Harapan, antusias Lea bertahan tidak lebih dari sehari. Keesokan harinya, ketika dia berangkat sekolah, Karkaroff menunggu di lapangan biasa untuk berpamitan.
"Aku harus kembali ke negaraku untuk bertugas. Maaf, mungkin lain kali saat aku kembali ke sini aku akan melatihmu," kata lelaki itu diikuti senyum menyesal. "Ini, bawa ini sebagai bentuk janji!" Karkaroff memberi gantungan yang terdapat pahatan kepala singa sebagai lambang.
Lea meneguk ludah dengan susah payah, menatap Karkaroff dengan mata berkaca-kaca ingin menangis. Lelaki itu juga tampak merasa bersalah, dan menepuk serta mengusap kepala Lea yang tertutup kerudung pelan.
"Untuk sementara waktu, kamu harus melindungi dirimu sendiri dengan apapun yang kamu bisa, ya!" Katanya. Lalu Karkaroff pergi menyusul teman-temannya yang lebih dulu meninggalkan perbatasan Dobuski.
Saat istirahat makan siang, Lea tidak memiliki selera makan, jauh lebih parah daripada biasanya. Tubuhnya terasa lemas dan terasa seperti di tusuk-tusuk jarum tak kasat mata. Dia bahkan sempat menangis tanpa sadar di tengah pelajaran, hingga Bu Latifa memanggilnya untuk duduk di depan meja guru.
"Perasaan apa ini?" Gumam Lea, menyentuh dadanya yang terasa sangat sesak.
"Azalea? Boleh aku duduk disini juga?" Suara Bu Latifa membuat Lea tersentak. Bocah itu menoleh ke arah gurunya sebelum kemudian menganggukkan kepala. "Langitnya cerah, ya?"
Lea tidak menjawab. Meski begitu, toh Bu Latifa tidak memaksanya bicara. Hingga kemudian, Lea lah yang bersuara.
"Bu," panggil Lea pelan. "Apa ibu pernah merasa dada anda terasa sesak hingga ingin merobeknya?"
Bu Latifa menoleh kaget.
"Apa katamu?""Dada saya... Rasanya saya ingin merobeknya. Mungkin, ada batu besar yang menyangkut disana," jawab Lea.
"Apa terjadi sesuatu?" Bu Latifa bertanya dengan nada lembut.
"Saya... tidak tau." Memang benar, meski perasaannya terasa berantakan, toh Lea tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Bu Latifa menghela napas panjang, kemudian mengeluarkan sebuah benda sebelum memanggil Lea. Bu Latifa melingkarkan tangannya di tubuh Lea, menunjukkan ponsel yang dipegangnya pada bocah itu.
"Lihat lah ini baik-baik dan simpan dalam kepalamu," katanya kemudian menunjukkan sebuah video.
Mata Lea membelalak lebar melihat banyak gedung-gedung, rumah-rumah, dan fasilitas umum yang meledak karena di bom. Kemudian, banyak dari laki-laki, perempuan, orang tua, anak kecil, bayi, ibu hamil dan masih banyak lagi yang terluka maupun meninggal.
Lea bisa mendengar suara tembakan, bom, tangisan dan teriakan yang saling menyahut. Membawa kengerian lama yang Lea sempat lupakan. Kemudian, ada seorang bocah perempuan seumurannya yang menggendong bayi yang tengah menangis kencang.
"Tolong hentikan ini! Ayah dan ibu kami sudah syahid! Kasihan adikku! Tolong hentikan! Kenapa kami harus melalui ini! Kami hanya anak kecil!" Katanya, menatap kamera dengan mata berkaca-kaca siap menangis. Wajahnya juga kotor karena terkena debu dan kotoran.
"Mereka adalah orang-orang Palisia yang sekarang sedang dalam kondisi perang. Perang itu bahkan jauh lebih tua, lebih lama daripada perang dengan Neotherland," kata Bu Latifa setelah mematikan videonya dan menatap Lea. "Apa kamu bisa merasakan penderitaan mereka?"
Lea mengangguk, memeluk Bu Latifa karena tidak bisa menyembunyikan tangisannya lagi.
"Suatu saat, ketika Lea sudah besar, apa Lea mau pergi ke Palisia bersama ibu untuk membantu mereka?" Tanya Bu Latifa. Lea mengangguk lagi"Bagus! Jadi, Lea harus berusaha yang terbaik, oke? Aku yakin, mereka menunggu Lea untuk membantu mereka! Kita akan pergi bersama!" Janji Bu Latifa.
###
Bu Latifa membantu Lea sejak saat itu, dan dari situ lah Lea tau kalau Bu Latifa adalah seorang psikolog sekaligus psikiater. Lea tidak pernah mengatakan apapun mengenai masalahnya, namun Bu Latifa selalu memberi Lea kalimat penyemangat.
"Kalau kamu merasa terganggu, ganggu saja mereka balik!" Katanya, disuatu saat ketika Lea jengah dengan Kholil, anak lelaki yang biasanya dia beri bekal makanan. Karena sekarang Lea sudah bisa makan, jadi sekarang Lea sudah jarang memberi Kholil bekalnya lagi dan hal itu membuat teman sekelasnya tersebut kesal hingga mengganggu Lea. "Tidak baik menginginkan sesuatu yang bukan milikmu, kan?"
Dan hari ini, untuk pertama kalinya seluruh kelas melihat Lea marah besar dan memukuli Kholil hingga hidungnya mimisan. Lea juga terluka, tapi toh dia tidak menangis seperti bocah lelaki itu.
Yaya dan kedua orangtua Kholil di panggil ke sekolah. Kedua bocah itu sama-sama mendapat peringatan, namun hanya Yaya yang meminta maaf kepada keluarga Kholil, sementara pihak mereka tidak mendapatkan ucapan maaf.
"Apa yang terjadi padamu?" Yaya menegur saat keluarga Kholil telah pergi.
"Dia sudah membawa bekal makanannya sendiri, tapi dia ingin bekal makananku! Aku lapar, Yaya! Bagaimana bisa aku memberikan rotiku padanya!" Protes Lea, kesal.
Yaya membuka mulut hendak menjawab, tapi kemudian menutupnya lagi. Wanita itu kemudian duduk berjongkok untuk merapikan kerudung Lea yang berantakan.
"Mulai besok, Yaya akan memberimu dua roti untuk bekal. Jika anak itu minta, kamu bisa berikan yang satu lagi, kan?" Ucap Yaya, mengusap pipi Lea yang sedikit terluka akibat serangan balasan Kholil.
"Yaya yakin dia cukup dengan itu? Bekal yang dia bawa saja jauh lebih banyak daripada bekalku! Yaya yakin dia akan menerima kalau aku memberinya satu roti? Dia tamak, Yaya!" Celoteh Lea, keras kepala.
"Azalea!" Tegur Yaya. "Tidak baik berbicara seperti itu. Semoga Allah memberinya cukup, dan mencukupimu juga. Jangan marah dan jangan risau, mengerti?" Lea menghela napas kesal, tapi tidak membantah ucapan neneknya.
###
Waktu berlalu begitu cepat, dan keadaan Lea pelan-pelan membaik berkat bantuan Bu Latifa. Sekarang, bocah itu telah berusaha dua belas tahun yang suka sekali membuat onar.
"LEA!!!" Anak-anak perempuan di kelasnya menjerit kesal sementara Lea berlari sambil tertawa geli. Sekelompok siswi SMP itu marah-marah mengisengi mereka ketika sholat berjamaah.
Terganggunya sholat sekelompok siswa, membuat seorang guru perempuan yang umurnya sama dengan Yaya, keluar dari ruangan sambil membawa penggaris panjang.
"Ya Allah, Ya Rabb, AZALEA!!" Geramnya, berlari sambil mengacungkan penggarisnya ketika mengejar Lea.Untung saja, sekolah hari ini di tutup lebih awal karena Ulang Tahun Kerajaan Dobuski. Kalau tidak, Lea pasti akan di hukum di depan kelas oleh guru tauhidnya itu, Bu Halimah.
Dalam perjalanan pulangnya, Lea melihat seorang remaja asing yang memakai baju mewah tampak kebingungan di persimpangan jalan. Lea sempat menelengkan kepalanya untuk mengamati remaja lelaki itu. Apa dia tersesat? Hee... Orang Kaya Bodoh yang lain? Lea menyeringai dan sempat terkekeh sebelum diam-diam mendekat.
"Kesasar?" Suara Lea membuat pemuda itu menoleh.
Wajah pemuda itu tampak cukup ramah saat menjawab Lea. Ekspresi wajahnya juga tenang, tampak lebih lembut saat dia mengulas senyum.
"Ya. Kamu tau jalan keluarnya?" Sahut pemuda itu.
Lea ingin sekali tertawa, tapi menahannya sekuat tenaga. Bocah itu tidak pernah menyadari kalau ekspresinya mudah sekali untuk dibaca.
"Lewat sana!" Lea menunjuk ke sebuah gang yang dia kenal dengan banyaknya penyamun dan penjahat lain.
"Terimakasih," ucap remaja itu, menganggukkan kepala. Tampak bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. Seperti biasa, jalanan persimpangan jalanan pasar memang membingungkan bagi orang-orang yang tidak terbiasa dengannya. Jadi, lelaki itu pergi tanpa merasa ragu setelah Lea menganggukkan kepala menanggapi ucapan terimakasihnya.
Semoga kamu selamat! Batin Lea, merasa agak geli membayangkan remaja itu akan dirampok oleh penyamun di lorong itu. Ah! Lea harus menyaksikannya!
Bocah perempuan dua belas tahun itu buru-buru menaiki tangga sebuah bangunan tinggi yang biasa dia gunakan untuk memantau para korbannya. Namun, belum sempat dia sampai, seorang pria bertubuh besar memergokinya.
Wah, sepertinya dia sedang sial!
###
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crown Princess
Fiksi UmumBuku ke dua The Crown Prince, My Husband. Menjawab segala pertanyaan 'kenapa?' dari buku pertama. In Sha Allah 🙈 "Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Meng...