Jari lentiknya memegang tuas pintu.
*Cklek* pintu terbuka, menampakkan isi ruangan yang sangat sederhana.
"Huhh...." Gadis itu menghela napas lega.
Terhitung dua hari sudah ia berada dalam dunia asing ini. Ia dituntut harus beradaptasi dengan cepat dilingkungan sekitar.
Ia mungkin sedikit menyukai hidup Claretta, tak harus ikuti semua kemauan keluarga, bahkan untuk sebuah pekerjaan ia selalu dituntut untuk menjadi seperti ayahnya, hanya karena ayahnya sukses dibidang itu bukan berarti kesuksesan itu akan berlanjut jika ia melanjutkannya.
Ia tau, ayahnya hanya ingin melihat ia sukses dan hidup berbahagia, ia tau ayahnya tak ingin melihat buah hatinya memilih jalan yang salah. Tapi bukan berarti semua yang ia lakukan harus disetir.
Sedari belia ia tak di biarkan untuk memilih, bahkan hal kecil seperti akan mengenakan baju apa hari ini ditentukan oleh orang tuanya.
"Untuk apa menjadi psikiater? Pekerjaan itu tak menjamin kehidupanmu di masa mendatang, lebih baik kamu membangun usaha sendiri seperti Papa." Kata itu terus terngiang-ngiang dipikirannya.
Padahal, apakah papa tau karena apa dirinya ingin menjadi psikiater? Ia ingin menjadi psikiater karena sang ibu.
Ia ingin membantu semua orang bergangguan mental yang berakibat kepada orang-orang disekitarnya. Jika saja mamanya tak diobati sedari ia masih sekolah dasar, mungkin saja ia sudah gila.
Menangis setiap hari di pojok kamar dengan menggenggam sebuah telepon dan tubuh yang sudah babak belur.
Tinggal hanya dengan seorang adik dan seorang ibu yang mengalami gangguan mental membuat batinnya tersiksa.
Ia harus melakukan kewajiban seorang ibu menggantikan mamanya, menghibur adiknya dikala ia takut.
Ia harus menjalani kehidupan sebagai anak dari orang bergangguan mental semenjak ia lahir di dunia, saat memasuki taman kanak-kanak mamanya sudah mulai normal kembali walau masih membutuhkan beberapa obat penenang.
Tapi semenjak sekolah dasar ibunya sudah lepas dari obat-obatan tersebut karena dikira sudah tak membutuhkannya.
Saat ia bangku sekolah menengah pertama ia beserta keluarga kecilnya pergi keluar kota, berkumpul bersama layaknya keluarga normal.
Membuat kenangan manis yang menyempil ditengah banyaknya kenangan buruk.
Selalu saja, setelah ia senang dengan perubahan ibunya, terkadang beberapa tahun kemudian ibunya berubah kembali dan beberapa tahun kemudian ibunya sehat dan berperilaku baik kembali.
Skenario itu terus saja berputar hingga ia sekolah menengah atas, jadi mungkin saja ia akan terbiasa?
Dan saat ia memasuki masa kuliah ibunya diwajibkan menjalani perawatan gangguan jiwa seumur hidup agar dapat beraktivitas normal.
Seharunya ia tak marah kepada sang ibu yang memberi luka padanya. Karena ibunya juga terkena gangguan mental tersebut karena kehidupan dari keluarganya juga sejak ia belia.
Terkadang ia ikhlas dengan semua yang terjadi, terkadang pula disaat sulit ia kesal pada ibunya karena membuatnya menjadi seperti kala ini.
Manik mata cokelat keemasan miliknya menatap cahaya oranye yang sedikit menembus gorden dijendela mungilnya.
Saat menjadi Claretta, ia menjalani kehidupan baru yang sudah ia ketahui alur hidupnya.
Tapi ia menyukainya, karena saat menjadi Claretta gadis itu keadaan hatinya selalu diusahakan senang. Jadi kesehatan mental gadis itu pun menurun pada jiwanya, ia jadi merasakan hidup yang ia idam-idamkan dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Become Someone Else
Fiksi RemajaTerkadang penulis membuat ending yang berakhir tragis pada suatu tokoh tanpa memikirkan bagaimana para tokoh yang mengalaminya. Kisah ini menceritakan tentang seorang penulis yang berpindah jiwa kedalam dunia ciptaannya. Sialnya dia memasuki raga se...