Katanya hidup itu penuh dengan misteri. Contoh sederhana aja, kita gak akan pernah tau apa yang akan terjadi esok hari. Jangankan besok, apa yang akan kita hadapi sedetik kemudian setelah melakukan sesuatu aja gak akan pernah bisa ditebak. Dan hari ini, satu misteri dalam hidup Laras terbongkar. Misteri yang selama ini cuma jadi angan, tapi ternyata Tuhan mengabulkannya.
Setahun yang lalu, Laras harus berjuang keras di jurusan yang semestinya tidak dia masuki. Akibat dari keimplusifannya meletakkan jurusan ekonomi dipilihan pertama alih-alih Sastra Inggris. Awalnya dia berusaha untuk bertahan, tapi pada akhirnya dia gak sanggup dan berharap dalam kehidupan ini ada tombol skip sehingga dia bisa segera menyudahi masa-masa sulit ini. Dengan tekat bulat dan sisa keberanian yang dia punya, gadis itu akhirnya memberitahu orang tuanya bahwa dia kembali mendaftar kuliah di kampus dengan jurusan yang selama ini dia inginkan. Sebenarnya kampus yang lamanya juga kampus impiannya, namun tidak dengan jurusannya.
And today is the day.
Di teras rumah, dengan tas besar penuh dengan pakaian dan keperluannya nanti di tanah rantau, Laras memandangi setiap inci halaman rumahnya. Satu persatu aneka macam tanaman milik bapak dia pandangi. Dia akan rindu suasana hijau itu. Laras mengembuskan napas panjang, lalu kesedihan yang sudah dia tahan sejak seminggu yang lalu kembali menguasainya. Ini adalah keputusannya tapi berat rasanya harus memulai semuanya dari nol dan jauh dari rumah.
"Udah siap belum?" Itu suara Tirta, kakak sulung Laras. Lelaki itu yang akan mengantar adiknya ke tanah rantau. "Buruan!"
Laras mengekori Tirta yang berjalan di depannya dengan menenteng paper bag yang entah apa isinya. Setelah masuk mobil dan menutup pintu, mobil milik bapak melaju mengantar Laras menuju kota yang akan menjadi rumahnya selama setidaknya empat tahun.
Mobil melaju sedang bersama kendaraan-kendaraan lain yang entah akan menuju kemana. Alunan lagu Korea mendominasi di dalam sana dengan volume cukup keras, bahkan Tirta nampak heboh sendiri mengikuti irama lagu. Dalam hati Laras mencibir karena Tirta adalah salah satu di antara ribuan orang yang menganggap lagu Korea itu berisik, tapi hari ini lelaki itu menjadi satu-satunya orang yang sangat menikmatinya.
"Semangat dong, Ras! Kakak sengaja muter lagu-lagu kesukaan kamu biar kamu semangat, bukan lemes kayak gitu."
Laras berdecak, lalu buang muka ke jendela. "Lagi gak semangat. Lagian kak Tirta nih gak paham kondisi banget? Aku lagi sedih tau!"
"Tadi perasaan pas pamitan kayak gak sabar banget mau berangkat. Sekarang kenapa lemes gini?"
Tirta bisa mendengar helaan napas panjang Laras. Gadis itu sibuk melihat kendaraan-kendaraan yang melaju cepat mendahului mobil mereka, pikirannya terbang memikirkan apakah dia bisa bertahan seenggaknya sehari di sana, mengingat dia bukan tipe anak yang bisa jauh dari rumah. Meski di rumah, hadirnya lebih sering menjadi sebuah bayangan yang jarang dihiraukan.
"Kalo misal kangen langsung bilang aja. Nanti kakak main ke sana." Tirta hanya mendapat kesunyian sebagai jawaban, lalu lelaki itu mengganti lagu bertempo berisik itu dengan lagu yang bertempo lebih tenang.
"Bangunin kalo udah sampe!" Akhirnya Laras bersuara, lalu setelahnya gadis itu terlelap meninggalkan Tirta yang sepertinya akan kebosanan selama dua jam ke depan.
Setelah kurang lebih dua jam berkendara, Tirta menghentikan mobil mereka di sebuah rumah yang cukup besar dan berhalaman luas yang di penuhi rumput hijau. Lelaki itu membangunkan adiknya sebelum keluar dari mobil. Laras menyusul tak lama kemudian, lalu mereka duduk di kursi yang ada di teras rumah itu.
Laras sibuk mengetik pesan di ponselnya, mengabari si empu rumah bahwa dia sudah sampai. Lima menit menunggu, seorang wanita berusia kira-kira 30-an datang dengan wajah ramah. Tirta dan Laras lantas berdiri dan memberi sapaan ramah.
"Laras, ya?" Laras mengangguk, wanita itu beralih pada lelaki yang berdiri di samping Laras. "Ini?"
"Kakak saya."
"Oh. Kalau begitu, ini kunci kamarnya. Mari saya antar."
Wanita yang pada akhirnya Laras kenal dengan nama Ratih berjalan memimpin di depan. Tepat di depan pintu bertuliskan angka 115 mereka berdiri dan pintu dikuak. Laras di sambut oleh ruangan berukuran sedang yang hanya di penuhi oleh satu kasur, satu lemari, satu kipas angin, dan satu meja berserta kursi yang terletak di sisi kiri pintu.
"Kamu semester berapa?" Ratih bertanya seraya memberikan kunci kepada Laras.
"Mahasiswa baru."
Dahi Ratih berkerut mendengar jawaban itu. Wajar saja, maba gila mana yang baru pindah ke kost sehari sebelum rangkaian acara orientasi kampus dimulai. Ya, cuma Laras. Cuma dia mahasiswa baru gila itu.
"Kok baru pindah hari ini? Temen-temen seangkatan kamu malah udah dateng dari dua minggu yang lalu. Itu---" Ratih menunjuk kamar bernomor 120, tepat saat itu seorang gadis keluar dari kamar. "---namanya Adinda, udah datang dari sebulan lalu bahkan."
Gadis bernama Adinda hanya tersenyum sebentar, sebelum akhirnya pergi menuju kamar mandi. Sedangkan Laras cuma bisa senyum kikuk, bingung mau menjawab apa.
"Kalau gitu saya tinggal ya. Peraturan di sini bisa kamu baca di ruang tamu, tulisannya gede banget. Yang perlu saya ingatkan, tamu laki-laki batas sucinya cuma sampai ruang tamu dan jam malam maksimal jam 10. Paham?"
"Baik, Bu."
"Jangan panggil bu. Mbak Ratih aja. Oh, karena kakak kamu pasti bakalan bantuin kamu pindahan, hari ini dia boleh menerobos batas suci. Selain hari ini, haram!"
"Siap, Mbak. Terima kasih."
•••
Sedari tadi, Kahill tak henti-hentinya memerhatikan mobil putih yang terparkir di depan kostan putri yang letaknya tepat di depan kostannya. Batinnya bertengkar tentang dua hal, keluar dan membantu atau diam saja pura-pura tak tahu. Tapi rasanya akan aneh jika dia tiba-tiba datang, ketika keadaan mereka sudah tak seperti dulu.
"Sopo sih?" Suara dari yang terdengar dari sampingnya membuat Kahill terkejut. Itu Adit, kakak tingkat satu kampusnya yang sudah dia kenal sejak semasa SMA. "Pacarmu?"
Kahill berdecak mendengar tanyanya, lalu netranya kembali menatap ke depan. Dua orang yang sedari tadi dia perhatikan mulai menurunkan barang-barang dari mobil dan sepertinya Kahill memang tidak bisa diam saja.
"Heh! Kate nang endi?" Tanya dari Adit kembali dia abaikan. Kakinya melangkah ringan dan semakin mendekati target. Begitu sampai, dadanya berdegub kencang tanpa sebab. Dua orang yang sibuk mengeluarkan barang-barang itu masih belum menyadari kehadirannya.
Kahill menarik napas dan mengembuskannya untuk menetralkan degub jantungnya. Lama tak berdiri dengan jarak sedekat ini dengan gadis yang selalu mengisi masa kecilnya membuat Kahill sadar, kalau kini tingginya sudah tak seperti dulu. Sekarang, Kahill lebih tinggi. Dulu gadis itu selalu sombong kalau dia akan selamanya lebih tinggi dari Kahill, tapi hari ini kesombongan itu runtuh. Dan Kahill sangat ingin mengatakan, sekarang aku udah lebih tinggi dari kamu.
"Hai! Perlu relawan buat angkat barang gak?"
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Be Friend's With You
Teen FictionHidup ini penuh dengan misteri. Kita gak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Dan aku rasa, marantau adalah salah satu misteri yang gak pernah aku duga. Misteri lainnya, tetangga yang lama menjadi asing denganku tiba-tiba akrab lagi denganku...