Haiii, jangan lupa tarik napas sebelum baca, happy reading 🔥🔥
☆☆☆
Apakah Bara benar-benar bisa bertahan seminggu tanpa menyentuh Kelaya—sama sekali? Tentu saja tidak. Namun, Bara lebih banyak bisa menahan dirinya. Pengendalian diri Bara lebih baik karna dirinya punya alasan kuat untuk tak menyentuh Kelaya lebih. Istrinya itu tengah datang bulan.
Jujur, Bara frustrasi. Beberapa kali ini sempat main solo tanpa sepengetahuan Kelaya. Sebab, kalau ia meminta Kelaya membantunya, Bara tak yakin untuk tak berbuat lebih pada istrinya itu. Bara sebelumnya pernah bilang kan? Kelaya adalah godaan hidup yang tak akan pernah bisa ia tampik.
Sekarang, seseorang yang telah membuatnya frustrasi selama seminggu menyerahkan diri dengan suka rela padanya. Bagaimana mungkin Bara akan menahan diri lagi? Ia pasti akan membuat Kelaya menjeritkan namanya hingga suara perempuan itu serak.
Ia ingin Kelaya tahu berapa mendambanya dirinya akan perempuan itu. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, baik lahir maupun batinnya. Bara memuja semua yang ada pada diri Kelaya.
"Sayang ..." Tenggorokan Bara terasa kering saat tangannya membelai paha mulus Kelaya yang ia dudukkan di atas meja makan. Lingerie istrinya itu masih melekat sempurna, hanya saja sebelah talinya sudah tak ada pada tempat semestinya. Membuat puting merah muda itu mengintip malu-malu.
Shit.
**
"Maaas!" Kelaya merengek hampir menangis. "Jangan digituin iih ... " Tempat itu sangat sensitif setelah keluar seperti ini. Kelaya juga tak tahu kenapa begitu.
Bara menurut, menarik jarinya kembali. Ia lantas memperbaiki duduk Kelaya dan merapikan rambutnya yang berantakan. "Mau minum?" tawarnya.
Kelaya mengangguk. "Air es, Mas."
Sepeninggal Bara—lebih tepatnya lelaki itu hanya meninggalkannya beberapa langkah guna mencuci tangan sebelum kemudian membuka kulkas lantas kembali dengan segelas air dingin untuk Kelaya yang masih duduk menjuntai di meja makan.
"Mas ... kita pindah tempat yuk. Nggak enak di sini," untuk sejenak perkataan Kelaya terputus hanya untuk menerima gelas dari Bara dan meminumnya.
Sebenarnya Kelaya tak masalah melakukannya di meja makan. Hanya saja, jika harus dengan tempo gila-gilaan seperti tadi, Kelaya menyerah. Ia tidak akan kuat!
"Kenapa mau pindah tempat?" Kalau sudah sedikit tenang seperti ini, barulah kewarasan Bara kembali. Ia sedikit tak tega melihat Kelaya minum dengan rakus dan menghabiskan segelas air dengan sekali tenggak.
Perempuan itu menyerahkan gelasnya kembali pada Bara. "Ga enak ih, susah mau rebahannya," Kelaya beralasan.
"Mau sambil rebahan?" Bara mengelus rambut Kelaya penuh sayang.
"Iya, Mas. Aku tuh capek tahu, nggak bisa pegangan ke seprei juga." Belum lagi meja makan tak seempuk kasur, Kelaya belum apa-apa sudah sakit pinggang.
"Kan bisa pegangan sama, Mas." Bara menunjukkan otot lengannya. "Nih bisa pegangan di sini."
Kelaya cemberut. "Ya udah."
Wajah Bara langsung berbinar cerah. Jadi, mereka bisa melakukannya di meja makan, kan? "Ya udah apa?" tanyanya memastikan.
"Ya udah, ga jadi," kata Kelaya dengan entengnya. Ia bahkan siap melompat turun dari meja makan kalau saja Bara tak menahannya agar tak beranjak.
Jelas sekali Bara panik. Dirinya sudah diujung, masa tidak jadi? Apakah Kelaya tak melihat celananya yang super sesak itu? Bara tersiksa saat ini.
"Oke-oke, kita pindah tempat." Lebih baik Bara mengalah dari pada tidak dapat jatah.
Kelaya bersorak dalam hati. Yes! Selamat tinggal meja makan, Kelaya ingin menikmati empuknya kasur. Terserah Bara mau melakukan apa di atas tubuhnya.
Yakin Ay, terserah Bara? Batin Kelaya bertanya. Yakin?
Namun, Kelaya tak punya waktu lagi untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bara telah menggendongnya, lelaki itu berjalan pelan membawa Kelaya menuju kamar mereka.
"Kamar kan, Sayang? Bukan di sofa?" Sofa sempit soalnya. Bara sedang mempertimbangkan membeli sofa baru.
"He'em." Kelaya menjawab seadanya. Ia salah fokus digendong Bara ala koala seperti itu. Tangan Bara yang memegang bokongnya tak benar-benar diam, terlebih dengan kondisi Kelaya yang tak memakai celana dalam kian memudahkan lelaki itu berbuat sesukanya.
"Mas jangan macam-macam tangannya." Kelaya menarik pelan rambut Bara.
Bara hanya terkekeh. "Nyicil, Sayang."
Benar-benar! Kelaya ingin rasanya mengibarkan bendera putih dengan kelicikan Bara. Mulus sekali caranya untuk modus dengan Kelaya.
Namun, Kelaya tak banyak protes. Ia membiarkan Bara berbuat sesukanya hingga ia direbahkan di atas empuknya kasur. Jantungnya berdegup tak terkendali saat Bara melepaskan satu persatu helai kain yang lekat di tubuh lelaki itu. Kelaya menelan ludah susah payah melihat milik Bara yang tegak sempurna. Kira-kira masih perih tidak ya?
"Ay ..." Kelaya langsung tersadar. Bara telah membuka kakinya, menempatkan diri di antara paha Kelaya yang berbaring dengan degup jantung menggila. "Jangan gugup."
***
"Oke. Mari kita lihat, apakah kamu akan tetap menganggap Mas lucu setelah apa yang terjadi malam ini."
"Mas!"
"Shht ..." Kelaya mendesis nikmat, tangannya tanpa daya meremas seprei kasur. "Aaah ... Mas Bara ..."
"Maas akkhh ..." Kelaya lagi-lagi menjerit serak. "Mas pelan ... aah!"
Benar ... Kelaya tak seharusnya menganggap Bara lucu, suaminya ini jelas lebih berbahaya dari singa. Semoga saja Kelaya tak pingsan malam ini. Ya ... semoga ...
Bersambung ...
Geraaaah 🔥🔥🔥
Mohon maaf beberapa bagian di bab ini sudah tidak lengkap, lengkapnya ada di karyakarsan aku ya ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Doctor (21+) [END]
Romance"Bantuin ngebuktiin kalau Abang gue masih normal, Ay. Mau ya ... ya mau ya? Please, nggak bakal yang macam-macam kok caranya, lo tenang saja." *** Bagi Kelaya yang jarang terlibat hubungan romantis, menyetujui misi dari Bintang untuk menggoda Bara a...