A Story by HasrianiHamz
🥨🥨🥨🥨
"Ah ... capeknya aku, Kak!" keluhku ketika senior sudah beberapa kali mengajak untuk mengambil foto bersama.
Namun, sepertinya mereka tidak ada yang mendengar keluhan itu. Mungkin lebih tepatnya, mereka hanya pura-pura tidak mendengarnya. Dasar pembual, katanya aku sudah dianggap adik sendiri tapi lihat sekarang mereka malah mengabaikanku yang terasa sangat lelah setelah perjalanan jauh.
"Sekali lagi, Dek," kata Kak Iman dengan ucapan yang sama beberapa sejak menit lalu.
Aku hanya bisa menarik napas lalu mengembuskannya dengan kasar, sedikit jengkel dengan keadaan seperti ini tapi aku pun tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut saja. Mungkin mereka sama lelahnya sepertiku, atau bahkan lebih hanya saja mereka berusaha menghargai lelaki tua itu. Sedari tadi aku memasang wajah memelas, tetapi mereka seolah tidak menyadari itu karena lelaki yang bernama Rachmat terus saja mengajaknya bicara dengan berbagai topik yang tidak ada habisnya.
Daripada terjebak, bukankah lebih baik aku menghindar saja. Aku memilih pergi ke mushola, di sini aku bisa merebahkan tubuh dan merasa lebih aman sembari menunggu mereka selesai. Selain itu, aku juga bisa mengisi daya baterai ponsel yang sempat lowbat karena tidak terurus selama dalam perjalanan.
Beberapa menit, mataku sempat terpejam sebelum bunyi notifikasi ponsel menyadarkan. Kupikir itu dari senior yang sekarang sedang mencariku, ternyata hanya kiriman foto hasil jepretan tadi. Ada beberapa gambar, tapi hanya satu yang wajahku kelihatan tidak terlalu buruk dan sisanya kalau tidak merem pasti menganga. Ah, siapa sih tukang foto amatiran yang disuruh tadi. Tidak tahu saja kalau orang sudah lelah, ditambah lagi harus melihat hasil foto yang sembarangan seperti ini.
Cukup lama aku terus menggeser foto-foto itu, melihatnya lagi dan lagi seolah ada harapan hasilnya akan membaik sendiri jika terus diperhatikan. Merasa sudah bosan, aku memilih salah satu gambar untuk kujadikan story hari ini, sudah tidak peduli dengan bagus atau tidaknya. Berada di tengah-tengah lelaki seperti itu, aku berasa memiliki pengawal yang selalu siap menjagaku.
"Bersama abang-abang yang sangat perhatian tapi juga krisis kepekaan."
Begitu caption yang kutulis di semua media sosial, biar saja jika mereka semua melihatnya. Justru itu lebih baik agar aku segera dibawa pulang. Tak berselang lama, seseorang dari kontakku mengirim komentar untuk foto itu.
Alma
| Saingannya Bang Rasyad ini 🤭Aku tersenyum seraya mengetik balasan, tapi belum sempat mengirimnya malah nama kak Iman sudah muncul di layar ponselku. Ya, tentu saja dia menelepon.
"Di mana, Dek?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Mushola, Kak." Aku menjawabnya dengan sedikit malas.
Sebelum ada panggilan pulang, sepertinya wajahku ini akan terus kutekuk.
"Ayo pulang," ajaknya.
Bukannya mengiyakan dan segera menemuinya, aku hanya melongo sebentar. Ada apa tiba-tiba mengajak pulang setelah aku memasang story seperti itu? Apa mereka ini memang harus disindir terlebih dahulu untuk menstimulasi kepekaannya.
Tak ingin berlama-lama, aku segera keluar dan berjalan dengan cepat menuju ke tempat mereka. Berharap setelah sampai di sana, pembahasan mereka sudah selesai dan kita akan benar-benar pergi. Benar saja, aku masih harus memasang telinga untuk mendengarkan mereka bicara. Beruntung daya ponselku sudah terisi hingga aku tidak lagi harus sesuntuk tadi. Dari tempatku berdiri kulihat mereka sangat serius membahas sesuatu, mungkin aku memang harus belajar mengerti tentang dunia senior. Bisa jadi mereka membahas hal yang lebih banyak karena baru bertemu, sekaligus meminta saran dari orang yang dituakan itu. Oke, sekarang aku mengerti dan akan mencoba bersabar sedikit lagi.
"Ya sudah, ayo bergeser. Kasihan Arsyra sudah nungguin dari tadi," ujar lelaki yang bernama Rachmat itu. "Nanti kita bahas lanjut di Sekretariat saja."
Namun, mendengar ucapannya barusan bukannya membuatku bernapas lega karena akan segera pulang, tetapi malah menambah deru semakin cepat karena sedikit emosi.
Apa katanya? Lanjut di Sekret? Jadi? Dia akan ikut bersama kami? Ya Allah, jika benar begitu dosakah seorang junior jika mengirim mereka semua menemui penjaga kuburnya.
"Ayo, dek Arsyra," ajak Rachmat yang kini berjalan di sisi kananku.
Sementara di depan sana sudah ada kak Iman yang lebih dulu berjalan menuju parkiran.
"Jadi, gimana Arsyra?" tanya Rachmat membuka percakapan ketika kami sudah berada di dalam mobil.
Ia sengaja diberi tempat untuk duduk di depan, tepat di samping Kak Iman yang sedang mengemudi. Aku berada di belakangnya dengan sedikit mencondongkan badan memeluk sandaran kursi si kakak sopir. Sekilas aku menoleh ke arahnya, bukan tatapan sinis melainkan raut wajah kebingungan.
Apanya yang gimana? batinku.
"Maksudku musyawarahnya, gimana? Masih mau ikut tahun depan atau sudah cukup?"
"Belum tau, Kak. Mungkin kalau ikut lagi, ya, paling cuma mau jalan-jalan saja." Aku menjawabnya dengan jujur.
Ya, sudah cukup dikirim jadi peserta, maunya keliling lagi jika memang ada kesempatan untuk ikut musyawarah.
"Ya, bagus itu, jalan-jalan lihat keunikan kota orang lain. Kalau saya itu biasanya setiap tempat yang saya singgahi tanya-tanya bahasa Daerah dan seputar kesenian di daerah tersebut," jelasnya panjang lebar.
Aku hanya mengangguk kecil mendengarkan. Katakan saja, aku menunggu apa yang akan dia bahas selanjutnya.
"Oh iya, Arsyra. Arsyra ini orang asli mana?"
Hah, pertanyaan itu lagi.
Pertanyaan yang sering membuatku bingung untuk menjawabnya, meski setiap kali yakin untuk menjawab tentu saja kadang aku juga meragukannya.
"Orang Kalimantan, tapi bukan suku asli karena orang tua Bugis."
Semoga saja bisa dipahami, itu harapku setelah sedikit menjelaskan padanya.
"Oh ... Sulawesi Selatan," tebaknya dengan benar.
Sekarang aku merasa bagaimana serunya bicara dengan orang ini, pantas saja seniorku lupa waktu ketika berbicara dengannya tadi. Ternyata orangnya seasyik itu, sudah cukup lama kita bercerita tanpa terasa mobil tiba di depan warung makan yang berada di Bukit Suharto. Jarak dari Balikpapan ke Samarinda memang memakan waktu yang cukup lama, sekitar tiga sampai empat jam perjalanan. Biasanya sopir rental memang selalu berhenti di tempat ini untuk makan atau hanya sekadar ngopi.
"Ya ... Wa'alaikumsalam," jawabku membalas ucapan salam dari Rasyad di seberang telepon.
Mata Kak Adi seketika melirik ke arahku, sadar sekarang sedang bersama senior yang over protektif tapi aku berusaha untuk cuek.
"Sudah sampai?" tanya Rasyad.
"Belum, ini masih di jalan sama seniorku."
"Oh, Sera kenal sama kak Rachmat?"
Aku mengerutkan alis mendengar pertanyaannya, kenapa dia bisa kenal dengan senior satu in? Atau jangan-jangan mereka juga pernah bertemu selama di lokasi musyawarah kemarin.
"Ya, kenal begitu saja. Kemarin tidak sengaja ketemu di depan Alfa karena mau pinjam hp," jelasku pada Rasyad.
"Mmm ... ya, ya, ya. Dia itu masih cowok loh," ucap Rasyad membuatku kembali mengerutkan kening.
"Memangnya kenapa kalau masih cowok?"
Pertanyaanku barusan ternyata berhasil mengundang pandangan semua senior ke arahku. Meski sekarang sedang menyengir, tetapi Kak Adi dan Kak Iman seolah menunggu penjelasan.
"Nanti Sera bakal dijadikan pacar," jawab Rasyad lalu terdengar tawa di akhir kalimatnya.
Aku ikut tersenyum, ingin tertawa juga tapi tempatnya sangat kurang tepat.
Bagaimana mungkin aku bisa dijadikan pacar jika tak mau dan sepertinya itu karena ... kamu, batinku.
*** • ***
Karena apa?
Rasyad ini nyadar gasih?
Please ... peka dikit, lah 🤭
KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum dalam Rasa
Teen FictionBertemu dan terjebak bukanlah pilihan yg kurangkul, sebab selalu ada harap yg menyertai setiap langkah semakin rapat. ~ Arsyraina Bertemu lalu merindu, terasa sulit saat itu karena aku tak mudah melupakanmu. Meski pada sekian detik berikutnya, aku s...