Pagi menjelang dengan manusia batu yang, ah sebentar perlukah menjuluki pemeran utama kita sebagai manusia batu? Sepertinya tak masalah, dia hanya diam juga yang artinya dia setuju bukan? Oh atau patung hidup saja? Bagaimana menurut kalian?
Dia juga manusia tentu saja paginya ia juga bangun tidur lalu mandi selayaknya manusia pada umumnya, yah dirinya tak sebatu itu untuk tak mandi, karena yaa dia akan pergi sekolah, ia sekolah juga, apa kalian berpikir dirinya akan berdiam diri sepanjang waktu di kamar saja, oh tentu tidak, usianya mengharuskan ia untuk sekolah, dan yeah dia tak masalah, otaknya mungkin berfikir dia tak masalah, sedikit memikirkan masa depan tak salah bukan?
Langkah patung hidup itu kini terhenti didepan tangga, teringat kejadian kemarin, tapi dirinya saat ini tidak basah, Ia tak akan terpleset lagi bukan? dengan langkah perlahan bak siput ia menuruni tangga, namun baru tiga langkah seseorang sudah mengangkatnya, yah ia sudah tak heran lagi, mendudukkannya di kursi dan sarapan bersama.
Jangan harap ia akan memakan makanya sendiri, ia akan disuapi terus jika tidak ia akan kelaparan saat ini, seorang pemuda disampingnya itu sangat setia menemaninya tentu saja dalam keadaan apapun, harus seperti itu.
"Ano jangan terluka lagi." Seorang pria mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Jangan pulang sendiri, aku akan menjemputmu nanti." Sean, pria itu ikut mengusap kepala Ano setelah pria yang tadi pergi.
"Ayo Ano kita berangkat." Pemuda yang seumuran dengan Ano itu marik tanganya hingga kini mereka berada dalam mobil yang sedang melaju menuju sekolah.
Tak usah menanyakan apa nama sekolahnya, itu tak penting, intinya ia sedang berada disekolah saat ini dengan murid murid yang berlalu lalang, sepetinya bel masuk sebentar lagi berbunyi.
"Ayo Ano aku antar ke kelas," pemuda itu masih setia mengandeng tanganya, sudah dibilang bukan dia itu setia dan itu harus, menjaga Ano adalah prioritasnya saat ini.
"Deta!" Panggilan seseorang dari arah belakang namun pemuda yang bernama Deta itu tak menoleh, karena yang memanggilnya sudah pasti akan menghampirinya.
"Menang nggak kemarin?" tanya pemuda yang memanggil Deta itu sambil merangkul pundaknya dan tentu saja Deta hanya pasrah, yah ia tak mungkin melepaskan gandengan tanganya pada Ano hanya untuk melepaskan rangkulan pemuda ini, posesif heh?
"Menang," jawab Deta seadanya, tak perlu menjawab panjang apalagi menjelaskan berapa total skornya bukan? Yang penting dirinya sudah menang dan itu kaba baik, benar kan?
"Kelas Ano dulu?" tanya pemuda itu yang sudah melepaskan rangkulannya, yah ia melihat temanya kerepotan jadi ia lepas saja rangkulannya itu, takutnya karena rangkulannya bisa aja temanya terjatuh bukan? Bisa jadi, apalagi jarak rangkulan yang lumayan dekat itu salah salah bisa saja ia salah langkah dan temanya itu tersandung kakinya kan nggak lucu jika mereka bertiga jatuh bersamaan, yah nggak papa sih kalo muka mereka mau di masukan di kantong kresek tak jadi masalah.
"Hmm," Deta membalas seadanya, yeah bukan ia membenci pemuda ini, hanya saja moodnya saat ini agak nggak enak, salah sedikit bisa hancur moodnya itu, ia tak tahu mengapa belakangan ini ia sangat moodyan.
"Ikuti pelajaran dengan tenang oke? Aku akan menjemputmu saat istirahat nanti," mereka sedang berada dikelas Ano, dan seperti biasa manusia batu itu tak merespon siapa pun, hanya diam, bahkan menganggukpun tidak, dan Deta hanya bisa menghela nafas saja, Mereka berduapun keluar dari kelas.
Respon teman kelasnya? Jangan ditanya malah mereka merasa ingin melindungi pemuda itu, bagaimana tidak, wajah anak itu begitu polos walau tanpa ekspresi dan sering melamun, itu yang membuat teman sekelas ingin menjaganya takut terjadi sesuatu padanya, hei dia jika disuruh melompat dari lantai dua akan langsung dilakukanya.
pernah sekali mereka iseng menyuruhnya, karena ia murid baru teman sekelasnya tentu saja akan mengerjainya sebagai bentuk sambutan untuknya, dengan menyuruhnya melompat dari jendela, jika tak bisa maka ia akan mentraktir mereka semua, dan tentu saja ia akan melakukannya.
Teman temanya yang panik itu segera menghentikannya, jendela yang mereka maksud itu jendela yang berada di dekat koridor jadi ketika jatuh tak begitu sakit karena tinggi jendejal itu hanya sebatas pinggang, bukan jendelan yang mengarah pada taman belang sekolah, bisa dipastikan ia akan mati saat mendarat nanti, kelasnya berada dilantai dua, dan jika melompat kebawah? Mati bukan?
Pelajaran di mulai, si patung hidup itu melihat ke depan dimana sang guru sedang menjelaskan, entahlah apakah ia memperhatikan atau seperti biasa kembali berkenala dengan pikirannya yang entah mengarah kemana.
"Silahkan kerjakan tugas kalian dengan tenang," guru itu kembali ke mejanya entah apa yang dilakukanya setelah memberikan mereka tugas.
Ano apakah mengerjakan oh tentu saja tidak, mengapa? Instingnya mengatakan tak usah dikerjakan jadi ya sudah dirinya juga malas, malah sekarang hanya mencoret coret kertas saja.
"Tidak mengerjakan?" tanya teman sebangkunya itu yang sedari tadi memperhatikannya, Ano? seperti biasa diam tak merespon masih betah pada kegiatannya mencoret coret kertas.
"Lanjutkan saja di rumah dan jangan lupa mengumpulkannya Minggu depan," guru itu segera membereskan peralatannya dan keluar kelas setelah bel berbunyi tadi.
Seperti yang dikatakan Deta tadi, ia datang kelas Ano bersama temanya dan membawanya ke kantin.
Kantin sangat ramai, tentu saja karena sedang jam istirahat, jika kantin sepi yah artinya mereka bolos, tentu saja iya kan? Pemilik kantin tak mungkin menutupnya kecuali sekolahnya di bom, bisa jadi kan? Siapa yang tau nanti.
Seperti biasa dengan telaten Deta menyuapi Ano, manusia batu itu hanya menerima suapan dari Deta salah satu temanya tadi ikut menyuapi dirinya tapi ia tolak, ia hanya akan menerima suapan dari Deta saja, ingat itu.
Seseorang dari arah belakang mengelus pundaknya hingga naik mengusap pucuk kepalanya, dan kini duduk disebelahnya.
Prank
Bunyi sendok yang jatuh, begitu nyaring karena suasana kantong yang tidak terlalu berisik tentu saja karena semuanya sedang fokus makan, walau banyak yang berbicara namun tak terlalu berisik.
Bukan pemuda yang tiba tiba duduk itu yang membuatnya terkejut namun Ano, memeluk dirinya? Ano? Adiknya itu memeluknya sendiri, hei hei bagaimana ia tidak terkejut, belakangan ini adiknya seperti mayat hidup, hanya bergerak ketika diperintah dan sekarang? Dirinya senang tentu saja, bukankah ini kemajuan? Benar kan? Deta tentu saja membalas pelukan itu, ia tak akan melewatkan kesempatan ini.
Pemuda itu? Haruskah ia merasa bersalah sekarang? Apakah ia menakutinya? Hei ia hanya gemas, sebenarnya ingin sekali ia mencubit pipi Ano, tapi takut si empu akan merasa kesakitan makanya ia hanya mampu mengelus dan mengusap kepalanya saja, haruskah ia minta maaf sekarang?
"Hayoloh Adit, anak orang takut tuh," pemuda yang duduk didepan Deta sengaja memanas manasi keadaan, mendapat tontonan seru tak masalah bukan?
"Diam Lo," tekan Adit menatap nyalang temanya itu, biasa bisanya temanya ini dengan sengaja ingin memancing emosi.
"Adit bahasamu," ucap Deta tak terima, yah jika hanya mereka tak masalah, tapi ini ada Ano adiknya, pokoknya adiknya itu tak boleh menggunakan bahasa seperti itu, ia tak suka itu.
"Reflek, si Aldi mancing emosi," ucap Adit menyalahkan Aldi, enak saja hanya dirinya yang mendapat teguran dari Deta, si Aldi harus mendapatkannya juga biar impas, bener kan?
"Idih enak aja Lo," balas Aldi tak terima, dia yang buat anak orang takut malah dirinya yang disalahkan, hei bukan dia yang salah disini, perkataanya bener kan tadi? Iya kan?
"Aldi," desis Deta yang saat ini menatap tajam Aldi, Aldi yang melihat itu mengalihkan pandanganya sebentar dan melanjutkan makan yang sempat tertunda tadi.
"Ingin pulang?" tanya deta pada Ano yang masih memeluknya, Ano tak merespon ia masih memeluk Deta.
Deta hanya menghela nafas, entahlah ia juga bingung, dari mana semua ini dimulai, dan mengapa?
Next ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ano
Teen FictionBosan hidup? Mati solusinya Pikiran yang bodoh jika mati menjadi solusi, namun jika mati ditangan orang lain sepertinya tak apa, benar kan? Asal jangan mati ditangan sendiri. Takdir itu sangat senang bermain, jadi nikmati saja.