Bagian 21 : Siapa Andromeda?

0 0 0
                                    

Beberapa saat yang lalu ketika di luar sedang merayakan pesta, Angkasa dengan kedua orang tuanya sedang duduk bercengkrama di ruang tamu bersama dua pemilik rumah yang sekaligus merupakan ayah dan ibu Aurora. Sebagai sahabat yang sudah menjalin hubungan sejak anak-anak masih kecil, mereka masih akrab penuh canda tawa meskipun sudah jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Hari ini adalah hari pertemuan mereka setelah lama tidak, dan mereka menikmatinya.

“Itu anak-anak kayaknnya lagi nyanyi ‘Happy Birthday’ deh, apa perlu kita keluar?” tanya Vela di sela pembicaraan mereka. Suara nyanyian yang heboh dari luar terdengar sampai ke ruang tengah tempat mereka duduk sekarang.

“Gak pa-pa, gak pa-pa, itu pesta anak muda, biarkan saja mereka bersenang-senang. Aurora juga sudah pesan mau urus acaranya sendiri,” jawab ibunya Aurora dengan bangga.

“Oh ya? Nak Rora sudah gede ya, sudah mandiri. Jadi kangen melihatnya waktu kecil yang masih comel dan suka nempel dengan Langit.” Vela tertawa kecil.

“Dari pengamatanku, Rora sepertinya masih suka sama Langit. Dia selalu membahas soal Langit setiap kami makan malam,” jelas si Ibu.

“Bagaimana kalau kita jodohkan saja mereka berdua? Sepertinya mereka cocok, kita juga bisa jadi satu keluarga utuh.” Kali ini ayahnya Aurora memberi usul dadakan.

“Aku setuju-setuju aja kalau kedua anak itu mau. Tapi kalau salah satu gak mau, lebih baik jangan dari pada nanti timbul masalah jadi gak enak,” komentar Rigel dengan netral.

Ibunya Aurora mengangguk. “Iya, benar juga. Masalah cinta anak muda itu terkadang memang rumit.” Ia menoleh ke arah Angkasa. “Kalau Angkasa bagaimana? Sudah punya pacar?” tanyanya.

Angkasa yang hanya menjadi pendengar sejak tadi hanya tersenyum dan menggeleng. “Belum, Tante,” jawabnya.

“Kalau cewek yang lagi dekat gimana? Ada?”

Tiba-tiba wajah Rayna muncul di benak Angkasa, tapi dia buru-buru menggeleng lagi. “Saya mau fokus belajar dulu, Tante.”
“Oh ya, Angkasa kuliah kedokteran ya. Katanya susah ambil jurusan itu. Kamu hebat, Angkasa, bentar lagi bisa jadi dokter. Papa mamamu pasti bangga banget, ya, punya anak calon dokter.”

Vela tersipu. “Aduh, bisa aja kamu.”
Percakapan ringan mereka pun terus berlanjut, tak lupa disuguhkan pula kue dan makanan-makanan dari pesta yang diantar oleh para pembantu atas perintah Aurora.
Sekitar beberapa menit kemudian, Angkasa minta izin sejenak untuk pergi ke toilet.

Sebagai rumah yang besar dan megah, pastinya terdapat beberapa bilik WC di seantora sudut rumah, termasuk bilik untuk mandi juga di daerah kolam renang yang sengaja didesain untuk keramas dan tidak berbasahan masuk ke dalam rumah. Alih-alih yang di ruang tamu, Angkasa memilih kamar mandi dekat kolam renang karena ingin melihat suasana pesta. Siapa sangka, keputusan ini membuatnya berpapasan dengan seseorang di luar dugaannya.

“Rayna?”

Rayna yang sedang cuci tangan di wastafel depan kamar mandi sebelah menoleh. Kedua matanya melotot menyadari siapa yang memanggilnya. “Kak Asa? Kok, kok bisa ada di sini?”

Angkasa tidak menjawab. Rayna yang sudah berdiri di hadapannya ia cermati dengan seksama, sampai tanpa sadar terbengong, saking terpana akan kecantikan yang tersaji di depan matanya sekarang.

“Kak Asa? Kok bengong?”

Angkasa tersentak. Ia berdeham menutup malu. “Maaf. Kamu kelihatan cantik malam ini, beda dari biasanya. Aku sampai pangling.”

Rayna ikutan tersenyum-senyum malu. “Makasih. Kak Asa juga keren kok,” balasnya. “Kak Asa dapat undangan pesta juga ya?” lanjutnya bertanya.

Angkasa mengangguk. “Keluarga kami sudah dekat dari dulu. Aku juga datang bersama orang tuaku, mereka ada di dalam,” jelasnya. “Rayn sendiri temanan sama Aurora ya?”

Seketika keraguan dalam hati muncul. Sebaiknya Rayna jawab jujur apa tidak? “Kami … tidak begitu dekat. Temannya yang memaksa, bukan, memintaku buat datang.” Ia milih jujur, tapi tak sepenuhnya.
Laki-laki berkacamata itu mengerutkan keningnya. Setahu Angkasa, Aurora yang dia kenal itu sangat pemilih soal teman. Tak sembarang orang bisa jadi temannya, apalagi mengajak orang lain yang tak kenal dekat. Kecuali, seseorang yang berani mengajak Rayna itu adalah—

“Kak Asa udah mau masuk?”

Lamunan Angkasa terbuyar lagi lalu menatap Rayna. Gadis ini tersenyum ramah, tapi di wajahnya tersirat kegelisahan yang samar sekaligus jelas. Angkasa mengerti keinginannya.

“Sebenarnya aku sedikit bosan buat kembali ke dalam. Bagaimana kalau kamu menemaniku ngobrol?”

Senyuman lebar langsung terhias di wajah Rayna. Dengan semangat ia mengangguk lalu menerima uluran tangan Angkasa. Mereka pun berjalan bersama menuju taman di sisi sebelah.

“Maaf jalanku lambat. Aku belum terbiasa pakai high heels,” keluh Rayna dengan resah.

“Kenapa kamu gak pakai yang datar aja atau hak yang lebih rendah?”

Rayna tidak menjawab. Ia memikirkan kembali bagaimana tadi siang Langit memilih semua pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuhnya ini, termasuk memaksanya tanpa memberi wewenang untuk menolak. Pilihan Langit memang bagus, tapi tetap saja Rayna kesal.

Tiba-tiba Angkasa berganti posisi dari duduk menjadi berlutut, kemudian dengan lancangnya melepaskan high heels yang dikenakan, sungguh mengejutkan Rayna.

“Kasian kakimu sampai lecet. Harusnya aku membiasakan diri membawa obat saat keluar.”

Meskipun ia berkata demikian, Angkasa mengeluarkan hansaplast dari saku lalu menempelnya di kedua tumit dan daerah jari kaki. Setelah selesai, ia kembali duduk di samping Rayna.

“Sementara ditempel plester dulu, tapi nanti pas pulang ingat oles obat atau gel lidah buaya biar cepat sembuh.”

Rayna tidak menyahutnya. Angkasa yang tidak mendapatkan respon pun mengalihkan pandangannya dari luka di kaki Rayna ke wajahnya. Gadis itu tersenyum lebar.

“Apa Kak Asa adalah malaikat pelindungku?”

“Kenapa?”

“Soalnya setiap aku terluka, Kak Asa akan selalu muncul lalu mengobatiku.”
Angkasa ikutan tersenyum. “Bisa jadi. Tapi jangan coba-coba lukai dirimu sendiri supaya aku muncul ya. Malaikat pelindungmu bisa marah, lho.”

Mereka berdua pun tertawa lepas menikmati lelucon garing ini, kemudian saling tatap cukup intens, dan lama.

“Kalung itu, ternyata kamu memakainya sebagai gelang, ya. Kukira kamu menyimpannya.”

Rayna mengikuti arah mata Angkasa yang kini memandang pergelangan tangannya, ada lilitan kalung kepala singa.

“Oh, ini biasa kupakai sebagai kalung kok. Tapi karena kurang cocok dengan gaunku sekarang, kujadikan gelang aja,” jelasnya cukup singkat, mengesampingkan fakta kalau dia sempat adu mulut dengan Langit gara-gara kalung ini.

Rain(a) between Sky & Space Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang