"Wah, aku baru pertama kali kesini. Padahal aku tinggal di Bali sudah dari lahir," ujar Rossie dengan kedua mata berbinar setelah mengamati sekeliling. Laut lepas dengan ombaknya yang sesekali menghantam batu karang. Serta burung-burung yang terbang di langit biru, tampak bersuka cita.
"Kamu seneng?" tanya Hartawan yang tidak melepaskan pandangan dari Rossie.
"Ya, sangat senang. Terima kasih sudah mengajakku dan Megumi kesini, Om," tukas Rossie dengan senyuman merekah. "Wah, Megumi juga happy ya?"
Kaki Megumi ikut menghentak di dalam stroller sambil menikmati susu dari botolnya. Siang ini Hartawan sengaja mengajak Rossie untuk makan siang di salah satu restoran The Moon hotel. Salah satu restoran ikonik yang didirikan di atas tebing. Suara deburan ombak serta angin laut menjadi teman ketika menikmati hidangan karya chef andalan hotel itu.
"Syukurlah." Kali ini intonasi Hartawan melirih saat melihat senyuman mengembang di wajah Rossie. Senyuman yang baru pertama dilihatnya setelah 27 tahun terpisah. Putri yang tiba-tiba hadir dan baru diketahui oleh Hartawan beberapa bulan yang lalu.
"Oh iya, Om udah pesan makanan? Aku nggak tahu sih menu terbaik di sini apa," ujar Rossie yang sangat jarang mencicipi menu hotel selain mendapatkan sisa ketika menjadi daily worker. Itu pun ia harus mencicipi secara diam-diam setelah acara selesai. "Aku jarang makan makanan hotel, Ok. Terkadang nakal dikit sih pas jadi daily worker."
Hati Hartawan terasa nyeri seketika setelah mendengarkan pengakuan sang putri. Selama ini ia bisa menikmati semua makanan termahal tanpa harus mengkhawatirkan nominal. Harga sejumput kaviar yang setara dengan dua tahun gaji UMR Jakarta pun bukan hal mewah baginya. Namun, Rossie harus mengais makanan sisa hanya untuk membayar rasa penasaran.
"Om, kenapa?" tanya Rossie yang menyadari selaput bening menyelimuti kedua mata Hartawan.
"Oh nggak apa-apa, cuma kelilipan aja." Buru-buru Hartawan menyeka air mata yang belum sempat luruh itu. "Tadi Om sudah pesan makanan terbaik di sini."
"Wah, akhirnya aku bisa cicipin makanan mahal di hotel ini," seru Rossie sambil meringis bahagia.
"Ya, kamu bisa makan sepuasnya. Apapun yang kamu inginkan. Om...." Lidah Hartawan terasa kaku ketika menyebutkan panggilan itu. "Om akan mewujudkan semua keinginan kamu."
"Benarkah?" Rossie menopang dagu seraya memeta wajah Hartawan dengan seksama. Mendadak ia teringat akan sosok ayah yang tidak pernah ada dalam hidupnya. "Om kayak Santa Claus yang akan mewujudkan semua keinginan anak-anak."
Hartawan mencoba tergelak tawa untuk mengusir lara yang mulai menguasai diri. "Oh ya? Sepertinya Om butuh perut buatin biar terlihat lebih mirip."
Rossie ikut tertawa mendengar lelucon itu. "Aku kadang berpikir, apalah ayahku sebaik Om Hartawan?"
Kalimat Rossie berhasil membuat Hartawan tersentak. Saraf tubuhnya seolah mati beberapa saat.
"Ah, tapi kalau sebaik Om Hartawan tidak mungkin mereka membuangku begitu saja," tambah Rossie yang kemudian melemparkan tatapan ke laut lepas untuk mengusir kegusaran. "Ternyata sangat menyenangkan bisa duduk sambil menikmati pemandangan seperti ini."
"Apa kamu ingin bertemu dengan orang tuamu?" tanya Hartawan setelah bersusah payah mengumpulkan keberanian.
"Dulu," jawab Rossie masih menatap hamparan laut biru. "Dulu aku selalu duduk di depan panti sampai larut malam untuk menunggu orang tuaku. Karena sempat ada orang tua salah satu anak panti yang datang untuk menjemputnya." Rossie menjeda ucapannya sebentar. "Tapi, semakin lama aku menanti kehadiran mereka, aku semakin merasa terbuang." Air mata mulai mengumpul di pelupuk mata Rossie, tetapi ia berusaha menahannya. "Karena mereka tidak pernah datang."
Hartawan meneguk saliva kuat-kuat. Ketakutan untuk mengakui status mereka semakin bergumul hebat di dalam hati. "Kamu membenci mereka?"
"Ya, aku sangat membenci mereka," jawab Rossie tanpa berpikir panjang. Ia menoleh kepada Hartawan sambil menangis. Kontan pria paruh baya itu mengulurkan tisu untuknya. "Maaf, Om."
"It's Okay, kamu bisa menangis kapanpun kamu mau," tambah Hartawan menahan diri.
"Aku pernah mengutuk hidupku. Aku bertanya kepada Tuhan, kenapa harus terlahir jika ujung-ujungnya dibuang? Aku tidak diinginkan, dan tidak memiliki tempat untuk pulang. Lalu untuk aku hidup?" Rossie terus berceletuk dengan berurai air mata. "Semua orang mencari kebahagiaan 'kan Om selama hidup? Tapi aku tidak tahu kebahagiaan seperti apa yang aku cari." Rossie tersenyum untuk menyamarkan luka dalam hati. "Aku sering iri saat melihat anak yang bahagia bersama ayah mereka. Bahkan ketika melihat Jeffry dan Megumi. Aku iri sama Megumi, karena dia bisa merasakan kasih sayang ayah yang tidak akan pernah aku dapatkan."
"Kamu bisa anggap Om sebagai ayah kamu," terang Hartawan tiba-tiba. "Mulai sekarang kita bisa melakukan banyak hal sebagai ayah dan seorang putri bersama. Apapun yang kamu inginkan," tambahnya.
Rossie tersenyum lalu terkekeh setelahnya. "Wow, itu pasti akan menjadi memori indah yang tidak pernah aku lupakan. Thanks, Om."
"Mungkin, kamu tidak akan berkata seperti itu saat tahu aku adalah ayah kandungmu, Nak," batin Hartawan sambil membuang muka untuk menyeka air mata.
***
["Reaksi publik tidak ada yang berlebihan, Pak. Semua media sudah tidak ada yang membicarakan masalah Pak Jeffry. Tapi ...."]
Mata Noah berputar ke arah gedung-gedung pencakar langit di California. Tentu saja media tidak berisik, sebab Noah sudah membungkam mereka agar berita mengenai Jeffry dialihkan. Baru merasa lega beberapa menit, Noah kembali resah sebab ucapan dari Pak Ketut. "Tapi apa?"
["Gek Melisa kemarin pagi pergi ke kantor, bertengkar dengan Pak Jeffry."] Pak Ketut melanjutkan.
"Melisa." Noah mendesah jengah. "Terima kasih banyak, Pak Ketut. Tolong nanti saya keadaan di sana. Apapun itu."
["Siap, Pak Bos!"] Bebarengan dengan panggilan yang terputus, Noah meremas kertas di genggaman.
Kembali ia melihat lembaran mengenai kelulusan Melisa yang diliput oleh media Australia tiga tahun yang lalu. Tampak di sana Melisa mendapatkan penghargaan summa cumlaude. Tampak di artikel itu Melisa sama sekali tidak tersenyum. Pun hanya ia yang berdiri sendiri tanpa didampingi oleh keluarga.
"Melisa, kenapa kamu selalu mencari perhatian dengan membuat masalah!" geram Noah seraya meremas artikel tersebut. "Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidup Jeffry, Melisa. Tidak akan pernah!"
Noah ingat betul jika ia yang mengalihkan perhatian Richard agar tidak datang ke perayaan wisuda Melisa. Sebab di saat itu Jeffry juga sedang dilantik sebagai CEO Widjaja Hotel. Noah hanya tidak ingin kebahagiaan sang adik menjadi lara ketika Richard mengutamakan Melisa. Sejak kecil, Jeffry sudah cukup mengalah terhadap anak dari wanita perusak keluarganya itu.
"No...ah...." Lirih suara Richard sontak membuat Noah membalikkan tubuhnya. Ia setengah berlari ketika melihat pergerakan jemari sang ayah.
"Papa!" panggil Noah yang kemudian memanggil tenaga medis.
TO BE CONTINUED....
Selamat sore, Lovelies. Rossie dan Jeffry kembali hadir. Buat yang mau baca sampai tamat bisa ke Bestory atau Karyakarsa yak, dengan judul yang sama. Selamat membaca ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss' Secret Baby (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA DAN BESTORY)
Roman d'amour[ADULT AREA] Bagaimana kalau kamu bertemu lagi dengan mantan pacar dan menjadi babysitter anaknya? Rossie Olena merasa tidak berkutik karena bertemu kembali dengan Jeffry Tanoe Widjaja, putra konglomerat pemilik Widjaja Tobacco Indonesia sekaligu...