Ketika Lilin Menyala

4 0 0
                                    

Ketika Lilin Menyala

Laila mengibaskan rambutnya dari beberapa butir gerimis yang tadi sempat bergelut di atas rambutnya selama perjalanan pulang. Setelah menaruh sepasang sepatunya di atas rak, ia memasuki rumahnya.

Kosong, seperti biasa. Hening, seperti tak pernah ada penghuni yang mendiami rumah ini, sampai-sampai langkah kaki Laila terdengar memantul ke seluruh penjuru ruangan. Laila hanya bisa menghela napas untuk, entah untuk keberapa kalinya. Gadis berambut sebahu itu kembali melangkahkan kakinya menuju kamarnya sendiri.

Begitu Laila membuka pintu kamarnya, aroma apel yang menguar dari sudut ruangan segera menyambutnya, membuat gadis itu tersenyum kecil. Tanpa mengganti seragamnya terlebih dahulu, Laila merebahkan tubuhnya di atas kasur sembari menatap kosong langit-langit kamar. Ia kembali memikirkan keluarganya, hal yang sama yang ia lakukan lima tahun terakhir ini.

Laila memulai dengan ayahnya yang awalnya bekerja sebagai salesman sebuah toko alat rumah tangga dan terus menerus naik jabatan hingga kini menjadi direktur marketing perusahaan tersebut. Tentu ayahnya menjadi sangat sibuk bahkan untuk sarapan bersama.

Kemudian, wanita yang telah mempertaruhkan hidupnya untuk Laila dan yang pernah mengasuhnya setiap detiknya selama sepuluh tahun. Namun, lima tahun terakhir beliau pun juga berubah. Setelah beliau mendapat pekerjaan di perusahaan yang terkemuka di ibukota ini, beliau jadi, entah Laila bisa menyebutnya sebagai apa. Gila kerja, mungkin? Selama sekian tahun menjadi ibu rumah tangga, rupanya wanita itu rindu dunia tempatnya bisa bersenang-senang, lepas dari rutinitas rumah tangga.

Lain lagi dengan kakak perempuannya, Kak Claudia. Mungkin karena pengaruh teman-temannya di kampus, ia jadi kerap pulang malam. Di mana lagi kalau bukan ke klub malam saban harinya? Apakah kehidupan ibukota memang selalu seperti ini?

Lamunan gadis itu buyar, dikejutkan oleh kilat yang berkelebat disusul suara petir yang menggelegar. Ia terkejut dengan suara itu dan hanya bisa meringkuk di atas kasur. Ia belum pernah mendengar petir yang begitu mengejutkan selama lima tahun terakhir. Ia tiba-tiba merasa sesak, teringat biasanya ibunya yang segera datang ke kamarnya untuk memeluk Laila di saat seperti ini, memastikan Laila baik-baik saja. Ia kini hanya bisa menangis dalam diam. Akankah kenangan indah itu bisa terulang kembali? 

Tuhan, apakah keluargaku bisa kembali utuh walau sekejap saja? Jerit Laila dalam hati.

======================================================================

"Lela surlela! Pagi-pagi udah burem aja!" seru sebuah suara di belakang Laila. Mendengar suaranya saja membuat gadis itu menaikkan kedua ujung bibirnya.

"Dari mana kamu tahu aku lagi burem? Kamu aja dari belakang," ujar Laila begitu orang itu duduk di depannya. Orang itu, atau bisa disebut lelaki itu, tertawa kecil.

"Kamu pikir aku udah temenan sama kamu berapa tahun, hah?" ujar Husein, lelaki itu, dengan ekspresi pongah tiada tanding. Laila tertawa kecil melihat ekspresi Husein. Namun, ekspresi Husein tampak berubah. Ia menyusuri lekuk wajah sahabatnya itu.

"Omong-omong, kemarin aku denger petir besar banget, tumben. Euh, kamu nggak apa-apa, kan?" ucap Husein. Laila hanya menghela napas kecil dan tersenyum tipis.

"Iya, Sein. Tumben banget ada petir besar banget kayak gitu."

"Eh, aku barusan baca. Bakal ada petir besar lagi, lho. Nggak tahu kapan, sih. Tapi, katanya lebih besar dari yang kemarin. Serem, ya, Lel? Apalagi di kota ini banyak bangunan tinggi besar. Walaupun ada penangkal petirnya, sih. Tapi, kalau petirnya kayak kemarin terus gimana, dong? Bisa-bisa penangkal petirnya pingsan, lagi," ucap Husein panjang lebar setelah menatap layar ponselnya dan diakhiri tawanya sendiri. Laila hanya mengernyit dan berjengit membayangkan keadaan itu. Sendirian? Bersama petir semacam itu?

Ketika Lilin MenyalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang