarkan pikiran.
Althea yang diberi tanya tampak tidak menjawab. Tatapan teduhnya yang seakan lega terus menyorot Oberon dengan penuh.
Oberon berhenti memberikan tanyanya, berhenti juga menyebarkan pandangan mengelilingi seluruh area gelap.
Oberon menunduk, wajah Althea yang hanya dapat dilihat dengan lampu temaram dari arah dapur tampak tidak begitu jelas. Tapi tatapan teduh itu berhasil ditangkapnya dengan sangat jelas.
Keduanya berpandangan walau tanpa penerangan yang terang, keduanya seolah dapat saling menemukan mata.
Oberon terhenyak sesaat ketika genggamannya pada tangan perempuan itu dirasakan bergetar pelan. Bukan ia penyebabnya, melainkan Althea sendiri yang menyalurkan padanya.
Oberon cukup bertanya penasaran di dalam hati, pertanyaannya tak akan disampaikan karena tahu jika kondisi Althea sedang tidak berada dalam kondisi yang dapat menjawab.
Genggamannya mengerat, memegangi dengan lembut jari-jemari Althea yang terasa dingin.
Oberon kemudian duduk di sebelahnya, menarik tubuh Althea agar semakin mendekat kepadanya. Tidak ada penolakan yang diberikan, membuat Oberon merasa lega dengan keadaan saat ini.
Oberon terdengar membisikkan sesuatu, melingkarkan sebelah lengannya agar semakin menarik pinggang Althea.
Althea mulai terisak dengan pelan, membalas sedikit pelukan yang di dapatkannya. Membenamkan wajahnya tepat di dada bidang milik lelaki yang sedang merengkuhnya.
Althea takut dengan adanya cahaya dalam ruangan gelap, dan ia juga takut dengan kegelapan karena kenangan buruk selalu menghantuinya tanpa henti. Tapi Althea akan merasa tenang jika seseorang hadir menemaninya. Menenangkannya dan memberinya kekuatan.
Althea hanya membutuhkan seseorang. Teman atau apapun sebutannya yang selalu bisa menemaninya kapan saja.
Karena Althea tidak tahu kapan traumanya akan selalu muncul.
"Sstt," bisik Oberon menenangkan Althea yang terdengar terisak di balik pelukannya.
Sapuan tangan Oberon terus bergerak, antara mengusap rambut Althea atau tangan yang satunya bergerak pelan menyapu lembut punggung perempuan itu yang masih bergetar pelan.
"Tolong tetap di sini," pinta Althea yang hanya terdengar sebagai gumaman.
Oberon tampak menganggukkan kepalanya dengan pelan, terus menenangkan Althea dengan sentuhan-sentuhan lembutnya.
"Gue di sini The," ujar Oberon.
"Gue di sini," ulangi Oberon menumpukkan dagunya tepat di atas puncak kepala perempuan dalam rengkuhannya. Merasakan hawa tubuh masing-masing, Oberon dapat merasakan aliran nafas yang keluar dari hidung Althea mulai teratur.
Beriringan juga dengan isak tangisnya yang mereda. Oberon terus memberikan usapannya dengan lembut.
Entah karena kebenarannya, atau karena perasaannya yang telah berubah. Tapi keinginan Oberon besar untuk mengetahui lebih dalam mengenai Althea.
Dan sekarang bertambah lagi keinginan Oberon, melindungi perempuan itu.
Entah karena permintaan Abra terhadapnya. Tapi Oberon sangat besar keinginannya yang berasal dari hati ingin melindungi Althea yang rapuh seperti saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHE IS DIFFERENT
Ficțiune adolescenți[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Dia berbeda. Oberon Envinesta menyadarinya sejak fakta mengenai Althea Dwiakari pertama kali diketahuinya. Konflik di masa lalu harus menjadikan Althea penanggung jawab yang menghadapi sebab atas semuanya. Baga...