Nonton

6 2 0
                                    

Rachel tak sabar untuk menunggu akhir minggu. Novel Circe sudah di tangannya. Tadi pada saat jam makan siang, Mr. Milo menghampiri mejanya di kantin untuk memberikan novelnya tersebut.

"Just take your time," ujar Mr. Milo berpesan agar Rachel tidak tergesa-gesa menyelesaikan membaca novel tersebut, tepat seperti yang telah Rachel utarakan tempo hari mengenai kemampuannya membaca novel.

Vivian dan Dwi hampir saja tersedak ketika sedang makan dan minum. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya Sophia yang mengulum senyumnya.

"What the hell, Rach? How?" bisik Dwi, tetapi dengan sepasang matanya yang melotot.

Rachel mengangkat kedua bahunya tetapi dengan raut wajah penuh kemenangan.

Awalnya ia ingin menceritakan pertemuannya dengan Mr. Milo tanpa sengaja di taman kecil dekat kompleks ruko tempat biasa mamanya merawat diri di sebuah salon. Akan tetapi, Rachel akhirnya memang memutuskan bahwa Sophia lah yang menjadi rekannya yang paling tepat dalam misi-misi ke depannya, bukan Vivian dan Dwi yang sudah dijamin pasti akan heboh. Kalau sudah begini, nanti bakal lain urusannya.

"Apa ada hubungannya lo kemaren ke toko buku segala? Soalnya tumben-tumbenan this little punk beli buku. Kesambet apa ngidam, pikir gue," ujar Vivian. "Kok bisa Mr. Milo datangin lo buat kasih buku, Rach?" lanjut Vivian.

"Bukan kasih buku, Vi. Cuma pinjemin. Udah ah, take it easy, girls."

"Ih, nyebelin ni anak. Coba cerita dulu gimana kisahnya sampai lo ada hubungan sama Mr. Milo," kejar Dwi.

Rachel sudah memutuskan tak akan menceritakan apa-apa kepada mereka. paling tidak, bukan sekarang. "Apaan sih, hubungan gimana? Cuma pinjem novel Mr. Milo, kok. Heboh amat deh kalian," ujarnya.

Vivian kini memandang tajam ke arah Sophia. Begitu juga dengan Dwi. "Do you know anything about this, Sof? Soalnya kemaren lo kan yang ngotot buat nemenin Rachel ke bookstore?"

Sophia panik. "Lho, kok gue? Gue sama Rachel beli buku lain kok. Nggak ada hubungannya sama Circe."

"Circe, Circe apaan. Pokoknya pasti ada hubungannya lo pada ke bookstore kemarin sama kejadian barusan. Apa lagi sih yang nggak kami tahu," todong Dwi.

Memang unik hubungan keempat sahabat ini. Rachel paham betul sifat Vivian dan Dwi yang serba heboh. Sebaliknya, walau Sophia dari awal tidak mendukung rasa suka dan keinginan Rachel untuk lebih dekat dengan Mr. Milo, Rachel tahu bahwa Sophia lebih serius dalam menanggapinya, mungkin juga lebih dewasa. Makanya, Rachel ingin agar Sophia lah yang memahami apa yang sedang bergejolak di hatinya.

Rachel juga tahu bahwa Vivian dan Dwi sama-sama menggemari Mr. Milo. Tetapi sampai taraf tergila-gila seperti dirinya, mungkin sekali tidak. Vivian dan Dwi hanya akan berkelakar dan malah akan menghancurkan rencana serta harapannya ke depan bila sampai mereka tahu apa-apa saja yang sudah terjadi antara dirinya dan Mr. Milo.

Memang tidak bisa dikatakan berlebihan sih, tetapi tetap saja, pertemuan Rachel dan Mr. Milo di taman tempo hari adalah sebuah hal yang luar biasa besar. Paling tidak bagi dirinya. Kelak, Vivian dan Dwi juga tahu sendiri.

Rachel masih bergeming. Ia membetulkan kunciran rambutnya, kemudian menatap wajah kedua temannya yang seperti hendak memakannya hidup-hidup. "Chill, girls. Nothing happened, ok. Kayak dunia mau runtuh aja, deh," ujar Rachel.

Dwi dan Vivian terpaksa gondok menahan emosinya karena bel masuk sudah terdengar. "Awas ya, Rach, kalau nggak cerita-cerita ke kami," ancam Vivian.

Masalahnya, saat itu entah bagaimana Rachel mampu meredam emosinya sehingga wajahnya tidak bersemu kemerahan seperti biasanya bila sedang menutupi atau menahan sesuatu. Ini yang membuat sebentar saja Vivian dan Dwi melupakan ancaman mereka tadi.

Untuk itu, Rachel lega.

Hatinya kembali berbunga-bunga. Ada setitik aroma Mr. Milo di novel Circe tersebut. Ia akan memeluknya sembari tidur sebelum benar-benar membacanya. Mungkin ia sungguh akan membacanya perlahan saja sehingga memiliki waktu yang lama untuk bisa terus berkomunikasi dengan Mr. Milo.

Dan, akhir minggu ini ia akan memaksa sang mama untuk kembali ke salon agar ia memiliki alasan untuk mendatangi taman dan menemukan sang pujaan sedang membaca buku lagi disana.

"So, this weekend? Saturday or Sunday? I yang traktir semua. I jemput ke rumah deh," ujar William ketika jam pulang. Ia berjalan cepat menyusul Rachel di lorong. Rachel sendiri memang sudah dijemput oleh sang mama.

"Hah? Weekend? Sorry, apaan ya Will?" tanya Rachel bingung.

"Hmm, you lupa ya? 'Kan I ajak you nonton. Katanya kalau weekend suka nggak ada kerjaan, 'kan? Nah, weekend ini kita ada rencana nonton. I pokoknya yang traktir semuanya. You tinggal ikut aja," ujar William sembari tersenyum penuh harap.

Shoot! Aku lupa pernah kasih harapan ke William soal nonton di akhir minggu! Gosh!

Masalahnya bagi Rachel, ia sama sekali tidak ingin pergi nonton bersama Will. Apalagi kalau itu dianggap kencan. Selain itu, Sabtu ini adalah hari yang sakral yang paling ia nanti-nanti, bertemu Mr. Milo di taman. Namun, ia sungguh tak mau mengecewakan William yang terlihat sekali telah berharap. Ia pun dengan bodoh menganggap enteng ajakan William tempo hari dan tidak menyangka anak laki-laki itu akan menagih janjinya.

"Ah, Will. Ya ampun, kok bisa lupa ya. Tapi jangan Saturday deh ya. Aku mau antar mama ke salon. Sama biasa suka diajak kemana gitu. Sunday aja gimana?" ujar Rachel dengan wajah yang memelas.

"Sure, sure, that would be just fine. Sunday it is. Jam berapa? Biar I beli tiket dan jemput," respon William dengan raut wajah sumringah.

"Hmm .. gini aja deh. Nanti kamu hubungin aku lagi, chat aja. Kita lihat enaknya jam berapa. Ini soalnya Mom udah jemput."

"Yes, yes ... I will, I will. Let me just text you later ya."

Rachel tak memiliki cara lain untuk menolak William. Rasa-rasanya ia sudah dalam kondisi serba terjepit. Ia akan merasa bersalah membuat William kecewa. Lagipula mereka hanya menonton film. Yang jelas, ia tak akan membuang kesempatan Sabtu ini untuk bertemu Mr. Milo. Itu sudah jelas!

Rachel merasa tubuhnya lemas ketika sudah berada di dalam mobil, disamping sang mama yang mengemudi.

"Kamu kenapa, honey? Ada masalah? Sama guru, temen?" tanya sang mama melihat Rachel terlihat murung dan tak bersemangat.

"Namanya remaja, Ma. Semua-semua masalah. Mental health, Ma. Biasa lah, generasi Z," jawab Rachel asal.

Sang mama tersenyum. Ia tahu Rachel memang sedang memikirkan sesuatu, tetapi ia juga yakin Rachel masih belum membutuhkannya karena ia masih belum mau menceritakan masalahnya tersebut. Untuk saat ini, sang mama memang sungguh membiarkan Rachel mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang