Usai semua peristiwa menghebohkan tadi, Anzilla pun memutuskan bangkit lalu mengalihkan perhatian pada dua penjaga yang berdiri di belakangnya. Sementara orang-orang yang tadi berkerumun satu-persatu sudah mulai membubarkan diri. "Aku ingin membangun sebuah klinik pengobatan gratis untuk semua orang di sekitar kota. Di mana para petugasnya harus siap siaga, agar kelak jika ada kejadian seperti tadi bisa cepat ditangani."
"Klinik?" ajudan dan pelayannya bertanya heran, karena mereka tak tahu apa itu 'klinik'
"Ah, maksudku sebuah tempat pengobatan, yang di dalamnya disediakan tabib, asisten tabib, dan obat-obatan lengkap, apa kalian paham? Tapi aku ingin semua orang bisa mendatangi tempat itu tanpa dipungut biaya."
"Masya Allah, Anda baik sekali, Yang Mulia," puji dua pelayan dan dua penjaga di depannya.
"Tapi Anda harus mendiskusikannya dulu dengan khalifah, Yang Mulia," ujar Halima memberi saran.
Anzilla diam sejenak dan menatap ke arah para pelayannya. "Haruskah?" Permaisuri memastikan. Tentu saja pertanyaannya dijawab anggukan setuju semua orang.
"Tapi ...." Anzilla menggantung kalimat ragu, haruskah dia menuruti perkataan Halima? Sementara beberapa hari ini khalifah bahkan tak bersedia mengajaknya bicara. 'Tapi kenapa ajudan nya malah dikirim ke sini?' batin Anzilla kala dia menyadari ada Hasan di sana. Wanita itu pun mengalihkan perhatian pada ajudan raja.
"Kau kenapa mengikuti kami sampai ke sini, Hasan? Apa Yang Mulia raja menyuruhmu?"
"Ya, Yang Mulia, beliau ingin agar saya menjaga Anda."
Mendengar jawaban itu, Anzilla terdiam. Sedikit tak menyangka kalau khalifah diam-diam masih memerdulikannya. 'Hah, dia pikir dengan melakukan itu, pendapatku tentangnya akan berubah? Aku justru semakin kasihan pada wanita pemilik tubuh ini, punya suami gemar sekali mengoleksi wanita. Kemarin Areta yang jadi perhatian, sekarang ganti lagi' batin Anzilla berusaha menepis kekagumannya akan sikap khalifah.
"Kalau begitu aku ingin menemunya sekarang, ayo, Halima," ujar Anzilla akhirnya, lalu pergi mendahului semua pelayan.
"Anda yakin akan menemui khalifah, Yang Mulia? Bukanya kata Anda sudah tak peduli lagi soal beliau?" goda Halima.
Ucapan wanita itu membuat Anzilla menghentikan langkah dan menatapnya kesal. "Aku menemuinya hanya ingin membicarakan soal pembangunan tempat pengobatan, tak lebih dari itu," ujar Anzilla mempertegas, lalu kembali melanjutkan langkah.
Tak butuh waktu lama, setelah sampai di istana Anzilla pun memilih langsung menemui khalifah di aula kerajaan. "Assalamualaikum, apa kau sedang si-" Anzilla tak jadi melanjutkan kalimat ketika dia mendapati ada beberapa mentri sedang berdiskusi dengan khalifah di ruangan itu.
"Ah, aku pergi saja kalau be-"
"Tunggu, Permaisuri!" seru Khalifah menghentikan Anzilla yang hendak beranjak. Pandangannya lalu beralih pada beberapa menteri di sana. "Kalian pergilah, biarkan aku bicara dengan permaisuriku dulu," sambung khalifah. Ucapannya dijawab anggukan oleh semua mentri.
Khalifah pun akhirnya memfokuskan perhatian pada permaisuri yang berdiri di depannya. "Ada apa? Apa kau sudah menyadari kesalahanmu sampai berani menemuiku sekarang?"
Mendengar perkataan suaminya, Anzilla memutar mata jengah, dia mencoba untuk bersikap lembut dan hormat meski setiap kali melihat wajah khalifah dia ingin mengumpat. Apa lagi saat mengingat bahwa laki-laki ini selalu bermain-main dengan wanita. "Aku ke sini hanya ingin mengusulkan pada Yang Mulia, kalau aku hendak membangun sebuah tempat pengobatan gratis bagi rakyat kota Baghdad atau bahkan di seluruh negeri ini kalau bisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anzilla dan Sang Khalifah
Historical FictionAnzilla Jhonson, wanita Amerika keturunan Yahudi yang begitu benci dengan islam karena cerita turun-temurun di keluarganya. Dia sengaja berkuliah di University Of Bagdad untuk membuktikan kebenaran tentang sejarah buruk kekhalifahan islam termasuk H...