Aku tidak percaya, hujan tengah malam masih setia bersama anginnya menyirami bumi dan tuannya, menyambut pagi tanpa matahari. Secercah cahaya redup, semilir angin berhembus senyap, sepasang mata menghadap langit, aku menelusuri rintik-rintik hujan satu per satu dari bawah. Mengikuti aliran lengkungan sisi jalan yang memandu kemana air itu akan pergi, mataku tersorot pada sebuah rumah besar bertingkat dua, memberikan suasana kelam tanpa cahaya. Rumah itu tampak usang tak terawat. Menyisihkan Jeep tua terparkir di halamannya. Tentu saja, ini mengembalikan diriku, terhadap memori lama dibalik alasan mengapa aku harus bangun lebih awal.
Siapa lagi kalau bukan cinta pertamaku kepada anak laki-laki yang brengsek.
Dua orang wanita selayaknya kembar tak seiras, keluar menyisir jalan aspal, menghirup segarnya gerimis menerpa pagi. Aku dan Rinata melangkahkan kaki menyusuri genangan demi genangan, membasahi alas kaki ku yang terbuat dari bahan kulit berwarna cokelat, yang memisahkan jempol kaki berjarak 2cm bersama keempat temannya.
Sekian lama kami berpisah, ini kali pertama kami menghabiskan waktu berdua, menyusuri langkah demi langkah menuju sungai, tempatku malam tadi.
Sesekali, mengajak calon keponakanku menikmati hujan pagi di hari yang
lambat laun muncul sinar.Aroma bunga Lilac dari tubuhku terpancar kesana kemari, memberikan alarm kepada sang empu tiap rumah yang berjejer satu demi satu, membentang secara persegi dan berhadapan satu sama lain.
"Btw, soal cinta pertamamu..."
Aku cukup kesal padanya. Pasalnya, aku cukup bosan mendengar pria brengsek sebagai cinta pertamaku, selalu saja disebutkan oleh kedua orang bermulut Alouatta.
Alouatta adalah hewan yang selalu ku hindari ketika berkunjung ke pusat penangkaran hewan. Suaranya sangat berisik hingga mampu menusuk gendang telingaku.
Kasarnya, mulut mereka seperti monyet lolong.
Aku bersiaga memasang kedua earphone yang terhubung pada Walkman, menutup kedua telinga dan menjauh dari omong kosong yang siap dikeluarkan.
"Kau pasti tidak akan percaya. Kalau, orang tampan dari lahir hingga tua itu benar-benar ada."
Menikmati desiran Lilac Wine dari Nina Simone, aku terus memperhatikan langkah ku, berdansa di atas air menyelaraskan irama ketika,
Lilac wine is sweet and heady
Where's my love?
Terpatri di telinga ku. Semburat gaun berbahan katun warna putih bermotif bunga bakung yang memancarkan lekuk tubuhku, memperlihatkan bagian pundak dan punggung belakang, ku sembunyikan dengan cardigan berwarna mocca, sehingga tak seorangpun yang bisa menemukannya.
"Kau belum pernah melihatnya kan? Walaupun sangat tampan, ku rasa hidupnya selalu menderita."
"Astaga... Hari-hari ketika melihatnya bersama istrinya, aku selalu berpikir. Ternyata kehidupan keji di drama yang aku tonton, benar-benar nyata."
"Kehidupan mereka semuanya terbalik sekarang. Ibu yang dulu suka berhutang sana-sini, sekarang mereka yang suka berhutang pada Ibu. Walaupun sepenuhnya sudah Ibu bayar, tetapi tetap saja... Semuanya beralasan, hutang budi."
"Jalan pikir yang tidak masuk akal."
Volume tertinggi dari walkman, memang tak sekeras volume dari handphone biasanya, jadi, aku masih bisa mendengar Rinata mendengus tiada henti.
"Lalu... Pasangan yang dulu mereka pikir sangat cocok hanya karena keduanya tampan dan cantik... Ah sial! Tidak mendengar mulut istrinya yang kejam dan selalu berteriak kepada Ibu mertuanya, ku rasa hari itu aku anggap sebagai hari libur. Bagaimana bisa hidup mereka terbalik. Biasanya mertua yang kejam terhadap menantunya, namun mereka seolah-olah menganggap bahwa dunia sebenarnya salah. Menantu lah yang kejam terhadap mertua."
KAMU SEDANG MEMBACA
From Walkman To Secret
Romance(18+) Cerita fiksi ini mengandung unsur konten dewasa, kekerasan verbal/fisik, serta pelecehan seksual. Dimohon kepada para pembaca yang sekiranya masih di bawah 18 tahun, untuk mengikuti prosedur yang tertera. Saya menyarankan para pembaca di atas...