Bagian lima belas, tumbuhnya rasa percaya.

95 34 38
                                    

Sudah dua minggu berlalu, kehidupan di sekolah tak terlalu buruk baginya. Selama dua minggu itu juga Fitri tak melihat keberadaan Yusyie Jella yang selalu mengganggunya. Entah karena alasan apa, tetapi ia tak melihat batang hidungnya sama sekali, seolah menghilang ditelan bumi. Hari ini pun ia tak masuk, padahal sudah minggu ketiga.

Memang seharusnya pengganggu sepertinya menghilang saja. Namun, kehidupan di sekolah tak ada bedanya. Fitri masih sama menyendiri, baginya hal itu membuatnya merasa lebih tenang. Sebenarnya tidak selalu menyendiri, kali ini ada Zenand yang menemani. Entah sejak kapan lelaki itu sering mengajaknya berbincang.

Bel yang menunjukkan jam istirahat kedua baru berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu. Fitri kini telah berada di perpustakaan, berteman kan buku-buku yang tertata rapi di setiap rak. Ia menduduki kursi paling belakang disamping jendela, karena menurutnya lebih nyaman disana. Dibelakangnya pun masih ada rak yang berisi buku-buku paket setiap mata pelajaran.

Perpustakaan tak terlalu ramai, hanya ada lima orang disana. Isinya sekumpulan orang berkacamata yang begitu ambisius. Perpustakaan yang cukup luas ini tak terlalu banyak didatangi oleh para siswa siswi, mungkin memang mereka sepertinya malas menaiki tangga. Bagaimana tidak, perpustakaan ini terletak di lantai tiga.

Disaat-saat Fitri tengah berkutat dengan buku didepannya, suara lelaki menyapa pendengarannya.

"Hei, sedang apa?" Sapa seorang lelaki yang jaraknya lumayan dekat dari tempat gadis itu duduk, tepat disebelahnya.

Tidak perlu menoleh pun sudah tahu, karena suara itu suara milik Zenand. Tidak ada lelaki lain yang mendekati Fitri selain Zenand.

"Tidak lihat, kak?" Balas Fitri agak ketus tanpa mengalihkan sedikit pun perhatiannya dari buku yang berada ditangannya.

Zenand menghela nafas pelan, sudah biasa sebenarnya. Tetapi tetap saja ia tak ingin menyerah. Ia kemudian menarik kursi kosong yang berada disamping Fitri, berniat menempati kursi kosong itu. Alih-alih segera mendudukkan diri, Zenand sengaja menggeser kursinya mendekati gadis itu barulah ia mendudukkan dirinya.

Sebelumnya kursi kosong itu berjarak, tetapi sekarang sudah tidak lagi karena seseorang menggerakkannya. Jarak mereka cukup dekat, bahu mereka juga hampir berdempetan. Fitri merasa tidak nyaman, mendadak tubuhnya terasa kaku.

Manik mata merah itu melirik lelaki disampingnya yang sedang menyugar rambutnya ke belakang. Kemudian buru-buru mengalihkan pandangannya lagi tatkala Zenand menyadari bahwa dirinya sedang dilirik.

Kedua alis Zenand terangkat, "Kau diam-diam melirikku, ya?" Tanyanya, memiringkan kepala diiringi senyuman seorang penggoda. Ah, itu menyebalkan.

Cepat-cepat Fitri kembali berujar tegas, "Tidak, kakak terlalu percaya diri." Dalam nada suaranya pun sudah jelas sekali ia sengaja mengelak. Tetapi jika begitu justru Fitri malah terlihat kaku.

Hal itu membuat Zenand tersenyum tipis, sudah tahu jika Fitri tak akan mudah mengakui bahwa ia sempat meliriknya. Kemarin pun Fitri melirik Zenand diam-diam ketika pria itu sibuk berbicara panjang lebar.

Tiba-tiba ia menguap merasakan kantuk kembali menyerangnya. Lantas ia meletakkan kedua lengannya dan menenggelamkan wajahnya dimeja. Jujur saja Zenand mengantuk, karena itulah ia ke perpustakaan agar bisa tidur saat jam istirahat berlangsung. Apalagi dengan suasana di perpustakaan yang begitu hening.

"Jangan tidur di perpustakaan, kak." Tutur Fitri pelan, perhatiannya masih tetap pada buku, jemari lentiknya bergerak membuka lembaran baru.

Zenand mengangkat kepalanya, ia menoleh memandangi gadis disampingnya. Lengannya masih menempel dimeja, kemudian ia silangkan hingga telapak tangannya memegang kedua bahu lebarnya. Lalu, Zenand gunakan lengannya sebagai tumpuan untuk kepalanya bersandar menghadap kearah Fitri.

Rintangan Harsa { Perjalanan. }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang