Selamat Ulang Tahun

1 0 0
                                    


Jam menunjuk pukul satu dan orang yang kutunggu baru saja tiba di hadapan pintu. Belum sempat diketuk olehnya tapi pintu itu sudah kepalang kubuka. Lalu aku melihat wajahnya di sana, seperti pemabuk yang tak ramah dan tak punya rumah. Kantung matanya bergelambir dan bibirnya terlihat pucat, kusut sekali wajahnya.

"Sudah kutunggu kehadiranmu sejak berjam-jam yang lalu, namun orang yang kutunggu rupanya tak punya malu." Aku membuka suara terlebih dahulu karena tahu dia tak akan memulai percakapan pada dini hari itu.

"Maaf, ya." Ucapnya sendu, membuatku menghela napas untuk pertama kalinya di pagi ini.

"Selalu, sudah kumaafkan."

Lalu aku membiarkannya masuk dan menutup pintu, mendudukkan dirinya di sofa apartemenku. Aku berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air mineral, membawanya ke ruang utama lalu menyuruhnya untuk minum.

"Hari ini tanggal berapa kutanya?" aku membuka percakapan lagi, yakin sekali jawaban orang di hadapanku ini tidak akan memuaskan diriku. Tapi bohong jika aku tak mengharapkan barang secuil jawaban memuaskan dari dirinya.

"Dua puluh delapan."

Dan benar saja, jawabnya tanpa energi sedikitpun, seperti orang yang tak makan seharian dan sepertinya memang benar, dia belum makan seharian kemarin. Tebakanku sih begitu, dan tentu saja aku kecewa. Tapi kekecewaanku yang saat ini bukan untuk pertama kalinya.

"Maaf, ya, Hikari." aku menaikkan sebelah alisku, pikirku dia tidak akan ingat ada apa kemarin itu, tapi mungkin aku keliru.

Tapi salahku juga, berharap pada orang yang sakit, yang tak punya keinginan apa-apa, yang tak punya rasa bahagia, yang tak punya rumah, yang tak punya apa-apa. Aku bahkan tidak melihat ada masa depan di setiap sorot matanya, tapi entah kenapa jika dia tidak ada maka aku tidak akan bisa.

Saat aku membalikkan badanku untuk berjalan menuju dapur, Akari tiba-tiba menahan pergelangan tanganku agar aku tetap diam. Aku berbalik dan menatap dirinya yang sedang terduduk sambil menunduk di hadapanku, yang terlihat hanya rambutnya yang kusut seperti orang yang tak pernah mandi, terlihat kacau.

Sekian detik kemudian ia mengangkat wajahnya, kulihat kantung matanya yang semakin menghitam, bibirnya yang pucat dan garis wajahnya yang kurasa semakin hari semakin terlihat. Penampilannya setiap pulang ke tempatku di jam yang sama memang selalu kacau. Seperti orang yang baru saja keluar dari dunia gelapnya.

Ia menatapku selama beberapa detik, sepi di sekeliling kami tiba tiba semakin kencang dan terdengar. Angin malam seperti ikut masuk ke dalam apartemenku dan menyaksikan kami berdua yang saling diam dan mencoba memahami satu sama lain, walaupun gagal. Dan kegagalan ini juga bukan yang pertama kalinya untuk kami.

"Selamat ulang tahun, ya, Hikari." Begitu ucapnya, disambung dengan senyuman kecil yang terukir di bibirnya. rasanya aku ingin menangis, tapi haruskah aku berbahagia untuk hal-hal kecil yang memang sudah seharusnya begitu?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hal-hal Sederhana yang Aku TangisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang