Aku menerima telefon dari Stranger.

14 2 2
                                    


Malam itu, aku tidak tahu harus bagaimana. Semua PR ku sudah kukerjakan. Biasanya aku bakal mendapatkan notifikasi Whatsapp dari pacarnya. Tetapi sudah 3 hari handphoneku diam saja.

Tetapi malam ini berbeda, aku mendapatkan telfon dari nomor yang tak dikenal. Aku karena penasaran angkat saja.

Firman : Hallo?"

Unknown : Buka messageku.

Kemudian telfon mati.

Aku terdiam kemudian aku buru-buru mengecek notifikasi di handphoneku. Ada satu message. Nomor itu tak dikenal, itulah kenapa nomor itu dianggap spam. Dia seperti mengirim Foto. Aku buru-buru membukanya.

Ketika pesan itu kubuka, aku menyenderkan punggungku dengan rasa sakit di dada. Aku menemukan foto Mas Satria tampak sedang diikat disuatu gudang dengan luka-luka di badannya. Aku mringis, menangis. Ternyata selama ini dia menghilang karena diculik. Perasaanku kacau balau malam itu juga. Aku cek dia mengirimkan G-maps. Jangan-jangan ini adalah alamatnya.

Buru-buru kuambil Jaket dan dompetku. "Ibu, aku mau kerja kelompok dulu ya." Aku juga membawa tas supaya ibuku percaya.

Aku segera memesan ojol yang tersedia. Tempat itu hanya berjarak 15 menit dari rumahnya. Harusnya bisa lebih cepat.

"Mas bisa bergegas ya." Aku menahan supaya suaraku tidak pecah tangisannya.

Tibalah aku dan ojolku dirumah tua, rumah itu seperti cukup angker. Penerangan bolham 5 watt. Tapi aku merasakan rumah itu ada kehidupan. Rumputnya dipangkas rapi disertai bunga-bunga terawat indah. Meskipun begitu, tidak meninggalkan kesan tua pada bangunan itu. Aku bayar Ojolku, kemudian aku bergegas masuk ke dalam rumah itu.

Aku tidak membawa apapun untuk perlindungan, namun Aku membawa pisau kecil untuk perlindungan diri dan lampu penerangan dari handphone. Meskipun tidak gelap aku berhati-hati.

Kubuka rumah itu, dan anehnya tidak terkunci. Aku bergegas masuk. Keadaan dalamnya seperti terawat. Namun hanya kosong saja sik. Tidak terlihat adanya orang. Aku memeriksa sekeliling, tidak ada yang mencurigakan.

Ketika aku naik, aku melihat lorong di dekat tanda yang sepertinya terbuka. Tidak ada orang nampak, namun penerangan ke basement menyala. Aku penasaran dan masuk kedalam basement itu. Tangga ke bawah tidaklah telalu dalam. Cukup untuk seukuran orang dewasa masuk kedalam dan berdiri tegak. Beruntung dia seperti bocah, tentunya hal tersebut aman-aman saja.

Aku tersentak kaget di ujung tangga. Aku melihat Mas Satria terikat disana, ditengah-tengah ruangan. Membuat hatiku tersentak.

"Mas Satria!" Aku bergegas kearahnya, dan berusaha membangunkannya.

Disentuh tubuhnya hati-hati, dia penuh luka. Aku menangis.

"Mas, bangun mas." Kutampar pipinya yang dingin. Mulutnya memutih seperi kekurangan cairan. Kemudian kulihat dia membuka matanya. "Terimakasih Tuhan." Aku mengambil air minum dari dalam tasku.

"Bocil, kamu ngapain disini?" ucap dia lemah.

"Diam dulu, minum." kuserongkan air minum itu ke mulutnya dan Satria meminum itu dengan lahap.

"Bagaimana aku membebaskanmu mas?" ucapku bingung dikarenakan dia terikat dengan rantai, bukan tali.

"Tidak tahu, tapi kau harus pergi sebelum dia disini."

"Tidak mau." Aku mencoba mendobrak rantai itu dengan pisauku pelan. Membukanya dengan ujung pisau, yang sepertinya dirasa percuma.

"Kau tidak boleh terlihat..." ucapnya "sebelum dia disini."

"Kau bilang apa si mas. Jangan ngigo deh." Aku masih berusaha melepas rantai itu namun tak bisa. Kulihat sekeliling, ada seperti gerombolan kunci tua. Aku bergegas mengambil sekumpulan kunci itu.

"Kamu inget kuncine seperti apa mas?" Aku memilih kunci-kunci tersebut, namun belum ada yang cocok.

"Aku terbangun sudah seperti ini cil."

Mereka berdua mendengar seseorang berbicara dari luar, Satria menatapku "Sembunyi!"

Aku tidak membantah, dan membawa kunci itu sambil bersembunyi dibawah meja.

"Ah My Boy! Kau sudah bangun rupanya." suara Mas Ardi mengema dari atas tangga. Dia ditemani dengan seorang bapak-bapak tua. Sepertinya itu pembantu dia.

"Cih.."

Dipukul wajah Satria dengan keras, Aku cuma bisa menutup mulut sambil air mataku menetes.

"Kau itu harusnya menyambutku. Kau harusnya berterimakasih karena sudah kubiarkan hidup. Ingat, besok hari eksekusimu."

Hari apaa? Aku tidak bisa mencerna kata-kata Mas Ardi. Mengeksekusi? Maksudnya apa?

"Apa maksudmu bajingan? Kau mau membunuhku?"

"Ya, dengan metode yang masih aku rahasiakan." Kudengar Mas Ardi tertawa jahat, diikuti desahan dari Mas Satria.

Aku harus berbuat sesuatu, pikirku. Kemudian aku mengecek tanganku, masih kupegang untuk kunci dan pisau kecilnya. Aku berniat untuk membuat pingsan Mas Ardi.

Aku perlahan keluar dari bawah meja, dan kemudian aku mengendap-endap keluar. Kuperhatikan Mas Ardi sedang menatap Satria, yang merupakan keuntungan buatku.

Kutendang Mas Ardi cukup keras, dan itu mengenai punggung Mas Ardi. Kulihat Mas Ardi terjatuh di samping diantara tumpukan kardus. Kemudian aku melindungi Mas Satria dengan pisau kecil ditanganku.

Tatapan Mas Adi melunak melihatku, dia tidak seperti psikopat kejam seperti sebelumnya.

"Firman."

"Ternyata kau ya mas." ucapku marah.

"Firman aku bisa jelaskan." Ucapnya memohon.

"Aku tidak butuh penjelasanmu. Cepat bebaskan Mas Satria."

Sepertinya Mas Ardi tidak memiliki pilihan lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepertinya Mas Ardi tidak memiliki pilihan lain. Dia menyuruh Pak Bejo untuk melepas rantai ikatan Satria, kemudian Satria terbujur lemas di pangkuanku.

"Mas Kita ke rumah sakit ya." Aku dengan pelan membopong Mas Satria keluar dengan meninggalkan Mas Ardi di dalam basement sendirian. Kudengar dia berteriak dari bawah.

"Terimakasih Cil."

Kisah Kasih Di Sekolah. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang