03

172 75 142
                                    

Sekarang hanya tinggal Nindi dan Amka di ruang tamu itu, "Aku minta maaf buat yang pagi tadi mas," ucap Nindi memecah keheningan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekarang hanya tinggal Nindi dan Amka di ruang tamu itu, "Aku minta maaf buat yang pagi tadi mas," ucap Nindi memecah keheningan.

•••••••••••••

Hamka menghela nafas lelah, ia hanya mengangguk saja tanpa mengatakan sepatah katapun, ia mulai muak dengan keadaan ini.

"Mas aku mau tanya," ujar Nindi dengan keraguan.

Hamka memandang Nindi sebentar lalu kembali memejamkan matanya, "Apa."

"Kamu tadi ada ketemu sama Arti Mas?"

Hamka menegakkan tubuhnya memandang lurus ke depan, "Aku ke kantor, gak ada ketemu dia," jawab Hamka dengan nada ketus.

Nindi merasa heran dengan suaminya, "Kamu nggak bohong kan mas, ingat janji kamu dulu mas, kamu nggak bakal deket sama dia lagi dia itu udah nikah mas sama kaya kamu," cerca Nindi dengan nafas memburu.

Hamka menatap Nindi malas, "Kamu nuduh aku?"

"Aku bukan nuduh kamu mas aku-" ucapan Nindi dipotong begitu saja oleh Hamka.

"Terus apa kalo bukan nuduh hah, udah deh aku cape."

Hamka pergi meninggalkan Nindi sendirian, "Harusnya kalo kamu ngerasa enggak ketemu ya biasa aja bukan malah kaya gini, kamu nyembunyiin sesuatu dari aku kan Mas, IYA KAN!"

Pyar

Hamka melempar vas bunga diatas meja, "BERANI KAMU BENTAK AKU HAH!" Ucap Hamka dengan nada tinggi.

Nindi tersentak ini memang bukan pertama kali baginya mendapatkan bentakan Hamka tapi entah kenapa rasanya selalu sakit.

"Aku nggak-"

"Halah, Lo cukup diem Nindi jadilah istri penurut!" Potong Hamka lalu pergi dari rumah.

Isak tangis mulai terdengar di ruang tamu, Hera menyaksikan semuanya dari atas sana menyaksikan bagaimana ayahnya membentak ibunya.

Tak terasa air mata Hera ikut jatuh mendengar tangisan Mamahnya, walau Hera selalu bersikap acuh pada Mamahnya tapi tetap saja dia tak rela melihat Mamahnya menangis.

******

Kejadian semalam berlalu begitu cepat Nindi kini tengah duduk diteras rumah sambil memandang kearah Nala dan Fian bermain, setelah kejadian semalam Hamka tidak pulang kerumah entah lah dia pergi kemana.

Nindi terlalu fokus melamun membuatnya tidak menyadari kehadiran Hera disampingnya, "Mamah disuruh tanda tangan disini," ucap Hera sambil menyerahkan map pendaftaran peserta didik baru.

Nindi tersentak kaget, "Mamah kaget loh kak," ucap Nindi sambil mengelus dadanya.

Nindi menandatangani pendaftaran itu tanpa berlama lama kemudian menyerahkan map itu pada putrinya.

"Jangan pisah sama Papah Mah"

Nindi tersentak kembali apa maksud dari putrinya mengatakan hal itu,"Siapa yang pisah kak, enggak ada kok," jawab Nindi dengan sedikit gugup.

Hera hanya memandang Mamahnya dalam lalu pergi begitu saja Nindi hanya bisa menghela nafas, apa semalam Hera melihat pertengkarannya dengan Hamka sampai dia mengatakan hal tersebut.

Nindi memandang langit biru, hey apa yang kalian bayangkan di umur 15 tahun dia jatuh cinta pada laki laki yang tak lain ialah Hamka, ia menikah dan dikaruniai anak langsung.

Diumur yang baru memasuki 21 tahun Nindi mempunyai 3 anak yang hampir sama besarnya, repot? Jelas, tapi mau bagaimana lagi ini kemauan Nindi sendiri, harusnya dulu dia mendengarkan perkataan orang tuanya bahwa menikah bukan perkara gampang namun pada dasarnya Nindi yang keras kepala ditambah sedang jatuh cinta itu bersikeras menikah dengan Hamka saat itu juga dan sekarang lihat semua ucapan orang tuanya benar menikah dan mempunyai anak diusianya yang muda itu bukan hal yang gampang.

Lamunan Nindi terhenti karna datangnya sang suami yang semalaman tidak pulang kerumah, "Mas kamu baru pulang, dari mana aja Mas aku khawatir," cerca Nindi.

"DIEM!"

Nindi tersentak mendengar bentakan Hamka,"lo bisa diem gak si gak usah cerewet," sambung Hamka menatap nyalang Nindi.

Nindi menunduk takut, Hamka yang melihat itu melengos masuk kedalam rumah meninggalkan istri dan anaknya yang menyaksikan kejadian itu.

"Mah, mamah nggak papa?" Tanya Fian pelan, sambil menghapus air matanya kasar Nindi mengangguk meyakinkan anaknya.

"Sekarang waktunya tidur siang loh."

"Ayo abang sama adek harus tidur siang," ucap Nindi berusaha mengalihkan pembicaraan, Fian dan Nala yang melihat itu hanya mengangguk saja lalu berjalan menuju kamarnya masing masing.

Nindi ikut masuk kedalam rumah ia berjalan menuju kamar putrinya Hera, saat didepan pintu Nindi melihat Hera yang sedang bermain dengan pengasuhnya.

Nindi tak ingin mengganggu ia memilih pergi menemui Hamka,"Mas, kamu telpon siapa?" Tanya Nindi saat mendengar suara sang suami yang sedang bertelpon didalam kamar.

Hamka hanya memandang sekilas dan melanjutkan obrolannya, Nindi yang diabaikan pun hanya bisa menghela nafas panjang.

"Iya dong pasti, nanti aku beliin tenang okey"

"..........."

"Iya sayang, tenang aja udah dulu ya dah sayang."

Hamka mengakhiri percakapan itu, "Mas kamu gila!" Sentak Nindi dengan muka merah padam

"Kamu telpon sama siapa mas hah!" Sambung Nindi karna Hamka hanya diam  saja.

"Gue telpon sama siapa aja itu bukan urusan lo!"

Nindi menggelengkan kepala tak percaya dengan jawaban suaminya, "jelas itu urusan aku mas, aku istri kamu!"

Hamka berdecak malas, "Gue telpon sama Arti kenapa emang," jawab Hamka kelewat santai.

"Kamu selingkuh mas!"

"Iya! Arti itu mantan gue yang paling baik beda sama lo," jawab Hamka dengan nada tinggi.

Nindi menggeleng tak percaya pada kenyataannya ini, suaminya berselingkuh dengan mantan kekasih SMA nya dulu.

"Kenapa mas, aku kurang apa!" Ucap  Nindi dengan nada bergetar, Hamka terkekeh mendengar itu.

Hamka menunjuk Nindi, "lo nggak sadar hah, lo itu nggak bisa ngurus anak dengan baik," ucap Hamka.

Follow IG: its.blue_cat
31-12-23

blue_cat31-12-23

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
 In Omnia Paratus (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang