PROLOG.
Bella keluar dari ruangan Bimbingan Konseling dengan helaan nafas yang dalam. Segera tatapannya beralih pada sosok putrinya yang sedang duduk menggoyangkan kaki di kursi ruang tunggu. Cobaan apa lagi yang dia hadapi?
Tidak biasanya putrinya yang baru saja menginjak umur 12 tahun itu berulah hingga Guru BK memanggil Bella dan memberikan nasehat panjang lebar tentang bagaimana cara mendidik-anak-dengan-benar. Guru BK sendiri memberitahu Bella bahwa sebenarnya Angela, putrinya, adalah sosok yang berbakat. Namun akhir-akhir ini Angela sering berulah. Dan kali ini telah melewati batasnya.
Wanita berambut coklat panjang itu mendengus pelan. Lalu dengan langkah santai mendekati putrinya dan segera berlutut dihadapannya. Menggenggam kedua tangan putrinya dengan lembut.
"Angela. Jika sesuatu terjadi, berceritalah pada Mama." Bella berujar lembut. Tak ada kilatan marah disepasang matanya. Yang seharusnya wajar saja terjadi karena ulah kelewatan Angel kali ini. Namun hati Bella memang benar-benar lembut. "Mama tahu kau gadis yang baik dan pintar. Apakah sesuatu membuatmu tidak tenang belakangan ini?" tanyanya sekali lagi dengan lembut.
Sepasang mata biru Angel menatap Ibunya dengan tatapan nanar. Sedetik, Bella melihat kilasan kesedihan disana sebelum Angel mengubah tatapannya menjadi tatapan penuh kebencian.
"Mereka mengejekku, Ma. Satu pukulan diwajah mereka tidak sebanding dengan sakit yang Angel rasakan." Desisnya. Bella menghela nafas pelan. Jelas sudah. Sifat dendam yang dimiliki Angel bukan berasal dari dirinya.
"Angel. Mama tidak pernah marah padamu sebelumnya. Itu bukan berarti Mama tidak akan pernah marah padamu seterusnya. Kamu Mama izinkan mengikuti ekstra Taekwondo bukan untuk mempraktekannya sebagai bentuk kekerasan. Ingat itu." Bella berujar dengan nada tegas yang masih bisa terkontrol. Yang sedetik setelahnya ia menyesal telah melakukannya. Karena sepasang mata biru Angel menatapnya dengan nanar.
"Maaf, Ma." Bisik gadis itu menundukkan kepalanya.
Bella menghela nafas berat dan mengusap kedua tangan Angel yang berada diatas paha gadis itu. Ini semua juga salahnya. Dirinya sebagai orangtua tunggal sekaligus seorang Direktur Perusahaan sulit sekali membagi waktu antara pekerjaannya dan rumah. Hingga jarang sekali ia bisa mengontrol keseharian Angel secara langsung. Belum lagi perusahaannya yang saat ini sedang berada di puncak kejayaannya. Membuat kesibukan Bella meningkat tiga kali lipat dari sebelumnya.
Bella mendengus dan meraih kedua pipi gadisnya dengan lembut.
"Kurasa kita perlu berlibur. Bagaimana liburan musim dingin ini kita ke Paris? Kerumah Tante Caitlin dan Paman Harry?" tawar Bella dengan senyuman. Sebuah senyuman manis mengembang di bibir Angel.
"Benarkah? Berlibur ke Paris?"
Bella mengangguk. "Yup. Tahun ini tahun terberat untuk kita berdua. Kita jarang sekali jalan-jalan bersama, kan?"
Angel mengangguk. "Iya. Mama terlalu sibuk bekerja hingga nyaris melupakan Angel."
"Tidak. Mama tidak pernah melupakanmu, sayang. Mama hanya terlalu sibuk. Sekarang bagaimana kalau kita Mall? Sekaligus mempersiapkan keberangkatan kita minggu depan? Kudengar kau dekat dengan Greyson. Ingin membelikannya sesuatu?" tanya Bella lagi yang menyulut senyum lebar di bibir Angel.
"Tentu saja!" Angel berkata berbinar-binar. "Thanks, Mama." Dia maju dan memeluk Ibunya dengan lembut. Membuat sebuah perasaan mengaliri dada Bella dengan hangat. Membuatnya merasa lengkap dengan adanya sosok putri yang selalu mengisi hari-harinya. Sosok putri manis yang menemaninya di hari-harinya yang tidak selalu bersinar ini.
Mungkin, jika kejadian 12 tahun yang lalu tidak terjadi, Bella akan merasa lebih lengkap lagi dengan keberadaan sosok suami.
Bella mendengus pelan.
Tidak. Itu tidak akan terjadi.
Bukankah posisinya sekarang sudah tergantikan oleh wanita lain?
"Mama, bolehkah Angel bertanya sesuatu?" tanya Angel ketika Bella sudah bangkit berdiri. Bella mengernyit namun mengangguk.
"Apakah Papa masih hidup? Apakah Angel pernah bertemu dengan Papa?" Angel terdiam cukup lama. Sementara Bella, sudah berdiri disana dengan wajah pucatnya. Tak pernah sekalipun Bella membayangkan kalimat itu akan terlontar dari bibir putrinya. Lalu kalimat selanjutnya membuat sesuatu yang jauh didalam hati Bella rontok begitu saja.
"Angel ingin bertemu dengan Papa, Ma. Karena mereka yang mengejekku, menghinaku karena tidak memiliki Papa." Angel lalu menggelengkan kepalanya. "Apakah Angel lahir diluar pernikahan?"
Tentu saja tidak. Aku dan Ayahmu adalah sepasang suami istri bahkan sebelum kau lahir, Angel. Namun entah mengapa, kalimat itu hanya tertahan didalam hati kecil Bella.
"Tentu saja Papamu masih hidup, Angel. Kau akan bertemu dengannya suatu saat." Bella tersenyum. Sebuah senyuman palsu. Lalu kalimat selanjutnya hanya berupa bisikan hati.
Itupun jika dia masih mengingat kita, Angel. <>
**************************************************************************************************
Mau lanjut? Vommentnya ya :)
kritik dan saran membangun demi kelanjutan cerita :)
Love,
Isabell.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way We Breathe
FanfictionJB's fanfiction. -- I was 15 when I first wrote this story. Don't blame any typo(s) or unlogical plot to me. Thanks.