40.

42 8 8
                                    

Tommy masuk ke sebuah kafe daerah Simpang Lima. Inilah kafe yang dipilih Ezra untuk mengobrol dengan teman lamanya itu. Ketika Tommy bingung harus ke mana, ponselnya berbunyi. Ezra menyuruhnya untuk naik ke lantai dua.

Benar saja. Ezra sudah ada di sana. Lambaian tangannya menyambut Tommy untuk segera mendekat. Ezra memilih tempat di teras lantai dua. Pemandangan kota yang disinari lampu sangat indah.

Sorry telat. Aku antar anakku dulu ke bengkel untuk ambil motor.” Tommy menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Ezra.

“Enggak apa-apa. Santai saja, Tom.” Ezra kemudian melambaikan tangan ke salah seorang pelayan. Ia menyerahkan buku menu pada Tommy. “Pesan makan dan minum, Tom. Aku sudah lihat isi menunya dan sudah tahu mau memesan apa.”

Pelayan itu mendekat. Tommy melihat isi buku menu dan mencari makanan dan minuman yang menarik hatinya. Ezra memberi tahu pelayan apa saja yang dipesannya. Selesai dengan pesanan Ezra, si pelayan beralih ke Tommy.

“Mas mau pesan apa?”

Lychee tea dan roti bakar cokelat, keju, kacang.”

“Oke. Ditunggu, ya. Permisi.” Pelayan itu pamit meninggalkan mereka

“Kamu enggak pilih makan berat?” tanya Ezra.

“Enggak. Belum terlalu lapar.”

“Aku pesan pizza untuk kita. Katanya pizza di sini enak.”

Tommy hanya tersenyum. Kemudian ia melihat cincin emas di jari manis Ezra. “Kamu sudah menikah lagi, Zra?”

“Sudah.”

“Wah! Selamat, ya. Aku enggak tahu kalau kamu sudah menikah, Rubiyah juga enggak pernah cerita. Pasangan kamu orang mana?”

“Sebenarnya ini pernikahan rahasia. Keluargaku di sini enggak ada yang tahu. Kecuali Widuri. Oh, ya. Pasanganku orang Jerman.”

“Pasti cantik, ya.”

Ezra tertawa dalam hati. Ia tersenyum jahil pada Tommy. “Ganteng pol!”

“Apa?!” Tommy terlihat terkejut. Ganteng? Apa dia tidak salah dengar?

“Ganteng.”

Kemudian Tommy menyadari sesuatu. Dia lupa kalau Ezra punya ketertarikan terhadap pria. Hal seperti ini seharusnya tidak mengejutkannya.

“Oh, kamu mengikuti jejak Widi, ya?”

“Bagian nikahnya saja. Bagian terbuka dengan keluarga, oh tentu tidak.” Ezra menjawab sambil bercanda.

“Aku bingung mau menanggapi bagaimana.”

“Jangan bingung. Cukup terima informasinya saja,” kata Ezra.

Seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Kedua pria itu terdiam sampai pelayan tersebut selesai menata makanan di atas meja.

“Terima kasih,” kata Ezra saat pelayan itu pamit. Ia menatap Tommy. “Silakan dimakan, Tom.”

“Ya.”

“Libur sekolah kamu liburan ke mana?” tanya Ezra sambil mengaduk es kopi Vietnam yang dipesan.

“Aku mau ke Bogor. Reuni kelas. Widi juga mau datang.”

“Oh. Ya. Kemarin aku satu pesawat dengan dia.” Ia meneguk sedikit minumannya.

“Aku pikir kamu balikan dengan Widi.”

“Awalnya balikan. Tapi setelah itu berpisah. Aku enggak bisa cocok dengan anak bungsunya. Salahnya ada di aku, sih.”

“Begitu, ya.” Tommy meminum teh lecinya. “Kamu tahu di mana Ivan?”

“Enggak. Benar-benar hilang kontak dengan dia. Terakhir bertemu Ivan di New York. Sudah lama sekali. Dia juga enggak main media sosial. Susah dihubungi.”

“Kamu ajak aku ke sini murni karena ingin temu kangen atau ada hal lain?” tanya Tommy pada Ezra. “Kamu kelihatan murung walaupun masih hehahehe seperti dulu.”

“Kelihatan, ya?”

Tommy hanya mengangguk. Ezra mulai menceritakan apa yang dipendam beberapa hari ini. Tentang Widuri, tentang dirinya yang harus menyingkir dari kehidupan sang anak. Semua itu membuat air matanya kembali menetes. Tommy memberikan sapu tangannya pada Ezra. Beberapa pasang mata menatap ke arah mereka, dua pria dewasa yang tengah galau. Samar-samar Tommy mendengar suara di belakangnya yang mengatakan kalau Tommy memutuskan Ezra sampai akhirnya pria itu menangis.

“Aku masih lurus!” seru Tommy sambil menoleh ke belakang. Barulah orang-orang itu terdiam.

“Maaf," ujar Ezra yang merasa bersalah.

“Enggak apa-apa. Sepertinya ini bukan tempat yang bagus untuk bercerita.” Tommy tersenyum pasrah.

*

Jalan-jalan ke Puncak, yuk.
Aku yang bawa motor.

-Ari-

Pesan yang semalam dikirim Ari kembali dibaca oleh Widi. Mereka sepakat untuk pergi ke Puncak hari ini. Sekarang Widi menunggu Ari di depan rumahnya. Tak lama, Ari muncul dengan motor matik besar.

“Mas Widi, ayo!” ajak Ari.

Widi segera menghampiri Ari dan duduk di belakang gadis itu. Ari menyerahkan helm untuk dipakai Widi. Setelah itu motor melaju meninggalkan rumah Widi.

“Kita ke mana?”

“Makan sate Maranggi di Puncak. Atau main ke Cianjur sekalian.”

“Kamu tahu jalan?”

“Tahulah. Kalau enggak tahu, ngapain aku ajak, Mas?” Ari balik bertanya. Ia menaikkan kecepatan motornya yang membuat Widi refleks memeluk gadis itu. “Takut, ya.”

“Bukan!” Widi jadi salah tingkah. “Aku enggak terbiasa naik motor.”

“Dulu sering naik motor sama Mas Ezra, kan?”

“Ya. Jalan-jalan ke Puncak buat cari spot makan Indomie yang estetik.”

Ari tak membalas ucapan Widi saat menyadari Widi semakin mengeratkan pelukannya. Ia tak merasa keberatan dengan hal itu. Tiba-tiba Ari teringat pada tujuannya mengajak Widi pergi bersama. Rasa sedih hinggap di hatinya.

Motor Ari mulai memasuki kawasan Puncak setelah satu jam berkendara. Mereka berhenti sejenak untuk mengisi bensin dan membeli minum di minimarket. Widi yang bertugas membeli minuman menunggu Ari di depan minimarket itu.

Sebenarnya Widi merasa kasihan dengan Ari yang harus berkendara sendiri menuju Puncak. Widi merasa tidak gagah karena tidak bisa mengendarai motor. Apalagi itu hanya sebuah motor matik.

Motor Ari mendekati Widi. Wanita itu bertanya, “Mas Widi kenapa?”

“Hm, kamu enggak capek bawa motor satu jam lamanya?”

“Enggak, sih. Aku sudah terbiasa.”

“Serius?”

“Ya. Aku kerja di Depok, rumahku di Bogor. Tiap hari pulang pergi baik motor,” jelas Ari sambil menerima air minum dari Widi. Ia minum sejenak, kemudian menepuk bagian belakang jok motornya. “Ayo, naik. Biar waktu makan siang kita bisa sampai di warung sate Maranggi langgananku.”

“Ya.” Widi naik lagi ke motor Ari.

“Pegangan, Mas. Kayaknya aku bakal ngebut. Hehehe,” canda Ari.

Setelah berjalan beberapa lama, mereka sampai di sebuah warung sate Maranggi di Cianjur. Ari memesan beberapa makanan dan minuman untuk dimakan bersama Widi. Ia juga bilang kalau hari ini dia akan mentraktir Widi karena dirinya sedang bahagia.

“Bahagia dalam rangka apa?” tanya Widi sebelum mencicipi ketan bakar yang disajikan.

“Ingat Wahid?” Mata Ari berbinar. Perasaan Widi langsung tidak enak. “Dia akan datang ke rumah bersama orang tuanya Minggu depan.”

Widi tahu ke mana arah pembicaraan ini. Tapi ia pura-pura tidak tahu dan pura-pura terkejut saja. “Oh, ya? Mau ngapain?”

“Melamarku katanya.”

Tuh, kan! Aku telat! – Widi

Wajah Ari menunjukkan kebahagiaan. Widi tak mau menghancurkan kebahagiaan itu dengan mendahulukan perasaannya yang mulai meletup-letup. Ia sibuk makan tanpa bertanya apa pun yang berhubungan dengan acara lamaran Ari.

“Mas Widi enggak kasih aku selamat gitu?”

“Oh, selamat, ya.” Widi sama sekali tidak menatap Ari. Ia sibuk mencocol sate ke dalam sambal oncom.

Ari merasakan perubahan sikap Widi. Ia berusaha membuka obrolan. “Mas Widi pernah jalan-jalan berdua dengan perempuan?”

“Pernah. Tapi bukan untuk membahas cinta.” Ingatan Widi menampilkan sosok Arin yang dulu bersedih karena tahu Widi seorang gay. Widi terpaksa menenangkan Arin dengan sebuah kecupan manis di bibir. Untung saja waktu itu ia tidak ditampar oleh Arin. Widi baru sadar kalau tindakannya itu termasuk kurang ajar.

“Mas Widi pernah suka dengan perempuan?”

“Pernah. Tapi sayang, aku telat menyatakan perasaan. Mungkin aku enggak pintar memanfaatkan kesempatan,” curhat Widi.

“Mungkin nanti Mas Widi menemukan cinta yang lain yang lebih baik.”

Widi tersenyum tipis. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia meraih tisu makan untuk mengelapnya.

“Mas Widi nangis?”

“Enggak. Sambalnya nyiprat mata,” kata Widi yang berbohong. “Sudah. Makan dulu. Habis itu kita pulang.”

“Pulang?” Mata Ari melotot. “Kan belum jalan-jalan.”

“Pulang saja. Kayaknya aku masuk angin, deh. Aku mau minta kerok sama William.” Widi mulai berakting seperti orang sakit.

“Oh. Oke. Kita pulang,” sahut Ari dengan nada kecewa. “Tapi, walaupun aku menikah, kita masih bisa berteman, kan?”

“Bisa saja.”

Dalam hati Widi berteriak kalau pertemanan itu tidak akan pernah ada. Tapi di dunia nyata, ia coba menunjukkan wajah paling tulus untuk Ari. Ia harap Ari tak akan menyadari perubahan sikapnya yang sangat drastis.

Tapi Widi salah. Ari sudah mengendus perubahan sikap itu sejak mereka makan siang. Saat pulang, secepat apa pun Ari mengebut, Widi sama sekali tidak memeluknya. Untung saja mereka tidak mengalami kecelakaan dan sampai di rumah dengan selamat. Widi bergegas turun dari motor dan mengembalikan helm milik Ari.

“Ada yang aneh dengan sikap, Mas. Apa ada sesuatu yang Mas ingin katakan?” tanya Ari.

“Enggak ada.” Widi masih berusaha menyembunyikan rasa kesalnya.

“Yakin?” Ari mencoba mengulik lebih dalam.

“Entahlah.” Widi bersandar pada dinding lampu hias. “Haruskah?”

“Jika itu membuatmu lega, enggak apa-apa.”

Widi mengangguk. “Sepertinya aku jatuh cinta padamu.”

Melihat wajah Ari yang terkejut, Widi menjelaskan lagi maksud ucapannya.

“Aku berpikir kalau bersamamu, aku bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tapi ternyata aku sudah terlambat. Aku tak memanfaatkan waktuku dengan baik. Hm, aku minta maaf, ya. Seharusnya aku enggak ngomong tentang hal ini.”

“Aku, hm, ya. Tak apa-apa.”

“Jangan pikirkan hal ini, ya. Anggap saja tidak terjadi apa-apa. Oke?” Widi tersenyum tipis.

Perasaan Ari jadi campur aduk. Ia tak menyangka telah membuat Widi jatuh hati padanya. Jujur saja, jika boleh mengatakan hal ini, ia ingin Widi tahu kalau bukan dia tujuan hatinya. Jika masih bisa melabuhkan hati pada Ezra, Ezra yang akan dipilih Ari. Bukan Widi. Bukan juga Wahid.

“Oke,” sahut Ari dengan lirih. Ia mengurungkan niatnya untuk mengatakan kejujuran itu. “Aku permisi dulu.”

“Ya. Hati-hati.”

Keduanya saling bertukar senyum sebelum berpisah. Ari mengendarai motornya dengan kecepatan rendah. Sambil menuju rumah, ia mempertanyakan keputusannya yang akan menikahi Wahid. Benarkah itu pilihan tulusnya atau pilihan cadangan karena tak mendapatkan Ezra?

*

Perasaan Widi belum membaik sampai hari reuni tiba. Wajahnya masih murung dan sikapnya masih dingin. Sarah dan William yang ikut ke acara reuni berusaha mengorek informasi pada sang ayah. Mereka terus bertanya bagaimana kondisi Widi saat ini. Tapi Widi malah mendiamkan anak-anaknya.

Ponsel Widi berdering. Dan nama Ari muncul sebagai si penelepon. Widi membiarkan ponselnya berbunyi. Sedangkan anak-anak tak ada yang berani menyentuh ponsel itu saat Widi sedang dalam mode silent. Setelah dua panggilan yang panjang, ponsel itu kembali hening.

“My Ayah is broken heart,” ujar Sarah.

Widi tersenyum tipis. Malu. Setua ini masih galau karena patah hati. “Kau tahu segala tentangku. Seperti papamu.”

“Tentu saja. Aku kan anaknya.”

“Ayah tak perlu patah hati. Siapa tahu Ayah akan bertemu jodoh di acara reuni nanti,” kata William yang diberi anggukan kepala oleh Sarah.

“Semoga saja.”

Peta digital Widi telah berkata kalau mereka sudah sampai di tujuan. Widi bingung saat melihat sebuah gedung serba guna, bukan rumah seperti yang dijelaskan oleh temannya di grup chat kelas. Widi mengambil gambar gerbang gedung itu dan mengirimkannya ke grup chat, ia menunggu konfirmasi apakah benar ini lokasi temu kangen mereka.

Seketika ponselnya berbunyi. Salah seorang teman mengiyakan pertanyaan Widi. Ia menyuruh Widi langsung masuk saja. Barulah saat masuk, Widi melihat banyak mobil yang terparkir. Widi mencari lokasi parkir yang masih kosong dan memarkirkan mobilnya di sana.

Panas matahari langsung menerpa saat ketiganya keluar dari mobil. Widi memimpin anak-anak berjalan di depan sambil membaca chat di ponselnya.

“Widi!”

Widi menoleh. Seketika tersenyum lebar.

“Tom!”

Kedua pria itu berpelukan.

“Apa kabar?” tanya Tommy. “Kok enggak tambah tua?”

“Aku baik-baik saja. Alhamdulillah, kalau awet muda!” kata Widi dengan bersemangat. “Kamu bagaimana kabarnya? Datang dengan siapa?”

“Aku datang sendiri. Anak-anak dan istri lagi mager parah liburan ini.” Tommy kemudian menatap Sarah dan William. “Ini anakmu, Wid? Sudah besar, ya.”

“Hai,” sapa Sarah. “Aku Sarah.”

“Aku William.” William melambaikan tangannya.

“Duh, masuk ke dalam saja, yuk. Panas banget di sini,” ujar Tommy.

Widi mengangguk, ia menggandeng Sarah dan William kemudian menyusul Tommy yang berjalan.

Acara hari itu sangat meriah. Teman-teman yang tak pernah melihat Widi di reuni sebelumnya terlihat bahagia dengan kehadiran Widi. Mereka memuji Sarah dan William yang cantik dan tampan. Pokoknya Widi dan anak-anak menjadi bintang di hari itu.

Sayangnya, di tengah kebahagiaan Widi, ada seseorang yang merasa tidak senang padanya.

“Oh, jadi kamu sekolah ke US cuma jadi tukang kue, Wid?” tanya Fariz, salah seorang teman kelas Widi yang sejak dulu memang sering bermasalah dengan Widi. Entah kenapa Widi tak pernah klik dengan orang ini.

“Ya. Aku bahagia dengan profesiku. Bikin kue itu mengasyikkan,” jawab Widi.

“Tapi kan pendapatan enggak banyak,” singgung Fariz.

“Alhamdulillah, ada saja rezeki dari pekerjaan sampingan,”

“Pekerjaan sampingan kamu apa? Aku sih, enggak perlu pekerjaan sampingan. Jadi wakil rakyat saja sudah banyak. Enggak perlu capek cari duit dari pekerjaan sampingan.” Fariz menggulung lengan kemejanya. Terlihat jam mahal di lengannya.

“Serabutan, sih. Kadang urus deviden dan pajak-pajaknya, uang dari endorsement dan video juga banyak. Cukup untuk biaya sehari-hari dan ditabung untuk sekolah anak-anak.” Widi berusaha tersenyum walaupun ingin sekali mengetok kepala Fariz dengan palu.

“Begitu, ya? Tapi, kamu enggak mau pindah ke karier yang lebih mentereng gitu? Rasanya masakan kamu juga enggak seenak itu.” Fariz mengambil sebuah kroket kentang. Gigitan pertama membuatnya jatuh hati. “Amanda, ini kroket kamu beli di mana? Enak banget, lho. Aku habis tiga potong, nih.”

Lha emang dulu kalau aku jualan, kamu suka beli? Beli aja enggak. Komentar mulu! - Widi

“Makan yang banyak. Mas Widi bawa banyak banget, lho.” Amanda yang muncul membawa banyak kroket kentang yang baru di goreng.

“Ini buatan kamu?” tanya Fariz yang terkejut. Ia seperti hendak menjilat ludah sendiri. “Halal enggak, nih?”

“Insha Allah, halal,” jawab Widi yang mulai emosi.

“Aku wajar bertanya, lho. Semua orang di sini tahu siapa kamu. Ya, aku pikir kerjaan kamu yang serabutan itu juga termasuk ....” Fariz tersenyum jahil. “Ya kamu tahulah. Hidrogen, oksigen, molibdenum.”

Semua orang yang ada di sekitar mereka paham apa maksud Fariz menyebutkan tiga unsur kimia itu. Widi juga paham karena ia hafal di luar kepala tabel periodik unsur. Lambang unsur hidrogen adalah H. Oksigen dilambangkan dengan O. Molibdenum dilambangkan dengan Mo. Kalau diurutkan Hidrogen, oksigen, molibdenum adalah H, O, Mo. Sebuah hinaan bagi Widi.

Widi mendengus kesal. Ia kemudian berkata, “Fluorin, uranium, karbon , kalium, itrium, oksigen, uranium.”

Fariz terlihat kebingungan. Ia membuka ponselnya dan mencari tabel periodik unsur untuk mengartikan deretan unsur kimia yang Widi sebutkan.

“Mas Widi bilang fuck you, Riz. Masa gitu aja enggak tahu?” tanya Amanda.

Fariz langsung menyimpan kembali ponselnya dan bergegas meninggalkan kerumunan orang itu. Dia malu sekali dengan cara Widi membalas hinaannya. Tommy terkekeh melihat kepergian pria itu.

“Ya ampun! Sadis kamu, Wid,” kata Tommy.

“Aku enggak sadis. Aku sulfur, lantanum, itrium,” sahut Widi. “Dibaca S, La, Y. Slay!”

*

15 Desember 2023

Terima kasih sudah membaca. Ditunggu vote dan komentarnya. 😘

His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang