"Yayang, selamat ulang tahun, Nak.
Papi bangga dengan apa yang sekarang Yayang jalani dan capai. Papi berharap Yayang selalu sehat dan bahagia.
Jangan lupa sering-sering telepon Mami. Bahkan kalau bisa sempetin waktu buat nengok Mami, ya.
Papi sayang sama Yayang."
Sadam tersentak bangun dari tidurnya. Menyeka pipinya yang terasa lembab akibat lelehan air mata yang tak sadar jatuh dari kedua matanya. Bayangan Papinya yang tersenyum lebar dilatari cahaya putih terang membuat Sadam semakin merindukan sosok laki-laki panutannya itu.
Diambilnya sebingkai foto dari nakas di samping tempat tidurnya. Foto kedua orang tuanya saling bersisian, memeluk pinggang satu sama lain, dan tersenyum ke arah kamera. Foto itu berlatar perkebunan keluarga milik mereka di Bandung yang diambil hampir duapuluh tahun lalu oleh anak laki-laki yang sekarang terduduk memandanginya dengan penuh rindu.
Setitik air mata Sadam kembali lolos, meluncur, menetes jatuh tepat di antara potret Papi dan Maminya yang terbingkai pigura foto. Buru-buru Sadam menyeka air matanya itu. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa tak boleh ada lagi air mata yang menetes jika itu adalah tentang penyesalan atas kepergian Papinya yang tiba-tiba.
Namun tetesan air matanya kali ini adalah sebongkah rasa rindu yang sudah Sadam pendam begitu dalam. Jadi boleh kan dia sedih dan menangis sebentar?
*****
Sadam baru saja menyelesaikan kontrol rutinnya di beberapa bagian area OUKAL tepat saat memasuki jam makan siang. Beberapa staf tampak berkelompok menggelar makan siang bersama. Ada pula yang memilih untuk pergi ke kantin, bahkan pulang karena rumah mereka yang tak begitu jauh dari kantor OUKAL. Atau ada juga yang mendapat kunjungan seperti Ayah Sindai yang kerap dikunjungi oleh putri semata wayangnya itu.
Bagi Sadam dan staf OUKAL lain, Sindai sudah seperti bagian tak resmi dari mereka. Dia diperbolehkan untuk datang dan pergi ke kantor OUKAL meski tetap tidak bisa sembarangan mendekati kandang-kandang orang utan yang memang sangat dilarang untuk didekati selain oleh staf dan teknisi.
Dari kejauhan Sadam melihat interaksi hangat ayah dan anak itu. Bagaimana Sindai yang meski terlihat kikuk namun begitu perhatian dan telaten menyiapkan makan siang untuk ayahnya dari bekal yang dia bawa. Juga tentang bagaimana Ayah Sindai yang tak biasa mengekspresikan rasa sayang dan terima kasihnya secara gamblang, hanya bisa memandangi putrinya dengan mata berbinar.
Melihat pemandangan seperti itu, membuat hati Sadam iri. Berandai-andai jika saja Papinya masih hidup, jika saja Papinya berumur panjang dan masih ada bersamanya saat ini. Apakah dia akan bisa menyaingi kedekatan dan kehangatan hubungan antara Sindai dan Ayahnya?
Andai Papinya masih ada, Apakah Papinya akan bangga dengan langkah dan pencapaian yang didapatnya sekarang? Pencapaian yang sungguh jauh berbeda dengan harapan yang diinginkan Papinya, yakni melanjutkan pengelolaan perkebunan keluarga kebanggan mereka.
Apakah Papi akan dengan senyumnya yang lebar, seperti dalam mimpinya semalam mengatakan bahwa beliau bangga dengan apa yang Sadam jalani dan capai sekarang? Atau justru mereka sedang berdebat hebat, saling mempertahankan argumen keinginan masing-masing? Tapi apapun yang akan terjadi, satu hal yang Sadam tahu, Papinya itu sangat mencintai dan menyayanginya.
*****
Sore itu akhir pekan di gazebo perkebunan Ardiwilaga, kehijauan tanaman milik Papinya ditangkap dengan baik oleh netra Sadam. Dari tanah ini, dari tanaman-tanaman ini biaya sekolahnya, biaya lesnya, biaya transportasinya, hingga uang sakunya berasal. Seluruh biaya kehidupannya ditopang oleh hasil dari perkebunan yang sudah turun menurun dikelola oleh keluarga besar Papinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika
FanfictionSlice of Life Sadam and Sherina. Bagaimana mereka berdua menghadapi dan menjalani berbagai macam "Ketika" dalam hidup yang mereka jalani.