{1}

39.7K 1.2K 155
                                    

Sam POV

Talking to the Moon - Bruno Mars

Judul lagu itulah yang selalu terpampang di layar smart phone-ku. Entah sudah berapa kali lagu itu terulang, lagi dan lagi. Lagu yang selalu membuatku bergetar saat kerinduan ingin segera berjumpa dirinya semakin membuncah.

"Sam..." panggil suara berat milik Ayahku yang baru pulang dari pekerjaannya keliling dunia. "Iya Yah..." teriakku dari dalam kamar. Aku bergegas memakai kaosku dan keluar dari zona nyamanku untuk menyambut kedatangan Ayahku.

Dia begitu nampak sangat tampan dengan setelan jas kerjanya. Seragam pilot, itulah yang sebentar lagi juga akan aku pakai setelah surat izin terbangku keluar. Aku akan memulai profesi seperti Ayahku.

Diusia Ayah yang akan menginjak 44 tahun, beliau masih terlihat sangat muda. Banyak wanita rekan kerja Ayah yang diam-diam mencuri pandang padanya, tapi semua itu percuma saja tak ada yang bisa menggantikan posisi Bunda yang telah tiada saat melahirkanku 22 tahun silam.

"Sam, Ayah bawa titipan dari Papamu. Dua hari yang lalu sebelum berangkat beliau menitipkan oleh-oleh ini" kata Ayah seraya menyerahkan bungkusan kotak kecil berwarna biru padaku. "Apa isinya Yah?" tanyaku penasaran. Ayah hanya mengangkat kedua bahunya. "Bukalah nak".

Sedetik kemudian tanganku membuka kotakan itu dengan cekatan. Mataku membelalak kaget, ku lihat sebuah arjoli berwarna perak bertuliskan Swiss Army dengan model terbaru yang cocok untuk pemuda seumuranku. "Ayah, lihat ini" kataku seraya menunjukkan isi kotakan yang ada di tanganku pada Ayah. "Papa selalu memberikan yang terbaik untukmu, Sam. Dia sangat menyayangimu nak". Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Ayah.

"Sam akan segera menelpon Papa. Tapi kalau Ayah lapar, Sam akan hangatkan dulu masakan Ibuk untuk Ayah". "Tidak nak. Ayah tidak lapar. Kembalilah ke kamarmu dan segera telpon Papamu. Ayah ingin tidur saja. Selamat malam Sam" sahut Ayah. Beliau langsung beranjak ke kamarnya setelah mencium keningku.

Aku kembali ke kamarku dan langsung meraih ponselku. "Hallo Papa" sapaku saat wajah tampan dengan hiasan senyum yang menawan terekam di layar ponselku. "Apa kau sudah menerima oleh-oleh yang ku titipkan pada Ayahmu?" tanyanya. Aku mengangguk mantab. "Terima kasih Papa".

Lagi-lagi senyumnya yang menawan tercetak jelas di bibirnya. "Sama-sama Sam. Itu hadiah dari Kakakmu untuk kelulusanmu dari sekolah penerbangan. Dia membelinya di Swiss sembari mengurus bisnis Abimu". "Hah? Benarkah? Mana Eric, aku ingin berterima kasih pada anak manja itu" sahutku.

Tawa yang tak asing lagi buatku terdengar menggema. Sosok yang ku cari kini telah muncul di samping Papa dengan melambaikan tangannya. "Hai, apa kau suka arloji itu?" tanyanya. "Tentu saja aku suka. Kau memang yang paling tahu seleraku dengan baik. Terima kasih Eric" sahutku. Pria tampan berusia 3 tahun lebih tua dariku itu mengangguk dan tersenyum padaku.

"Sam, kapan kau akan ke Dublin? Aku sangat merindukanmu" tanya Eric. Aku menghela nafasku. "Bukankah dulu yang memintaku untuk menunggu disini adalah dirimu. Apa kau lupa Eric?" sergahku. Eric hanya memberikan cengiran kuda khas miliknya. "Maafkan aku, amanah dari Abi lebih banyak dari yang ku duga hingga aku tak sempat untuk mengunjungimu di Indonesia".

"Sudahlah, aku sudah bosan mendengar alasanmu, Eric" dengusku kesal. "Sam, maafkan aku. Please" sahut Eric dengan tangan yang dia kaitkan di depan dada bidangnya. Pertahananku selalu runtuh saat Eric melakukan jurus pamungkasnya itu. "Iya iya. Aku memaklumimu. Aku akan ke Dublin seminggu lagi setelah surat izin terbangku keluar. Aku akan mendaftar sebagai pilot di maskapai penerbangan milik Inggris" kataku.

Papa dan Eric membelalak dan sedikit terjingkat dari posisi duduknya karena mendengar perkataanku. "Are You serious?" sahut Eric. "Of course. Kenapa kau ini selalu saja meragukan ucapanku dan kenapa kau selalu saja cerewet Eric" protesku.

My Beloved Little BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang