Subani melangkah dengan gelisah di dalam perpustakaan yang dulu sering digunakan oleh Arin dan kawan-kawannya. Gerak-geriknya tak mencurigakan di mata para pengawal yang berjaga. Melihat keadaan itu, Subani tersenyum tipis, mengetahui bahwa rencananya berjalan mulus. Dengan lihai, tangannya mulai mencari-cari buku yang sebenarnya telah dibahas oleh keempat anak dewa sebelumnya.
Buku-buku tergeletak terbalik, memancing rasa penasaran Subani. Beberapa lembar halaman terlihat sudah robek. "Apakah mereka telah menemukan sesuatu di sini?" gumamnya sendiri sambil merapikan buku-buku di meja.
Pengawal yang berjaga tidak mencurigai apa-apa, mereka hanya melihat Subani sedang membersihkan ruangan.
Ketika seseorang mengetuk pintu, Subani tidak teralihkan pandangannya dari buku-buku yang ada di mejanya. Buku-buku usang itu menjadi fokusnya, menyimpan misteri yang ingin dipecahkannya.
"Apa kamu mendengarkanku? Aku akan mengantar makan malammu," ucap seseorang dari luar.
"Taruhlah di sana," jawab Subani sambil terus menata buku-buku di rak, mencocokkan dengan tema yang sesuai. Arena, yang ada di luar, merasa tidak dihargai.
"Pak Subani, bisakah kamu menghargai aku?" protesnya.
"Lalu, apa bedanya dengan dirimu yang tidak menghargai sosok yang lebih tua di hadapanmu? Jangan memutarbalikkan fakta jika fakta itu dibuat olehmu sendiri," balas Subani tanpa berpaling dari buku yang sedang dia susun.
Arena terdiam, merasa bersalah karena telah mengurung dan mengintimidasi pria tua tersebut.
Arena memutuskan untuk berbalik dan meninggalkan ruangan, namun panggilan dari Subani membuatnya terhenti di ambang pintu.
"Aku percaya padamu, tapi kamu telah merusak kepercayaanku," ucap Subani dengan suara penuh penyesalan.
Arena berdiri di ambang pintu, merasakan beratnya kata-kata Subani. Dia tahu bahwa dia telah kehilangan kepercayaan pria tua itu, dan itu bagaikan pukulan telak bagi dirinya. Kekecewaan menyelimuti hatinya, namun di sisi lain, dia juga sadar bahwa dia harus memperbaiki kesalahannya jika ingin mendapatkan kembali kepercayaan yang telah hilang. Dengan langkah yang ragu dan penuh penyesalan, dia meninggalkan ruangan, bertekad untuk melakukan yang terbaik dalam menebus kesalahannya.
****
Cahaya matahari mulai menyinari ruangan, memberikan sentuhan hangat di pagi hari. Ringo yang bangun lebih awal dari yang lain, mulai menyiapkan barang-barangnya. Dia duduk di meja dan mulai menyantap makanan sarapan yang dikirim oleh Hernia.
Suasana tenang itu terusik oleh satu orang yang masih terlelap dalam tidurnya. Prinka terbaring di ranjangnya dengan selimut dan bantal berserakan di sekitarnya. Tanpa sadar, dia mencoba meraih sesuatu dan hampir terjatuh dari ranjang.
"Phalasia!!" teriaknya frustasi.
Phalasia tersentak dari tidurnya, terkejut dengan teriakan Prinka.
"Ada apa?" tanyanya heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ringo : Catching Fire (Revisi)
Aventura[Jangan Plagiat] Di alam semesta yang penuh dengan dewa dan kutukan kuno, lima jiwa berani merentasi utara yang gelap untuk menemui dewa yang terbantai. Tetapi takdir memiliki rencana lain, ketika empat di antaranya menghilang tanpa jejak, meninggal...