Zayra berdandan dengan cepat malam itu. Arya, suaminya, mendadak memberitahu bahwa ia sudah memesan meja di sebuah restoran sepulang kerja tadi.
"Ra, cepat!" Arya memanggil dari luar.
"Iya, Mas, sebentar! Aku lagi ombre liptint!" balas Zayra seraya mendesah panjang.
Suara mesin mobil sudah menyala. Zayra segera mengambil clutch bag kesayangannya, lalu setengah berlari ke arah mobil.
"Lama banget, sih," kata Arya, wajahnya masam seperti biasa.
"Ya maaf, Mas. Tapi kamu juga dadakan banget kasih taunya. Aku kan jadi nggak sempat siap-siap," jawab Zayra, mencoba menahan kesalnya.
"Dadakan atau nggak, kamu tuh emang selalu lama," tukas Arya cepat, membuat Zayra melirik tajam ke arahnya.
Perjalanan ke restoran cukup jauh. Udara malam yang sejuk bercampur dengan musik dari radio hampir membuat Zayra terlelap. Namun, ia memaksa matanya tetap terbuka. Ia tidak mau mengambil risiko riasannya luntur kalau sampai ketiduran.
Begitu sampai di restoran, mereka berjalan beriringan, tapi tangan Zayra dibiarkan menggantung begitu saja. Arya bahkan tidak berusaha menggandengnya.
"Oh ya, sekedar info aja," Arya memecah keheningan. "Aku ngajak kamu makan di sini cuma buat gantiin reservasi teman aku, Rio. Kamu tahu kan dia? Sebenarnya ini buat makan malam sama tunangannya, tapi karena tunangannya sakit, dia minta aku yang gantiin."
Zayra diam saja, hanya mengulas senyum tipis yang terasa getir. Tentu saja ia tidak kaget. Ia tahu betul sifat Arya. Hampir setahun menikah, ia paham suaminya bukan tipe yang akan melakukan hal semacam ini tanpa alasan. Kalau bukan karena Rio, mana mungkin Arya repot-repot mengajaknya makan malam di restoran seperti ini.
Setelah sampai di restoran, Zayra langsung duduk dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Suaminya, Arya, entah pergi ke mana.
Ia menunggu selama beberapa menit, mungkin tujuh, hingga akhirnya Arya kembali.
"Dari mana, Mas?" tanya Zayra.
"Toilet," jawab Arya singkat sambil menarik kursi dan duduk.
Zayra mencoba menikmati makan malam itu dengan tenang, meski matanya terus menangkap Arya yang sibuk dengan ponselnya. Sesekali, jemari pria itu mengetik cepat di layar, seolah lupa bahwa ia sedang bersama istrinya.
"Mas, ini makan malam bareng pertama kita, ya?" Zayra akhirnya membuka suara, mencoba mengalihkan perhatian Arya dari layar ponsel.
Arya mendongak, menatap Zayra yang sedari tadi memperhatikan tingkahnya. "Nggak lah. Kita udah sering makan malam bareng. Kecuali kalau aku lagi lembur," jawabnya tanpa ekspresi.
"Maksud aku, makan malam bareng di luar, kayak gini."
Arya hanya mengedikkan bahu, seolah tidak peduli.
Zayra menghela napas panjang. Ia menyerah. Berbicara dengan Arya rasanya seperti berhadapan dengan tembok. Bukannya ingin terus-terusan mendebat suaminya, tapi sikap Arya selalu memancing emosinya. Namun, Zayra mencoba menahan diri. Ia tidak ingin dianggap sebagai istri durjana, karena melawan suaminya terus menerus.
*____*
Mereka yang baru sampai setengah jam yang lalu selepas makan malam kini berada di kamar. Berganti pakaian dan bebersih diri.
"Besok aku mau ke Paris empat hari. Keberangkatannya jam 10 pagi, nanti kamu bantuin aku packing, ya." Tiba-tiba saja Arya membuka mulut usai keheningan yang melanda di antara mereka.
"Ke Paris? Kenapa kamu suka banget kasih info dadakan sih, Mas?" Zayra yang sedang memakai krim malam menghentikan kegiatannya. Menengokkan kepalanya ke arah sang suami yang tengah memakai piyama satin biru tuanya.
"Nggak dadakan juga, sih. Aku memang udah berencana kesana. Cuma aku lupa kasitau ke kamunya."
Arya sudah menjatuhkan badannya pada kasur empuk yang sedari tadi memanggilnya. Ia sudah menduga bahwa istrinya tentulah terkejut seperti biasanya. Zayra tidak suka di tinggal-tinggal jauh. Hal itu yang menyebabkan Arya sulit sekali untuk mendapatkan izin bepergian pada sang istri apabila ada beberapa pekerjaan yang mengharuskan dirinya pergi ke luar negeri.
Kini Zayra sudah ikut bergabung bersamanya di atas kasur yang sama dengan wajah menekuk.
"Mau aku panggilkan Febi untuk temani kamu selama aku disana?"
Zayra menggelengkan kepalanya. Lalu memeluk tubuh suaminya yang menyebalkan. Ia akan ditinggal empat hari. Itu berarti ia tidak akan mendapatkan perlakuan menyebalkan dari suaminya serta pelukan hangat sebelum tidur.
"Aku mau sendiri aja. Nggak mau ditemani siapa-siapa."
"Oke."
Arya mengambil bed cover yang masih terlipat rapi guna dibentangkan ke tubuhnya dan Sang Istri. Zayra masih dalam posisi memeluknya.
"Eh tapi kamu harus ingat, Ra."
"Ingat apa?" Tanya Zayra dengan suara yang terpendam di dada Arya.
"Aku ke Paris untuk urusan kerjaan. Kalau kamu mau teleponan, tentu aku bisanya malam. Jangan ganggu aku dengan keseringan telepon, ya? Aku akan lebih cepat pulang kalau kamu nggak ganggu pekerjaanku."
"Iya-iya..."
Tangan kanan Arya dijulurkan ke arah nakas untuk mematikan lampu. Di dekapnya erat sang istri yang menyebalkan. Besok malam ia tidak bisa melakukan ini.
Pipi mulus milik Zayra ia bubuhi banyak ciuman. Di elusnya dengan lembut punggung Zayra yang tidak tertutup seluruhnya oleh piyama yang dikenakannya.
Zayra sudah tahu maksud suaminya itu. "Ih! Aku pengennya pelukan aja!"
Arya langsung memberikan senyuman manisnya. "Sebentar aja, Ra."
Dengan cepat Arya mencium bibir ranum Zayra. Memegang tengkuk serta rambut secara bergantian. Bermain dengan lidah Zayra yang lihai sekali memorak-porandakan mulutnya.
Kaki Arya di bawah sana tidak tinggal diam, ia mengikat kedua kaki Zayra dengan kedua kakinya agar posisi keduanya semakin dekat.
Perempuan itu meliukkan badannya saat Arya dengan sengaja meremas dadanya tiba-tiba. Ciuman Arya berpindah tempat, pundak mulus milik sang istri begitu nikmat, tapi bagian dada juga begitu menggairahkan.
Hal ini bahkan bukan pertama kalinya mereka melakukan. Tapi Zayra mampu membuatnya seperti pertama kali.
"Mas Arya, tapi aku udah ngantuk," ujar Zayra sambil menghela napas, mencoba menahan kantuk di tengah-tengah perhatian Arya yang masih terfokus pada dirinya.
"Empat hari ke depan kita nggak akan bisa lakuin ini, Ra," balas Arya, seolah meminta sedikit lagi waktu.
Zayra tersenyum kecil, meskipun matanya mulai berat. "Ya udah, tapi aku mau oleh-oleh, ya."
Arya tertawa kecil dan menjawab lembut, "Pasti aku belikan."
Zayra akhirnya terdiam, memilih menikmati kehangatan yang tersisa di malam itu.
*____*
Zayra sudah tertidur pulas setelah mereka menghabiskan momen penuh gairah beberapa menit sebelumnya. Arya menghela napas pelan, lalu meraih handphone di sampingnya untuk melihat waktu. Layar yang menyala menampilkan satu pesan masuk—dari seorang temannya yang tinggal di Paris.
Alfi:
Bsk katanya Tim design Carlo Group mau ke Paris? Kalau benar gua sekalian kasih info aja ke lo. Raline lagi ngadain launching toko berliannya di daerah dekat kantor pusat perusahaan lo. Dia ngundang kita-kita dan teman yg lain juga. Kalau lo mau dan nggak sibuk, bisa bareng gua ke acaranya Raline.Oke, see you in here!
Arya tidak langsung membalas pesan tersebut. Ia sebetulnya malas berlama-lama bepergian dan meninggalkan Zayra. Hal itu dipikirkan nanti sajalah. Toh, yang seharusnya ia pikirkan adalah oleh-oleh apa yang akan ia beli untuk Zayra yang telah memuaskan dirinya malam ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Call It What You Want (END)
RomansaMenjalani pernikahan yang menurut Zayra terlampau biasa-biasa saja membuatnya merasa jenuh. Apalagi dihadapkan dengan suami yang setiap kali berbicara selalu memancing emosinya. Tak pernah melakukan kekerasan, laki-laki itu hanya menjengkelkan bagi...