Batu Penahan Tak Bertahan
Saliva lagi dan lagi kutelan, padahal cairannya sudah kental dan mungkin hampir habis persediaannya di mulut. Menatap miris onggokan kardus dan tas kain bekas bantuan penguasa negeri, aku kembali menghela napas yang kusyukuri bisa mendapatkannya secara gratis dari penguasa langit dan bumi.
Semua orang tahu bila aku tidak mendapatkan satu pun bantuan meski sebagai wujud belas kasihan. Lalu, apakah ada yang peduli lantas melirik? Tidak. Semuanya buang muka. Perlu aku ingat, perihal perut adalah urusan masing-masing. Ibaratnya, perutmu, ya, urusanmu. Perutku urusanku.
“Ibu, katanya Ibu mau beli makanan. Mana?”
Hampir saja sebuah tangan mungil aku pukul saat refleks tubuhku akan sentuhan bekerja. Tsalisa, anak mungilku yang baru berusia lima tahun menarik-narik gamis dan ujung jilbabku. Menyesal rasanya telah mengatakan hal itu. Saat ucapan tak bisa diwujudkan, apa anggapan anak berbibir sumbing itu terhadapku nantinya? Aku pembohong? Diri ini memang pendusta bahkan pengingkar janji.
“Sebentar, ya. Kita tunggu Ayah pulang. Hari ini Ibu enggak ada gosokan.” Kubelai rambutnya yang kusut tak terjamah sampo.
Selain Tsalisa, ada anak sulung laki-lakiku bernama Wahid. Umurnya sebelas tahun. Seharusnya dia sekarang disibukkan dengan belajar daring untuk ulangan akhir semester dan Ujian Nasional tahun depan. Namun, langkahnya harus terhenti hanya disebabkan tak adanya ponsel sebagai media pendidikannya.
Kecewa? Dia sangat kecewa. Hingga sifatnya yang ambisius dan giat belajar mandek saat diumumkannya mulai belajar melalui daring. Kerjanya hanya berdiam diri di kamar. Sebenarnya Wahid adalah anak yang pengertian akan kemirisan hidup keluarga kami. Rela menahan rasa lapar dan dia tidak pernah mengeluhkannya. Anak sulungku itu terlalu mengerti bagaimana perasaan orang tuanya.
Napas kuhela dalam-dalam. Sebenarnya miris menceritakan ini. Aku adalah buruh setrika panggilan. Bila ada tetangga yang membutuhkan tenagaku untuk menyetrika gunungan pakaiannya, dari situlah uang bisa kupegang. Lebih mirisnya lagi, mereka yang pakaiannya anti murah ternyata menjadi penerima bantuan bagi orang tak punya. Apa yang bisa kulakukan? Ya, menelan ludah dalam-dalam.
Aku hanya mendapat bau sampah bungkusnya. Sebab, di samping rumahku merupakan tempat pembuangan sampah. Namun, tenang saja. Bau sampah samping rumah kalah dengan bau busuk ketidakadilan penguasa.
Mendengar bunyi dari perut sendiri, aku menahan napas untuk menekan perut agar meredam suaranya. Apakah aku harus mengganjalnya dengan batu agar rasa lapar itu hilang? Seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saat kelaparan melanda. Sudah dua hari aku berpuasa dan hanya minum di malam hari dari air isi ulang galon seharga lima ribu dan harus diirit-irit sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Gas elpiji sudah tak bisa menghantarkan api sejak empat hari lalu. Untuk makan Wahid dan Tsalisa, kebetulan aku mendapat makanan lebih banyak ketika mengikuti kajian rutin di masjid kampung kemarin. Itu pun sebenarnya aku malu karena tidak mengeluarkan infak untuk masjid dan iuran untuk konsumsi jamaah kajian.
Suamiku si penjual koran tidak mampu berbuat banyak. Dagangannya berbulan-bulan ini tak payu. Orang lebih memilih membaca berita tertangkapnya dua menteri yang tersandung korupsi lewat layar canggih dibanding koran dengan warnanya yang usang.
Adakah pemimpin yang berjiwa seperti Khalifah Umar bin Khattab? Yang merelakan waktunya untuk melihat keadaan rakyatnya? Yang menangis menyaksikan seorang fakir yang merasa ia zalimi karena belum terjangkau pemenuhan haknya? Bergulat dengan dinginnya malam hanya untuk mengetahui betapa malangnya nasib manusia yang menjadi tanggung jawabnya? Entah, kenyataannya, tak ada sosok seperti itu. Mereka malah memakan uang rakyat. Ha, rasanya aku ingin menangis sekarang juga.
“Ayah pulang, Bu! Ayah pulang. Horeee.”
Mengetahui ada aku dan Tsalisa di depan rumah, suamiku menegakkan jalannya dan menggeser tas koran berbahan karung tepung ke belakang. Tasnya masih terlihat penuh dan berat. Sepertinya kami harus benar-benar menggunakan batu sebagai pengganjal perut. Dia ... bahkan aku, sama-sama berusaha mencetak senyum saling menyambut. Meskipun tahu, hari ini kami akan meniadakan lagi makan malam. Lalu, semoga keesokan harinya tubuh kami tak terbujur kaku dan beberapa hari kemudian ditemukan karena busuk bangkai kami menandingi sampah samping rumah dan matinya keadilan negara.
***
Atap yang tak terjamah mata penguasa,
27 Desember 2020