"Truth or Dare?" Chuuya bertanya setelah akhirnya menyerah pada kebosanan yang dipaksakan padanya karena mereka berdua terjebak di ruangan chuuya karena misi yang belum mereka terima lagi selama setengah hari.
Dazai yang tadinya sibuk berkutat dengan buku panduan bunuh dirinya, kini mengalihkan atensinya, nampak berpikir sejenak. "Baiklah, Dare."
Chuuya menyeringai tipis dan mendekat ke arah Dazai, suaranya turun satu oktaf lebih rendah. "Lepaskan semua perbanmu dan tunjukkan padaku setiap bekas luka di tubuhmu."
Dazai memutar bola matanya namun menurutinya, perlahan melepas setiap perban hingga memperlihatkan berbagai bekas luka yang merusak tubuhnya. Dia memiliki lebih dari apa yang dipikirkan Chuuya pada awalnya, tapi dia menjaga ekspresinya tetap netral saat Dazai menunjukkannya.
Menatap Chuuya dengan tatapan datar, sejak awal Dazai sangat enggan menunjukkan bekas luka ditubuhnya. Belum ada satupun orang yang pernah melihat bekas luka yang dazai miliki dibalik perbannya. Namun entah mengapa, mungkin karena yang memintanya adalah Chuuya, Dazai menurutinya.
"Sudah 'kan?" Dazai membuka suara setelah keheningan singkat yang terjadi. "Sekarang, kau harus membantuku." Lanjutnya.
"Membantumu untuk apa?" Chuuya bertanya, kerutan kecil muncul di wajahnya saat dia mencoba mencari tahu bantuan apa yang mungkin dibutuhkan Dazai.
Dazai menatapnya dengan sedikit kesal, lelah dengan ketidakpekaan seorang Nakahara Chuuya. "Kau menyuruhku melepas semua perban ini, sekarang bantu aku memakainya"
"Fine." Chuuya berkata dengan enggan, lalu bergerak untuk duduk di samping Dazai di sofa. Chuuya membantu Dazai membalut tubuhnya dengan hati-hati sekali lagi, dengan campuran kekesalan dan kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya.
"Kenapa wajahmu seperti itu, Chuuya?"
Dazai kembali membuka suara, lalu berkata dengan nada mengejek. "Itu tidak seperti dirimu.""Aku hanya memastikan kau tidak mengacaukan perban itu." Balas Chuuya, menjaga ekspresinya tetap netral meskipun dia merasa sedikit khawatir terhadap Dazai. Dia benci betapa berartinya tubuh Dazai baginya.
Dazai tersenyum lembut mendengar respon Chuuya. "Kau pembohong yang handal."
"Aku tidak berbohong." Chuuya menegaskan, nadanya sedikit lebih tajam dari yang diharapkan. Dia benci cara Dazai membacanya dengan mudah, itu membuatnya merasa rentan.
"Sayangnya, kau terlalu mudah ditebak." Dazai terkekeh, lalu berkata dengan nada datar. "Kamu tidak perlu peduli padaku, lagipula tidak ada yang peduli"
"Aku tidak dapat diprediksi ketika aku menginginkannya. Dan ya, jangan salah paham, aku juga tidak peduli padamu." Chuuya berkata sambil menyeringai, mencoba menutupi rasa sakit yang terlintas dalam dirinya karena kata-kata Dazai.
Dazai menatapnya dengan tatapan mengejek. "Apakah itu benar?"
"Sangat." Chuuya menegaskan, berdiri dari sofa dan menatap Dazai dengan tatapan menantang. Dia mungkin tidak bisa mengendalikan emosinya di sekitar Dazai sepanjang waktu, tapi dia menolak untuk membiarkan Dazai melihatnya sebagai orang yang lemah.
"Baiklah, setidaknya aku akan berpura-pura tidak tahu, padahal aku tahu betul cara berpikirmu."
"Kau benar-benar orang yang tahu segalanya." Chuuya menggerutu sambil memutar matanya. Dia benci bagaimana Dazai selalu terlihat selangkah lebih maju darinya, baik secara emosional maupun intelektual.
Dazai menatapnya datar, "Sayangnya itu benar."
"Yah, bukankah kau penuh kejutan?" Chuuya berkata sinis, mencoba untuk tidak membiarkan komentar Dazai mengganggunya. Dia berpaling darinya, merasa frustrasi dengan percakapan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Truth or Dare
FanfictionYang terjadi ketika soukoku terjebak dalam kegabutan. Warn !! - OOC (maybe) - 18+ - Boys Love