Kelelawar! Mereka beterbangan ke sepenjuru arah. Satu per satu berusaha mendekat, tapi selalu berakhir dengan tubuh hancur kena hantaman tembakanku. Untung aku sempat belajar ilmu menembak terlebih dahulu sebelum membuat es menjadi pedang ataupun senjata lainnya.
[Dia sedang mempermainkanmu.]
Aku nggak peduli vampir itu berniat main kucing menampol tikus atau yang lainnya. Adapun yang kuinginkan ialah, Putih muncul!
[Kamu perlu mengasah kekuatan. Lagi pula, kuperhatikan kamu mampu menghadapi serbuan kelelawar.]
Edan! Tidak masalah bila kelelawarnya seukuran curut ataupun katak. Masalahnya semua kelelawar yang tertarik menggigitku itu berasal dari ras monster! Heran! Bagaimana cara vampir itu menyembunyikan, membawa, dan mengamankan makhluk-makhluk ini dari pandangan manusia?
“Persetan berlatih tarung!” teriakku dengan segenap kemarahan.
Kali ini kuciptakan dinding es. Kupastikan setiap sisi amat tajam, semengerikan ujung pisau, dan membuatnya sangat efektif sebagai senjata. Kubuat benteng, dinding es, di sekelilingku. Dengan segenap kekuatan balas dendam kutinggikan dinding, yang pada prosesnya, memotong setiap kelelawar mana pun yang sial berada di jalurnya.
Sebagian kelelawar mujur, selamat dari pembantaian. Mereka sangat menyebalkan. Pantang menyerah. Menabrakkan diri ke dinding sembari mengeluarkan suara cicit yang di telingaku terdengar mirip tawa mengejek. Mata para kelelawar seakan memendarkan cahaya merah mengerikan—kematian, kegilaan, dan kemarahan.
Beberapa kelelawar terbang ke atas, berusaha menyusup melalui celah di atasku. Aku pun menciptakan atap, pelindung, dan membuat permukaannya berduri seperti jarum beracun yang siap menusuk badan makhluk mana pun.
Darah. Merah. Kental.
Ironis, ‘kan? Bahkan seekor monster pun memiliki warna darah yang sama dengan manusia. Tidak peduli jenis, ras, bahkan fungsi dari makhluk tersebut berada di dunia—darah yang sama selalu mengalir di nadi, mengantarkan nyawa, memberi satu hari menjalani hidup.
Dinding es yang seharusnya bening pun kini bersimbah darah. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu, seberapa banyak monster kelelawar jahanam mati di tanganku. Lagi pula, bukankah hidup memang selalu mengenai ini? Bertahan. Menyerang. Barangkali mengorbankan secuil demi secuil sesuatu dalam diri seorang manusia.
Jantung berdebar kencang, memompa adrenalin ke seluruh tubuh. Keringat membanjir. Emosi dalam diriku begitu keruh seperti air kotor. Aku sempat mengira diriku gila, tapi yang sebenarnya terjadi diriku memang telah lama terjebak dalam kegilaan. Di sini maupun di dunia asalku. Kegilaan selalu mengekor seperti seekor anjing memohon perhatian. Apakah aku benar-benar telah berubah menjadi mesin pembunuh?
[Semua akan baik-baik saja.]
Hanya suara Putih yang sedikit bisa menjernihkan kepalaku. Aku sempat mengira akan terseret kegilaan dan berubah jadi sesuatu yang bahkan takkan pernah kubayangkan dalam mimpi sekalipun.
“Bagus sekali.”
Napasku terengah-engah. Aku tidak peduli dengan pujian yang vampir itu lontarkan kepadaku. Napasku memburu, mataku nyalang, dan di sekitarku bergeletakan bukti pembantaian: mayat kelelawar, genangan darah, dan kekacauan.
“Bagaimana caramu menyembunyikan monster kelelawar?”
“Sedikit sulap,” jawab si vampir, anggun. “Ada banyak trik yang kusembunyikan dalam lengan bajuku.”
Aku tidak tahu mengenai babak selanjutnya. Bisa saja vampir ini langsung memberiku kematian tidak menyakitkan atau mempermainkanku dengan cara lain. Namun, setidaknya aku ingin berusaha mempertahankan diri sampai titik darah penghambisan. Terus terang saja aku tidak yakin bisa menghadapi makhluk sekelas Putih. Bila dugaanku benar, maka kematian bisa menjadi akhir bagiku. Kematian yang tidak terelakkan sekalipun aku ingin menghindar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)
FantasíaKenapa sih orang-orang tertarik isekai ke novel, film, komik, atau dimensi mana pun? Seolah pindah dunia itu semudah pindah kontrakan yang kalau tidak cocok bisa mengajukan keluhan ke empunya indekos. Berharap bisa disukai oleh semua tokoh ganteng d...