19. Blood room, student council, & Nanase

703 78 36
                                    

Tak selang beberapa menit kemudian kamu sudah diikat dan duduk di sebuah kursi kayu yang sudah rapuh. Mulutmu dibekap dan kamu kesulitan bergerak. Rasanya kakimu berada pada genangan air dan rasanya tidak nyaman sekali.

Pikiranmu mulai berantakan. Banyak pertanyaan yang muncul meskipun kepalamu sakit dan nyeri. Kamu mencoba mengingat. Terbesit satu nama di kepalamu. Bu Siska. Dia memegang sebuah palu kemudian memukul kepalamu sampai mengeluarkan darah.

Nafasmu memburu cepat. Keringat dingin mulai bercucuran seolah akan menjemput kematian. "Oh? Udah bangun? Darah di kepalamu masih segar", ucapnya. Pandangan masih buram.

"Dari awal saya udah menduga kamu bakal bahaya buat dibiarin. Kamu pikir kamu aman? Saya setiap hari liatin kamu. Benar kata Sayaka, kamu itu terlalu naif dan bodoh", jelasnya merendahkan.

Kamu mulai bisa melihat dan menyadari genangan air itu bukanlah air biasa tetapi darah. Kamu menatap wajahnya dengan perasaan panik. Dia menggunakan sarung tangan hitam dan rambutnya dikuncir. Kamu kemudian Melihat sekeliling dan yang menyedihkannya adalah ada banyak mayat perempuan ditumpuk. Kondisinya sudah dikatakan tak layak. Beberapa dari mereka sudah telanjang, terlihat tengkorak, dan bentuknya sudah tidak karu-karuan. Sungguh biadab kelakuan para pembunuh.

Kamu berusaha bergerak. Dadamu selalu saja sesak untuk kondisi seperti ini. Kembali pada neraka kehidupan.

.

(Name) POV -

Bu Siska memegang handphoneku. Wajahnya tetap datar tak berekspresi. Jadi dia yang memasuki rumah Kenyu dan mau membunuhku? Sayaka juga mengkhinatiku? Ada apa dengan hidupku?

"Heboh banget temenmu", ucapnya melihat handphoneku sepertinya sudah banyak panggilan dan pesan yang dikirimkan padaku.

Dia melirik padaku dengan tajam. "Kamu ga butuh handphone ini", ucapnya kemudian menyimpannya di sakunya.

Bu Siska mendekat. Dia tersenyum membuatku semakin yakin apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku berusaha memberontak. "ready for the next hell?", ucapnya.

.
.
.

Sekiranya... sudah berapa jam berlalu? Ruangan ini gelap, aku takut. Sayang sekali, mungkin kali ini aku akan menjemput kematian. Tangan kiriku patah dan kaki kananku patah. Kepalaku masih senantiasa memgeluarkan darah segar. Jari kelingking dan jari manisku patah bahkan sudah tak ada kukunya.

Aku tak berani melihat. Aku masih memejamkan mata sembari menangis. Aku tidak bisa berteriak apalagi meminta tolong. Lakban dimulutku masih menempel. Pedih dan nyeri menjadi satu. Bergerak sedikit saja sudah terasa sakit. Aku bisa merasakan tulangku yang patah dan darah yang mengalir. Sepertinya ada cahaya. Walaupun terasa redup.

Tiba-tiba terasa sebuah belaian dikepalaku. Apakah itu arwah ibuku? "Shh... tenanglah", ucapnya. Tangannya hangat dan aku teringat pada belaian tangan ibu dan kakak. Perlahan air mataku mereda meskipun aku membayangkan tangan itu adalah ibuku.

Perlahan aku membuka mata. Walaupun aku membayangkan hal indah itu. Aku tau bahwa ibuku tak akan pernah kembali ke rumah atau bahkan bertemu denganku. Gara-gara aku lahir, paras cantiknya tidak akan direngut atau bahkan kebahagiaannya. Dia akan menikahi orang yang dia cintai. Aku tau kok bu... kalau ibu punya orang yang ibu suka. Tetapi ibu dilecehkan kemudian dinikahi dengan perasaan benci dan ketakutan. Seharusnya aku tidak lahir.

Terlihat surai biru menyala. H...Hiori? Aku kaget melihatnya masih dalam keadaan hidup tetapi mengenaskannya banyak sekali luka dan darah yang menempel di tubuhnya. Mungkin karna genangan. "Pasti sakit, ya? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sungguh agresif", ujarnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐈𝐅𝐋𝐘 [ Seishiro Nagi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang