Bagian 21: Cahaya

0 0 0
                                    

Teman lama yang menelponku di warung Mie Belitung Atep malam itu sebenarnya lebih dari sekedar teman lamaku, melainkan saudaraku yang sudah hampir tiga tahun tidak bertemu. Bisa dibilang dirinya adalah sepupuku.

“Siapa Ndre?” tanya Rendi padaku yang baru selesai mengangkat telepon, penasaran.

“Biasa, temen!” ucapku singkat sembari menutup panggilan telepon.

“Ohh!” jawab Rendi dan Kak Jessica, dengan menaruh curiga padaku.

Sesaat setelah aku menyimpan ponsel disaku celana, aku memberitahu sesuatu ke mereka tentang isi percakapanku ditelepon, soal kehadiranku bersama mereka ditempat itu.

“Gess! Gua tinggal dulu gak apa-apa kan ya?” tanyaku ke mereka berdua, beranjak dari tempat dudukku.

“Buru-buru amat Ndre! Mau balik nih jadinya?” tanya Rendi.

“Iya nih, gua udah ada janji soalnya sama sepupu gua! Sorry banget ya!” jelasku.

“Udah! Santai aja kali!” katanya.

“Kalo gitu gua cabut dulu ya! Next time kita sambung lagi, nanti gua mampir ke rumah lo!” pamitku.

“Emangnya lo tau rumah gua dimana?” tanyanya.

“Ya, belum tau sih! Hehe!” jawabku.

“Oke lah ya! Gua gak bisa lama-lama nih! Gua lanjut ya! Bye!” pamitku sekali lagi, lalu berjalan dengan terburu-buru, keluar dari warung menuju depan.

“Hati-hati Ndre!” ujar Rendi sedikit berteriak ke arahku yang sudah menjauhi mereka.

Buru-buru aku berjalan kearah sepeda motorku yang terparkir di depan warung, bersama kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat lainnya. Setelah membayar biaya parkir dan menghidupkan sepeda motor, aku langsung bergegas menuju rumah dengan kecepatan tinggi. 

Tujuannya agar aku tidak keduluan sampai dari sepupuku, mengingat dari percakapan kami ditelepon tadi, dirinya baru pulang dari dinas malam. Tanpa pulang kerumahnya terlebih dulu, dirinya langsung menuju rumahku, semata hanya ingin melepas rindu denganku serta silaturahmi dengan kedua orangtuaku, terutama dengan ibuku yang merupakan adik kandung dari ayahnya. 

Karena perbedaan jarak tempuh yang cukup jauh antara tempatku dan kantornya ke rumahku, mau sekencang apapun aku mengendarai sepeda motor ternyata tetap tidak bisa mendahuluinya. Dirinya sudah lebih dulu sampai di rumahku, bahkan sudah mengobrol bersama ayahku di teras depan.

“Papaku masih dinas ditempat lama, Om!” ujar Cahaya Amanda, sepupuku menjawab pertanyaan dari ayahku.

“Masih di Bandung? Berarti disini kamu tinggal sendiri?” tanya ayahku memastikan.

“Ya, bisa dibilang begitu, Om!” jawabnya apa adanya, dengan seragam PDH polisi berpangkat “Bripda” masih melekat dibadannya, disembunyikan oleh jaket kulit cokelat yang dikenakannya.

“Sekarang kan kamu udah tau rumah Om, jadi sering-sering aja mampir kesini! Lagian bukan juga orang lain, bibimu kan istrinya Om, masih satu keluarga!” terang ayahku.

Tiba-tiba Cahaya menyadari sesuatu.

“Oh iya Om, ngomong-ngomong bibi kemana ya? Perasaan dari tadi gak keliatan?” tanya Cahaya penasaran, matanya tidak diam memeriksa keberadaan ibuku disekelilingnya.

“Bibimu lagi pergi, kamu seperti tidak tau saja bibimu,” kata ayahku.

Tanpa perlu ayahku memberitahukan maksudnya tentang ibuku, Cahaya sudah tahu dan sudah bisa menebak kalau kepergian ibuku berkaitan erat dengan bisnis yang dijalankan beliau, fashion.

Janji Kita; Senyumlah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang