🐟 12 🦑

10.7K 1.2K 50
                                    

Devan, dan Andra tak tahu harus merespon bagaimana, mereka terdiam, keduanya berdiri karena hendak mencegah Arion bersimpuh, tetapi batal akibat perkataan Arion.

"Arion!" Aarav, ayah Andra sekaligus kakak ketiga Arion berlari menghampiri Arion diikuti Arsen, kakak kedua Arion.

"Berdiri!" perintah Arsen, papa Devan. Arion tak menghiraukan perintah kakaknya, ia terus bersimpuh meskipun Arsel sudah menariknya untuk berdiri.

"Arion, berdiri!" geram Aarav.

"Aku tidak akan berdiri sampai Devan, dan Andra—" Arion memejamkan mata, sejenak mengambil nafas yang sempat ia tahan beberapa detik.

"Aku tahu, dengan adanya Drian di tubuh Levan, sama saja dengan Drian mengambil hidup remaja yang tak ada hubungan dengannya." Devan, dan Andra memandang Arion dengan tatapan kosong.

"Bahkan jika seluruh dunia berkata aku orang jahat, dan egois, aku tidak peduli! Asalkan Drian masih di sisiku ... Aku rela menjadi penjahat."

Devan menghela nafas panjang setelah mendengar kata-kata Arion. Adrian adalah orang terpenting dalam hidup Arion, begitu pun dengan Levan yang merupakan orang terpenting untuk Andra, dan Devan. Namun jika Andra dan Devan meminta Adrian mengembalikan jiwa Levan, tentunya Adrian tak bisa, itu di luar kehendak Adrian sendiri, kedua remaja itu paham dengan betul.

Devan juga Andra terdiam cukup lama, Aarav dan Arsen saling menatap, tak ada yang menyadari bahwa nafas Arion makin tak teratur, urat leher Arion menonjol, wajahnya memerah seiring nafasnya yang makin tersenggal.

"Astaga, Arion!" Gerald yang menyadarkan keempatnya dari lamunan, pria paruh baya itu menghampiri Arion.

"Hah ... Papi, Drian ... hah ..." Pandangan Arion memburam, dadanya terasa dihimpit batu, benar-benar sesak.

"Arion, bernafaslah dengan benar," pinta Gerald, ia membantu Arion mengatur nafas sembari memeluknya.

"Papi, Drian ..." Arion terbatuk, sementara Gerald makin khawatir. Nafas cepat yang dialami putranya selalu datang di saat Arion terlalu mengkhawatirkan Adrian, memang saat ini tak separah ketika Arion menatap jasad Adrian hari itu, tetapi Gerald tetap saja khawatir.

"Bernafas dengan pelan, jangan seperti ini." Gerald menangkup wajah putra bungsunya, mata basah dengan wajah kacau yang sama saat jasad Adrian dimakamkan. Ah, Arion merasa takut sekarang.

Arion dengan susah payah mengikuti arahan Gerald, sesaknya berangsur membaik. Gerald dengan telaten menenangkan Arion, sementara dua kakak dan keponakan Arion hanya bisa diam, tak tahu harus melakukan apa.

"Semua akan baik-baik saja, tenang ya?" ujar Gerald menenangkan. Arion menggigit bibir bawahnya, tatapannya terus tertuju pada mata teduh Gerald.

"Papi, Arion gak mau kehilangan Drian lagi." Suara Arion mengadu, penuh harap, tapi terkesan memaksa.

"Duduk di sofa, Dek, biar lebih enak bicaranya." Gerald membantu Arion untuk duduk di sofa, gerakan itu terus diperhatikan oleh Arsen, Aarav, Andra, serta Devan.

Arion diam saja setelah itu, tidak membuka suara dan terus menyembunyikan kepalanya di ceruk leher sang Papi.

Devan kembali menatap Andra, dibalas dengan senyum tipis dan anggukkan agak ragu Andra.

"Om Rion." Tubuh Arion tersentak, ia semakin merapatkan tubuhnya ke Gerald.

"Tidak apa-apa." Gerald menenangkan seraya mengelus rambut Arion.

"Om Rion gak usah khawatir. Meskipun kami ingin Levan kembali, kita juga gak tahu cara mengembalikan jiwa Levan 'kan? Lagipula ini udah takdir, mau tidak mau, suka tidak suka, kami akan menerimanya," lanjut Devan sembari menepuk pundak Andra.

My Best Friend is My DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang