Chapter 9 : Kalah

32 4 0
                                    

Hati Nafisya selalu kalah dengan rasa cinta. Kenapa sulit sekali melupakan Dewa dalam kehidupannya?

Saat ini, gadis itu sedang termenung di lobby rumah sakit menunggu suaminya menjalani kemoterapi. Setiap kali berkunjung ke rumah sakit, itu selalu mengingatkannya kepada Dewa.

Mengingatkannya kepada permintaan konyol yang bodohnya Nafisya setujui ini. Menikah dengan Samudra.

"Kok kamu jahat, sih, Wa?"

Terkadang, kata-kata itu terbesit di benak Nafisya. Pikirannya menyangkal, tapi hatinya tidak. Jauh di lubuk hatinya, ada perasaan mengganjal yang entah mengapa selalu menghantui. Alasan apa sebenarnya yang membuat Dewa keras kepala meminta Nafisya menikah dengan Samudra?

"Syaa..."

Suara lembut itu, ah... selalu saja meluluhkan hati Nafisya. Gadis itu mendongak. "Udah selesai, Sam?"

Samudra mengangguk, lalu mengulurkan tangannya. "Ayo kita pulang..."

Nafisya mengerjap, menatap ragu uluran tangan suaminya. Hatinya kembali teremat nyeri, bertanya dalam hati apakah kini Nafisya sangat-sangat jahat kepada suaminya sendiri.

Dengan ragu, akhirnya Nafisya meraih tangan itu, tangan besar Samudra yang berhasil menggenggam tangan mungilnya erat.

Keduanya akhirnya kembali menuju parkiran, seperti biasa, Samudra membukakan pintu untuk istrinya, Nafisya pun sudah terbiasa dengan segala pelayanan baik dari suaminya.

"Mau makan sesuatu, atau langsung pulang ke rumah?"

Tidak ada jawaban. Nafisya masih termenung menatap kaca jendela mobil, selalu saja seperti itu.

Dengan lembut, Samudra mencoba meraih telapak tangan mungil Nafisya, kembali menggenggamnya tulus. Nafisya sedikit terkejut, hal ini berhasil membuatnya membuyarkan lamunan.

"Mau makan sesuatu atau langsung pulang ke rumah, hm?" tanya lembut Samudra sekali lagi.

"Pulang," celetuk Nafisya.

"Fisya mau pulang." tambahnya.

Samudra menghela napas pasrah, usahanya untuk membuat Nafisya luluh ternyata sangat sulit. Samudra harus selalu bersabar.

"Baiklah, kita pulang."

Mobil putih Samudra melaju kembali ke apartemen mereka. Jarak rumah sakit dari apartemen tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 15 menit perjalanan jika tidak macet.

Dan ternyata benar saja, kemacetan terjadi. Kini, Samudra dan Nafisya terjebak disana.

"Ck."

Samudra mendecak sambil memukul pelan setir mobilnya, membuat Nafisya sedikit menatap heran akan perubahan sikap suaminya yang semula lembut, menjadi sedikit kasar.

Nafisya seakan melupakan bahwa Samudra adalah mantan berandal.

Gadis itu akhirnya menghiraukan perubahan sikap suaminya, ia lebih memilih kembali menatap jalan di balik jendela mobil. Entah mengapa, rasa kantuk mulai menyerang, Nafisya akhirnya terlelap, tanpa mempedulikan dirinya yang sekarang masih berada di dalam mobil, tanpa mempedulikan suaminya.

Empat puluh lima menit kemudian, mobil putih itu akhirnya sampai di apartemen. Nafisya masih tertidur, membuat hati Samudra lagi-lagi terenyuh.

Telapak tangannya terulur mengusap lembut kepala Nafisya yang tertutup hijab. "Maaf, Sya..."

Seperti sudah terbiasa, Samudra akhirnya membawa tubuh Nafisya ke dalam pengakuannya, menggendongnya ala bridal style menuju lantai sebelas, keberadaan kamar apartemen mereka.

DESAMSYA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang