A Friend

59 14 1
                                    

Lea mengikuti gadis seumurannya yang memperkenalkan diri sebagai Yuna itu kemana-mana. Mulai dari mencari telepon umum untuk menghubungi keluarga, hingga ke rumah sakit terdekat yang bisa mengobati luka-luka mereka. Tentu saja, Lea menggunakan uang hasil rampasannya untuk itu.

Lea tidak banyak bicara, tapi mendengarkan apapun yang Yuna katakan. Yuna juga masih terlihat trauma dengan hal yang baru saja dia alami dan Lea berempati dengan itu.

"Jadi, orang tuamu sedang dalam perjalanan? Kira-kira berapa lama lagi?" Tanya Lea yang sudah selesai di obati oleh seorang perawat.

"Karena jarak Summerstreet dan Northern Stair cukup jauh, kupikir tiga jam?" Jawab Yuna, yang berbaring di ranjang karena lukanya jauh lebih parah daripada Lea.

Kedua bocah itu melirik jam di dinding dan menghela napas panjang.
"Mungkin sebentar lagi akan sampai," jawab Lea, tersenyum kecil melihat Yuna yang tampak lemah.

"Apa kamu mau pergi? Dimana rumahmu? Aku akan meminta ayahku untuk mengantarmu kalau dia datang nanti," ucap Yuna.

"Rumahku tidak jauh dari sini," dusta Lea sambil tersenyum ringan.

Suara langkah kaki yang berlari tiba-tiba terdengar. Lea segera menoleh ke arah pintu, berdiri dari kursi yang didudukinya dan menyingkir. Tepat seperti dugaannya, keluarga Yuna datang berbondong-bondong dan penuh emosi. Suara tangisan lega segera memenuhi ruangan ketika kedua orang tua Yuna memeluk anak mereka yang terbaring di ranjang rumah sakit.

Lea bergegas keluar, berlari kencang untuk menjauh. Hatinya sungguh sakit melihat bagaimana orangtua Yuna sangat peduli pada anak mereka. Iri, ya, Lea iri. Sungguh-sungguh iri hingga rasanya membuat dada sesak dan ingin menangis.

Dia ingin orangtuanya juga!

###

Perasaan itu datang lagi. Perasaan iri yang sama seperti saat dia melihat interaksi keluarga Yuna di rumah sakit, kini menghampirinya lagi. Lea mendesah melihat para mahasiswa baru di dampingi oleh keluarga mereka. Di umur yang sudah delapan belas tahun ini, rasanya menyebalkan sekali karena merasa iri pada kebahagiaan orang lain.

Yaya tidak bisa datang karena sedang sakit, dan meyakinkan Lea untuk tidak pulang karena acara di kampusnya lebih penting. Universitas Dobuski sangat besar, tentu saja mahasiswanya sangat banyak. Beberapa orang sempat menyapanya, dan tampak ingin berteman tapi Lea masih berhati-hati. Orang-orang asing ini, Lea perlu mempelajari watak mereka lebih dulu sebelum memutuskan untuk berteman.

Setelah upacara penerimaan mahasiswa baru, Lea menuju ruang kelasnya untuk mendapat informasi dasar mengenai kampus dan fakultas yang di ambilnya.

"Kalian tau? Ada dua macam orang yang mengambil jurusan psikologi," salah satu dosen yang juga adalah wali kelasnya tersenyum teduh menatap satu persatu wajah yang ada di sana. Janggutnya yang mulai memutih tidak menutupi ekspresi lembut yang beliau tampilkan. "Sebagian dari mereka mempunyai keinginan untuk membantu orang lain, sementara sebagian yang lain ingin menyembuhkan diri mereka sendiri. Yang manapun kalian, aku harap kalian berhasil!"

Lea menganggukkan kepala untuk merespon ucapan itu. Dalam hati, dia bertanya-tanya apakah ayahnya akan terlihat seperti itu jika beliau masih hidup? Lea segera menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran itu.

"Delapan belas? Sembilan belas? Bukankah kalian sudah mengalami banyak hal buruk dalam jangka waktu selama itu?" Lea tertegun ketika dosennya kembali bicara. "Melihat kalian ada disini setelah semua hal yang terjadi di hidup kalian, bisa aku katakan bahwa aku bangga. Kalian adalah orang-orang hebat yang akan membawa perubahan. Jadi, teruslah berusaha bertahan."

###

Berusaha bertahan, ya? Pikir Lea, kecut. Bagaimana kalau dia melakukannya saat tidak berpikir? Saat semua jadi tidak tertahankan? Perasaan ngeri membuat Lea bergidik setiap menyadari dorongan untuk menyerah dalam hidup ini sering terlintas dalam pikirannya saat dia bahkan tidak menyadarinya.

"Mungkin aku harus berkonsultasi dengan Profesor Wael," gumam Lea lesu.

"Assalamualaikum," suara seorang lelaki yang menyapa, membuat Lea mendongak kaget. Rupa lelaki asing yang tersenyum manis ke arahnya membuat Lea kebingungan.

"Waalaikumsalam?" Jawab Lea, tidak tau harus berkata apalagi karena pikirannya memang sedang berantakan.

"Kamu dari jurusan psikologi, kan? Aku Fadi, dari jurusan fotografi," katanya.

"Oh, baiklah?" Jawab Lea lagi.

"Jadi, siapa namamu?"

Butuh waktu tiga detik bagi Lea untuk menyadari lelaki di depannya saat ini sedang mengajaknya berkenalan.

"Aah!" Gumamnya saat paham. "Lea, panggil saja Lea!"

Fadi tersenyum geli, kemudian menganggukkan kepala. "Senang berkenalan denganmu, Lea!" Katanya, kemudian pergi.

"Huh?" Gumam Lea, merasa heran. Lea mengedarkan pandangannya, dan baru menyadari bahwa dia telah berjalan jauh hingga ke jurusan seni. "Sejak kapan aku sampai disini?" Tanyanya pada diri sendiri.

Lea bergegas pergi karena beberapa orang lain juga sedang memperhatikannya. Karena masih baru, cukup sulit menemukan jalan keluar. Lea bahkan tidak bisa memetakan dimana letak kelasnya jika digambarkan dalam peta atau denah.

"Yaa Allah, sepertinya aku tersesat," keluh Lea, menatap papan jurusan Hukum dengan putus asa.

"Maaf, tapi memangnya kamu mau kemana?"

Lea menoleh kaget ke arah suara yang tiba-tiba terdengar dan melihat rupa seorang perempuan asing yang tampak menunggunya bicara dengan sabar. "Ah, aku Mina. Mahasiswa baru di jurusan Hukum. Aku pikir, aku bisa membantumu karena aku sering kemari."

"Oh! Oh! Terimakasih! Terimakasih! Bisakah kamu tunjukkan padaku kemana arah jurusan psikologi?" Pinta Lea.

Perempuan bernama Mina itu tersenyum lembut sebelum mengangguk.
"Sepertinya kamu orang yang buruk dengan arah. Aku akan menemanimu ke sana," katanya.

Lea menatap perempuan itu dengan ekspresi lega dan penuh terimakasih.
"Kamu mau jadi temanku? Aku belum punya teman disini!" Tanyanya.

Mina tampak terkejut mendengar permintaan itu.

"Ya? Apa kamu yakin?"

Lea menganggukkan kepala beberapa kali.
"Seperti katamu, aku sering kehilangan arah. Bukankah bagus kalau kamu mau jadi temanku? Yah, walaupun mungkin itu terdengar seperti aku memanfaatkanmu," cerocos Lea. "Tapi!" Lanjutnya dengan nada yakin. "kalau ada orang yang mengganggu mu, aku akan mengganggu mereka untukmu. Meskipun aku buruk soal arah, aku cukup baik dalam hal mengganggu orang!"

Mina tergelak mendengar penuturan Lea. Bagaimana mungkin ada orang yang sejujur itu dalam hal yang dianggap kurang baik bagi sebagian orang? Lea seperti tidak menutupi bahwa dia bukan orang suci yang akan selalu berbuat benar.

"Baiklah! Aku suka teman spek Nuaiman," kata Mina, masih terkekeh.
Lea tampak terkejut mendengar julukan yang Mina sematkan padanya, tapi kemudian ikut tertawa.

Ya, dia juga suka spek Nuaiman Radhiallahu Anhu.

###

The Crown PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang