Bagian 7

3 0 0
                                    

Silvia melepas kepergian Rafael dengan senyum. Rasa rindu dan khawatir kepada adiknya sudah sedikit terobati.

Ia mengambil kotak kecil yang ditinggalkan Rafael. Adiknya itu memang sering melakukan hal seperti ini, bukan karena ia meninggalkan kotak tersebut dengan tidak sengaja, namun itulah 'cara' Rafael memberikan hadiah. Ia senang memberikan hadiah kecil untuk kakaknya dengan cara seperti itu itu.

Silvia mengingat saat beberapa waktu lalu, sebuah kotak yang mirip mendadak muncul di kamarnya di Yorktown. Kotak yang berisikan sebuah kalung kecil dengan gantungan S berwarna Ungu. Meskipun sedikit alay, Silvia tetap tertawa saat mendapatkan kotak tersebut dan memakai kalung itu hingga hilang beberapa hari lalu saat ia terpelanting oleh ledakan bom di Yorktown.

Silvia membuka kotak itu untuk melihat isinya. Sebuah kalung berwarna perak dengan ukiran E&L berwarna emas yang membuat kesan elegan pada kalung tersebut. Yang satu ini bukan 'pemberian' dari Rafael, selera nya terlalu buruk untuk menemukan sebuah mahakarya ini. Silvia mengambil secarik kertas yang berada dibawah kalung tersebut. Ia lebih tertarik pada kertas tersebut. 

Silvia membuka kertas tersebut, hanya ada 1 kalimat yang tertulis serta sebuah tanggal kapan surat itu ditulis. Silvia langsung menyadari siapa pemilik kalung tersebut. Atau setidaknya orang yang seharusnya menjadi pemilik dari kalung tersebut. Silvia menghela napas panjang, ia mengingat kembali kejadian mengerikan pada hari itu.

***

XO menyambut kedatanganku di depan kapal. Ia memberikan sebuah kertas yang berisi jumlah persediaan Alaska untuk berlayar selama 2 minggu. Aku mengangguk kepada XO dan mengembalikan laporan itu kepadanya.

Aku berjalan menuju kantin yang sudah pasti ramai di jam seperti ini. Tujuanku tidak lain adalah untuk mencari cemilan disana dan semoga masih ada sedikit porsi makan siang untukku. Aku melupakan makan siang ku hari ini dan belum memakan apapun sejak tadi pagi. Selama di rumah sakit, pikiranku hanya tertuju pada kak Silvia hingga rasa lapar ku terlupakan. Dan baru sekaranglah rasa lapar itu tiba-tiba datang.

Aku masuk kedalam kantin dan membuat seluruh kru Alaska diam memberi hormat kepadaku. Aku hanya mengangkat tanganku sekilas untuk membalasnya. Mataku langsung tertuju pada Nona Aru yang sedang berada di salah satu meja dekat pintu masuk dapur. Nona Aru menyadari keberadaan ku dan melambaikan tangannya.

"anda sudah kembali CO?" Dia menyapa ku saat aku sudah berada didepannya.

"Aku pulang."

"Selamat datang kembali." Dia tersenyum ramah sambil menaruh buku yang sejak tadi ia pegang.

Aku duduk di bangku di sebrang Nona Aru. 

"Bagaimana perjalan mu, apakah tidak ada hambatan?" Dia membuka percakapan dengan basa-basi.

"Yah, jika maksudmu tidak ada serangan udara, maka jawaban ku tidak. Namun, jika maksudmu hambatan jalan tertutup, gedung runtuh, atau kerusuhan, hal tersebut hampir ada di setiap titik." 

"Apakah sekacau itu, Capt?" Nona Aru kini sedikit khawatir.

"Yah, sepertinya masih dalam batas wajar. Jika kita melihat situasi Singapura belakangan ini. Dan, apakah anda tidak keluar kapal selama kita bersandar?" Kini aku yang berganti bertanya pada Nona Aru.

"Bukannya tidak ingin keluar. Sebenarnya saya ingin pulang ke Yogyakarta. Tapi sepertinya kita tidak pernah tahu kapan harus berlayar kembali dengan kondisi saat ini." Nona Aru terlihat sedikit sedih. Kalau kuingat, Dia memang sudah lumayan lama tidak pulang ke negaranya, sama sepertiku sebenarnya.

"kalau begitu, kenapa anda tidak ikut saja dengan Saya."

Nona Aru menegakkan kepalanya.

"Sebetulnya, saya harus ke Surabaya malam ini. Kita butuh anak itu sebelum pergi besok."

Project PacificTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang