———
Bruk!
Aku terbaring di atas lantai perpustakaan. Aku mengerang kesakitan karena benturan keras lantai dengan tubuhku. Lalu perlahan, aku beranjak dari tempatku. Aku melihat ke sana kemari, lalu berjalan menuju perpustakaan bagian depan. Dahiku sedikit mengernyitt karena melihat petugas perpustakaan. Aku mengenal wajahnya, tetapi sekarang kenapa dia tampak lebih muda?
Aku melihat sebuah poster bertuliskan ulang tahun perpustakaan. Namun sedikit janggal karena hari ini adalah ulang tahun perpustakaan kesepuluh, padahal perpustakaan sudah cukup lama berdiri. Tatapan mataku seketika tertuju pada tanggal hari ini.
25 Mei 2005.
Aku makin terkejut di tempatku. Bahkan saat aku kembali, aku tidak kembali pada waktuku yang sebenarnya.
Di tahun 2020.
Aku berjalan keluar dari perpustakaan. Bahkan seragam yang kupakai sedikit berbeda dengan anak-anak di sekitarku. Beberapa ada yang menoleh ke arahku sembari berbisik-bisik aneh. Aku mengabaikannya, sekarang aku hanya perlu untuk mencari Dokja ataupun Delio yang mungkin masih hidup saat ini.
Langkahku terhenti saat berada di depan kelas tujuh B. Aku mendengar suara pukulan yang cukup keras, dengan cepat aku membuka pintu kelas dengan kasar. Mataku melotot saat melihat seorang anak laki-laki kecil yang terduduk di depan loker dengan wajah penuh lebam.
"Delio..." Ujarku pelan dengan nada sedih.
Kemudian, Delio kembali ditendang oleh anak-anak di depannya. Teman satu kelasnya hanya terdiam menyaksikan semua hal itu, tidak ada yang membantu Delio.
"Hei! Apa yang kalian lakukan?!!" Aku berteriak lantang dan masuk ke dalam kelas tersebut.
Seluruh kelas segera menatapku aneh. Tetapi, aku tidak peduli dan mendekat pada Delio yang penuh lebam di lantai. Aku segera membantunya, kemudian menariknya keluar dari kelas. Bisa kudengar teriakan anak yang merundungnya, memanggil namanya.
Aku tengah duduk di atas ranjang dengan Delio di sampingku. Anak laki-laki itu terdiam di tempatnya sembari menunduk. Sementara aku dengan telaten membersihkan lukanya. Kemudian terakhir, aku menempelkan perban pada dagunya.
"Apa sudah selesai?" Tanyanya, dia menatapku sedikit takut.
Aku menganggukkan kepalaku.
"Siapa kamu?" Tanya Delio. Sekarang matanya yang polos menatap ke arahku, ada sedikit harapan yang terpancar darinya.
Aku tersenyum cerah. "Malaikatmu."
"Malaikat?"
"Itu begitu sakit bukan? Kenapa kau tidak melawannya?" Aku mengganti topik.
Dia justru menggelengkan kepalanya lemah. "Aku sudah terbiasa dengan itu. Tampaknya tubuhku tidak meresponnya sebagai rasa sakit."
Aku menatap ke arahnya cukup lama, terus memperhatikan wajah dan lebamnya dengan cukup seksama. Dia juga menatap ke arahku, bahkan merasa sedikit salah tingkah karena kutatap. Lalu, Delio memalingkan kepalanya dengan pipinya yang agak memerah.
Aku menaruh kepalaku di atas bahu kecilnya. Tidak seperti suhunya biasanya, kali ini Delio cukup hangat. Benar-benar seperti orang yang hidup.
"Delio." Aku memanggilnya.
Dia terkejut di tempatnya. Lalu, menatapku bingung. "Ba, bagaimana kau tahu namaku?"
Aku menatapnya. "Kan sudah kubilang aku itu malaikat."
"Memangnya malaikat tahu segalanya?"
Aku menunjuk hidung kecilnya. "Tentu saja, aku tahu banyak hal soal kamu."
Delio justru menundukkan wajahnya sedih. Aku menangkup wajahnya yang pucat, lalu mengarahkannya untuk menatapku.
"Jangan terus menundukkan kepala, terkesan jika kamu tidak percaya diri. Lebih baik, angkat menghadap ke depan." Aku bahkan membuat tangan seolah menunjuk ke depan, padahal di depanku adalah dirinya sendiri.
Dia mematung di tempatnya. Terus menatapku dengan tatapan yang aneh. Tunggu, tampak seperti harapan dari matanya.
"Kamu—"
Tsucuchut!
Hilang. Semua seketika menghilang secara tiba-tiba dan aku makin terkejut di tempatku. Tempat berganti dan sekarang aku berada di sebuah atap. Aku menoleh ke sana kemari, sampai akhirnya pandanganku tertuju di sebuah pagar. Di luar pagar tersebut, terdapat seorang anak laki-laki yang membelakanginya.
"Delio." Panggilku pelan.
Anak laki-laki itu menoleh ke arahku. Lalu, dia segera berbalik sembari berpegangan pagar. Tatapannya menatapku dengan terkejut.
"Kamu kembali lagi." Ujarnya, ada sedikit kelegaan dalam hatinya saat mengatakan hal itu.
"Apa maksudmu?" Aku berjalan mendekat ke arahnya. Namun, dia mengangkat tangannya, seolah menyuruhku berhenti melangkah.
Mata Delio berkaca-kaca di tempatnya. Hanya tersisa satu perban di wajahnya, dan itu tepat di dagunya. Aku ingat, itu adalah perban yang kuberi barusan.
"Kau menghilang selama dua minggu. Aku menunggumu selama ini."
Air mataku tanpa sadar menetes saat mendengarnya. "Kau menungguku? Kalau begitu sekarang bagaimana? Jika kau sangat ingin bertemu denganku, aku ada di depanmu sekarang! Kemarilah!"
Delio menangis di tempatnya. "Aku tidak ingin kembali ke sana."
Aku menatapnya tidak percaya. "Kenapa? Apa yang membuatmu tidak ingin kembali melangkah ke sini? Aku sudah ada di depanmu lho."
Delio menggelengkan kepalanya cepat. "Seluruh penderitaanku di sana. Kenangan soal Ayah yang mabuk dan hanya memukuli Ibu. Lalu, anak-anak yang merundungku. Aku tidak mau kembali. Aku tidak mau!"
Aku mengulurkan tanganku ke arahnya. Jarakku masih cukup jauh darinya. Aku takut jika dia malah loncat dari gedung jika aku bergerak terlalu jauh.
"Ayo pergi bersamaku, Kim Dokja."
———
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Star Lost | Kim Dokja
Fiksi Penggemar"Aku pernah mencintai sebuah cerita, bahkan karakter-karakter yang ada di sana. Aku memimpikan mereka dan kebahagiaan yang mereka dapat. Namun, aku tidak pernah memimpikan kebahagiaanku sendiri." --- Delio, tertanda sebagai seorang anak kecil berus...