"Fisya duluan ya, Sam. Assalamualaikum!" seru Nafisya setelah mencium punggung tangan suaminya.
Empat bulan. Usia pernikahan mereka kini sudah menginjak empat bulan. Masih seumur jagung memang.
Tidak ada yang berubah dari rumah tangga mereka. Masih sama-sama dingin, mengambang di lautan lepas.
Samudra dengan segala rasa bersalahnya, dengan Nafisya yang masih menaruh hati untuk cinta pertamanya. Semuanya rumit. Tidak ada yang mencoba membenahi. Mengubah arah tuju laju bahtera mereka yang mulai tenggelam ini. Yang mereka lakukan hanya ada dua pilihan, menunggu untuk tenggelam ke dasar lautan, atau berlabuh di muara impian.
Nafisya melanjutkan pendidikannya di kampus yang sama dengan Samudra, hanya berbeda fakultas saja. Samudra di fakultas Sastra, sementara Nafisya di fakultas Ekonomi dan Bisnis. Sebelumnya, gadis itu mengambil pekerjaan sampingan, namun sekarang Nafisya berhenti dari pekerjaannya lalu memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya.
Tidak ada yang mengetahui perihal hubungan pernikahan keduanya, masing-masing dari mereka acuh dan tidak peduli dengan status pernikahan mereka. Toh, tidak ada yang curiga juga. Jadi sekitar empat bulan menginjak bulan kelima ini hubungan mereka dianggap baik-baik saja padahal nyatanya tidak, keduanya sepakat tidak melibatkan pernikahan dalam pendidikan mereka.
Selain kuliah, Samudra juga merangkap sebagai seorang pengajar di pesantren, setiap dua kali dalam seminggu ia pasti berkunjung ke pesantren Darurrohman untuk mengajar. Selain itu, Samudra juga disibukkan dengan pekerjaan di kantor milik ayahnya. Samudra dipercaya memegang salah satu cabang perpustakaan di daerah yang dekat dengan apartemennya.
Sementara Nafisya, selain sibuk kuliah, ia juga sibuk mendalami peran menjadi seorang istri yang menjalani kehidupan rumah tangga seperti biasanya.
Selain hati dan pikiran mereka yang tak sejalan, waktu bersama mereka juga sangat-sangat sedikit. Sepulang kuliah, Samudra harus pergi ke perpustakan atau ke pesantren. Hal itu bisa memakan waktu sampai malam tiba.
Nafisya sudah biasa saat melihat kepulangan Samudra di atas waktu maghrib. Bahkan beberapa kali di atas jam delapan malam. Nafisya tahu, pria itu pekerja keras, ia seseorang yang sangat bertanggung jawab sebagai suami yang berusaha untuk menafkahi istrinya.
"Assalamualaikum."
Nafisya menyambut kepulangan Samudra, ia mencium punggung tangan suaminya lalu mengambil alih tas yang dibawa Samudra. "Waalaikumussalam, abis dari pesantren, ya?"
Samudra mengangguk. "Iya, abis dari perpustakaan langsung ngajar. Kebetulan kelas malam, maaf ya baru pulang jam segini."
Nafisya hanya tersenyum tipis. Jam sembilan malam. Ini sudah biasa baginya, beberapa kali bahkan Nafisya ketiduran karena menunggu kepulangan suaminya.
"Gak apa-apa. Sekarang bersih-bersih ya, Fisya tunggu di meja makan."
Jika dilihat dari pandangan orang luar, rumah tangga Samudra dan Nafisya seperti layaknya suami-istri pada umumnya. Samudra pekerja keras, dengan Nafisya yang bertanggung jawab apapun menyangkut kebutuhan suaminya.
Tapi, mereka semua tidak tahu bahwa sebenarnya ada benang merah yang selalu terbentang diantara mereka berdua.
"Kamu gak makan, Sya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DESAMSYA [ON GOING]
Fiksi Remaja#3 GEZELLIGHEID SERIES Nafisya Nayyara Almahyra, gadis belia yang terpaksa harus menikah dengan Samudra Shazad Zaigham, sahabat sekaligus sepupu dari orang yang dia cintai, Dewangga Adelard Nadhif. Pernikahan yang tidak diimpikan itu, berlandaskan...