Kita sudah sampai di depan rumah sedaritadi tapi baik aku maupun Mas Jheriel tak ada yang mau keluar mobil terlebih dahulu. Kita hanya diam. Dengan keadaan yang hening. Benar-benar hening. Bahkan mesin mobil pun sudah dimatikan sejak tadi.
Sejujurnya, aku sudah tak punya tenaga lagi untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Rasanya badanku lemas sekali. Ditambah ucapan Mas Je tadi benar-benar menganggu pikiranku. Tetapi apa yang dikatakannya memang benar adanya. Seharusnya aku tidak menunggu dia di halte. Seharusnya aku menunggunya di tempat seperti biasa. Tempat di mana tukang roti bakar depan kantor berjualan. Dan jika tadi aku menunggunya di sana, maka malam ini Mas Je tidak akan menyakiti orang lain.
Benar, ini salahku.
Tapi sampai kapan kita akan berdiam di sini? Sepertinya aku yang harus mengalah.
"Mas."
"Shay, aku minta maaf."
Aku menoleh dengan cepat ke arah Mas Je. Kenapa dia minta maaf?
"Aku gak seharusnya bilang kayak tadi ke kamu, Shay. Aku minta maaf. Aku udah nyakitin kamu juga." Mas Je mengambil tangan kanan aku dan menatap dengan lekat memar yang ada di sana.
Tidak. Itu bukan salah Mas Je. Soal ucapannya tadi juga aku tidak masalah, aku setuju dengannya. Toh memang salahku. Dan memar di tanganku, jelas itu perbuatan Reno tadi siang. Hanya saja saat tadi Mas Je menarikku memang terasa sedikit sakit. Tapi lagi-lagi akan aku tegaskan bahwa itu bukan masalah besar untukku.
"Mas, gapapa. Mas Je gak salah. Ucapan Mas Je bener. Gak ada yang salah. Dan memar itu juga bukan karna perbuatan Mas, kok."
Tapi tanpa aku duga, Mas Je malah mencium sekeliling pergelangan tangan kananku. Lalu setelahnya, dia lakukan juga di pergelangan tangan kiriku. Kemudian Mas Je menatap kedua mataku dengan tatapan sendu. Ah, Mas Je membuatku ingin menangis.
"Aku minta maaf. Udah lalai jaga kamu."
Aku menggeleng tanda tidak setuju dengan ucapannya dan seketika saja air mataku meluncur bebas membasahi pipi.
"Gapapa, Shay. It's okay to not be okay. Tapi harus selalu kamu inget, kalau sekarang aku selalu ada di samping kamu." Mas Je langsung memelukku saat terdengar isakan keluar dari mulutku.
Tanpa dapat dicegah, aku menumpahkan segala yang aku pendam seharian ini. Bahkan dari beberapa tahun yang lalu.
Semua ucapan yang aku dengar hari ini sebenarnya bukan kali pertama atau kali kedua yang aku dapatkan. Bahkan semua ucapan sejenis itu sudah aku dapat dari masa aku berkuliah. Tepatnya saat kedua orang tuaku berpulang terlebih dahulu. Membuatku juga ingin menyusulnya. Tapi hingga hari ini aku belum kunjung dijemput. Dan rasanya aku benar-benar hancur, hilang arah, dan tak tau harus bagaimana ketika ditinggal kedua orang tuaku tanpa ada saudara di sampingku. Satu pun. Namun saat itu aku bisa melanjutkan kehidupanku karena dukungan dari seseorang yang sukarela menggantikan peran orang tuaku.
Beliau adalah salah satu dosen yang mengajar di kampus. Usianya sama seperti mendiang Bapak kala itu, membuat aku menganggap beliau sudah seperti bapakku juga. Dan beliau juga menganggapku sebagai anaknya karena hingga saat itu beliau belum dipercaya untuk dititipi seorang anak oleh Yang Maha Kuasa. Namun setelah orang-orang di kampus mengetahui kalau aku dan beliau dekat, aku malah dikatai sebagai simpanan dosen itu. Katanya aku ini memoroti beliau karena mereka heran mengapa anak yatim piatu seperti aku masih bisa melanjutkan hidupku.
Aku memang bukan dari keluarga yang kaya raya, tapi waktu itu aku sudah bekerja untuk menyambung hidupku. Semua pekerjaan yang halal pasti aku kerjakan. Mulai dari part time di kafe, membuka les privat, hingga membuka online shop. Bahkan saat dosen baik itu memberi uang dengan cuma-cuma ke padaku, akan selalu aku tolak dengan tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Here With Me
ЧиклитPerasaan kosong, kesepian, takut, dan ingin hilang dari Bumi adalah hal yang selalu ingin aku lupakan. Tapi nyatanya, mereka selalu kembali datang. Lagi dan lagi. Kadang kala ingin menyerah, namun aku masih waras untuk tidak mengakhiri hidup dengan...