Happy Reading!
Mawar membuka matanya lalu tersenyum manis. Ini adalah pagi yang sangat indah. Karena kemarin semuanya berjalan dengan lancar. Baik itu lamaran Revin untuk Elia dan juga tanggal pernikahan keduanya sudah ditentukan. Rasanya Mawar tidak punya beban lagi sekarang.
"Sayang, berhentilah tersenyum atau mas akan memakanmu."ucap Revan membuat Mawar semakin lebar tersenyum.
"Mas tahu? pagi ini aku bangun dengan perasaan lega luar biasa."ucap Mawar lalu bergeser dan masuk kepelukan suaminya.
"Karena Revin dan Elia?"tanya Revan.
Mawar mengangguk. "Masalah Revin dan Elia bisa dikatakan sudah selesai. Mereka akan menikah dan bahagia."ucap Mawar dan Revan hanya menghela napas lalu mengusap wajah istrinya. Untuk hal seperti ini saja istrinya bisa berpikir sederhana.
"Mas juga bahagia."ucap Revan lembut lalu mengecup bibir istrinya.
"Karena Revin dan Elia?"tanya Mawar.
Revan menggeleng."Karena dirimu."
Mawar tersenyum kecil lalu memukul perut suaminya."Kemarin Jevin juga datang dan mengajakku bicara."beritahu Mawar membuat Revan mengernyit.
"Anak itu bilang apa?"tanya Revan penasaran.
"Em.. Jevin bilang dia ingin membuka toko mainan baru. Dia meminta ijin untuk tinggal di aparteman selama beberapa bulan."terang Mawar membuat Revan diam.
"Aku sangat senang. Setidaknya ada Jevin yang tidak mempermainkan perempuan. Anak itu hanya fokus dengan toko mainannya."ucap Mawar dengan senyum lebar.
Revan mengangguk saja. Lagipula selama ini anak keduanya itu memang lebih fokus dengan toko-toko mainannya dibanding perempuan. Revan bahkan berpikir jika putranya itu tidak suka perempuan. Tapi jika dipikir lebih mending dibanding dirinya atau Revin yang menculik dan memperkosa seorang gadis.
Mawar menghela napas lalu membuat lukisan asal di perut suaminya.
"Ada apa?"tanya Revan lembut. Sepertinya istrinya itu mulai memikirkan sesuatu setelah tadi sempat bilang merasa lega.
Mawar menatap wajah tampan suaminya, ya meskipun sudah ada keriput dibeberapa bagian wajah.
"Aku memikirkan Lily."beritahu Mawar.
"Ada apa dengan Lily?"tanya Revan. Sepertinya tidak ada masalah apapun. Revan selalu menempatkan orang-orang kepercayaannya untuk memantau putrinya jika beraktifitas di luar dan sepertinya tidak ada yang salah.
"Saat aku mengingat kelakuan mas dan juga Revin. Aku takut jika putriku akan mendapat karma atas perbuatan ayah dan kakaknya."ucap Mawar membuat Revan melotot. Karma? Tentu saja ia tak akan biarkan itu terjadi. Lily adalah kesayangannya setelah Mawar, dan jelas Revan tak akan biarkan pria manapun menyakiti putrinya.
"Menurut mas bagaimana?"tanya Mawar khawatir.
"Sayang, jangan khawatirkan sesuatu yang tidak akan terjadi. Putri kita akan mendapat semua kebahagiaan yang ada di dunia ini. Aku akan pastikan itu."ucap Revan dan Mawar hanya diam tapi dalam hati mengharapkan hal yang sama seperti yang dikatakan suaminya.
Sedang di tempat lain, tepatnya disebuah kamar. Revin datang dengan nampan berisi makanan di tangannya.
"Bangun dan makan!"titah Revin datar membuat Elia yang masih sedikit demam langsung bangun meski perlahan.
Revin meletakkan meja di depan Elia lalu menempatkan makanan yang tadi ia bawa di atasnya.
"Makan!"titah Revin membuat Elia perlahan mengambil sendok. Namun tangannya yang bergetar membuat Elia kembali menarik lengannya.
Revin yang melihat itu langsung mengambil sendok dan menarik kursi untuk duduk.
Kemudian dengan tatapan tajam mengambil bubur dan membawanya kehadapan mulut Elia.
"Cepat makan!"titah Revin.
Elia perlahan membuka mulutnya dan menerima satu suap makanan.
Setelah satu menit Elia menelan makanan, Revin kembali berniat menyuapinya.
"Sudah, tuan."cicit Elia pelan.
Revin melotot."Cepat buka mulutmu dan makan!"titah Revin kesal.
Elia menggeleng sambil menutup mulutnya. Revin yang kesal lalu melempar sendok ke dinding.
"Dengar Elia! Andai saja kau tidak sedang hamil anakku. Aku pasti sudah mencekikmu."ucap Revin membuat Elia mulai terisak.
"hiks"
"Menangis saja terus! Karena kau memang ditakdirkan untuk terus menangis. Karena setelah menikah aku akan membuatmu selalu menangis."ancam Revin membuat Elia mendongak dengan mata merah dan air mata yang membasahi pipi.
Revin tertegun sejenak saat melihat wajah Elia. Untuk beberapa detik, Revin mulai menyesali apa yang ia katakan.
"Makanlah! Anak kita butuh makan."ucap Revin akhirnya lalu beranjak mengambil sendok yang tadi ia lempar kemudian memasuki kamar mandi untuk mencucinya.
Revin kembali dan menyuapi Elia. Kali ini meski terisak dan air mata yang terus mengalir, Elia tetap membuka mulutnya.
"Hukk" Elia tiba-tiba saja menutup mulutnya. Wanita itu ingin muntah, Revin tahu itu.
Dengan sigap Revin menjauhkan meja dihadapan Elia lalu mengelus lembut perut wanita itu.
"Sayangku, ini papa,"ucap Revin bicara dihadapan perut Elia."Apa kau sudah kenyang hm?" Revin terus bicara dengan calon bayinya sambil mengusap perut Elia lembut.
"Tu..tuan."panggil Elia pelan membuat Revin menarik tubuhnya dan menatap Elia.
"Apa?"tanya Revin ketus.
"Se..sepertinya ba..bayi kita ingin makan lagi." ucap Elia tergagap dan Revin langsung mendengus.
"Bayiku. Dia adalah bayiku, Elia. Dia adalah milikku dan hanya milikku."tekan Revin lalu kembali mengambil bubur dan menyuapi Elia.
Elia makan dengan perasaan yang berkecamuk. Kini perasaannya benar-benar terluka. Harapan untuk hidup bahagian sepertinya telah kandas.
'Rasanya sangat sakit.'batin Elia. Terlebih rasa sakit ini hanya bisa ia pendam karena ada senyum pria yang harus ia jaga.
Elia ingat betapa ayahnya sangat senang saat tuan Revin melamarnya. Pria yang sudah menjadi ayah selama dua puluh tahun itu mengira bahwa putrinya sangat beruntung.
'Maafkan Elia, yah. Elia janji akan menjalaninya sampai batas di mana Elia mampu.' batin Elia lalu kembali menitikkan air mata.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Kesayangan Tuan Revin
RomanceWarning: 21+ Elia Hasyim, gadis berusia dua puluh tahun. Ia adalah putri seorang pengurus kebun yang bekerja di rumah besar tuan Revan dan nyonya Mawar. Namun disaat sedang menanam bibit bunga, tiba-tiba saja Elia dibekap hingga pingsan. Dan begitu...