"Permaisuri, apa Anda tak mau mencoba berbaikan dengan khalifah secara resmi? Atau paling tidak berterimakasih lah pada beliau karena sudah membebaskan Zurah. Hamba yakin khalifah pasti akan senang kalau tahu Anda datang."
"Haruskah?"
"Tentu harus, Yang Mulia, belakangan ini khalifah sering sekali mengunjungi selir Ayesha, hamba hanya khawatir lambat laun posisi penting Anda di hati khalifah akan tergantikan."
Anzilla terdiam mendengar ucapan Halima, sejujurnya ada sedikit rasa tak nyaman di hati wanita itu setelah dia memikirkan semua ucapan sang pelayan setia. Mungkin Anzilla memang harus menyerahkan diri sepenuhnya pada khalifah. Selain agar dirinya tetap aman di sini, dia juga harus bisa mengorek informasi tentang keberadaan jam itu. Sebab sejak pertengkaran mereka dulu, Khalifah benar-benar membuktikan ucapannya dengan jarang menemuinya.
"Sadarlah, Yang Mulia, kekosongan yang khalifah rasakan karena ketidak hadiran Anda di sisinya untuk membantu mengambil keputusan besar, justru sangat berbahaya. Hamba khawatir kehadiran Anda tak lagi berpengaruh bagi pemerintahan. Apa lagi dari yang saya dengar, selir Ayesha ternyata memiliki wawasan luas. Beberapa waktu ini, khalifah sering berdiskusi banyak hal dengannya."
Lagi-lagi perkataan Halima mulai mengusik hati Anzilla, dulu dengan Areta dia tak pernah merasa begitu khawatir seperti ini. 'Mungkinkah karena fakta bahwa Ayesha jauh lebih memenuhi kualifikasi sebagai seorang permaisuri? Atau karena aku cemburu? Yang benar saja' batin Anzilla tak percaya. Namun, Membayangkan khalifah bersama Ayesha sepanjang hari saja dia benar-benar tak nyaman.
"Kalau begitu aku akan menemui khalifah dan minta maaf padanya. Tapi ingat, aku melakukan ini hanya demi posisiku, mengerti," ujar Anzilla pura-pura. Agaknya wanita itu belum bersedia mengakui secara langsung bahwa dirinya mulai terpikat dengan pesona dan kebaikan khalifah.
Halima mengangguk dengan senyum di bibirnya. Lalu mengikuti langkah permaisuri di belakang. "Ngomong-ngomong bagaimana kabar Zurah? Aku ingin coba menemunya dulu sebelum mendatangi khalifah. Jadi antara aku kesana sekarang, Halima."
"Baik, Yang Mulia, mari ikut saya."
Anzilla pun mengangguk dan mengikuti Halima menuju ke tempat para selir. Semua selir dan dayang yang berjaga di area itu terlihat kaget saat melihat kedatangan permaisuri ke sana. "Salam, Yang Mulia, ada apa gerangan hingga Anda mendatangi tempat kami yang hina ini?" tanya Areta.
"Aku ingin menemui Zurah, apa dia di sini?" tanya Anzilla sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu.
"Sayang sekali Anda telat, Yang Mulia, Zurah dan dua selir lain sudah pergi dari istana pagi tadi."
Anzilla hanya menjawab ucapan Areta dengan anggukan paham, sejujurnya dia agak kecewa karena berita itu. Padahal dia ingin bicara secara langsung dengan Zurah dan menanyakan beberapa hal.
"Maaf, Yang Mulia, Zurah meninggalkan surat ini untuk Anda," ujar salah satu selir yang berdiri di samping Areta.
Anzilla pun menerima surat itu dan menyerahkannya pada Halima agar bisa dibaca nanti. "Kalau begitu aku pamit, maaf karena mengganggu istirahat kalian."
"Tidak, Yang Mulia, kami juatru merasa tersanjung karena Anda bersedia datang ke sini."
Anzilla hanya mengangguk mendengar ucapan salah satu selir. Lalu dia benar-benar pergi dari sana.
"Yang Mulia, tunggu!" Panggilan Areta menghentikan langkah Anzilla. Wanita itu pun memutar tubuhnya dan melihat Areta berjalan menghampiri.
"Apa Anda tahu kalau sekarang khalifah sering mendatangi selir Ayesha? Bahkan mereka tengah berdiskusi di Baitul Hikmah saat ini, Yang Mulia. Tidakkah Anda merasa marah soal itu? Seorang selir rendahan seperti kami mana bisa mengantikan posisi mulia Anda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anzilla dan Sang Khalifah
Historical FictionAnzilla Jhonson, wanita Amerika keturunan Yahudi yang begitu benci dengan islam karena cerita turun-temurun di keluarganya. Dia sengaja berkuliah di University Of Bagdad untuk membuktikan kebenaran tentang sejarah buruk kekhalifahan islam termasuk H...