Penghancur Dunia
6
HARI ini ialah penentuan terwujud salah satu mimpiku atau tidak. Akankah tanganku yang penuh harapan seribu manusia dapat memuaskan mulut licik mereka. Bila terwujud, maka akan ku kumandangkan ke seluruh dunia dengan cara apapun. Bila tidak terwujud, aku akan menghilang sebentar dari peradaban dan menahan malu selama berbulan-bulan layaknya beruang hibernasi. Hari ini ialah hari di mana pentas seni sekolah diadakan. Masing-masing perwakilan kelas telah berlatih berminggu-minggu lamanya.
Aku harus bergegas cepat pergi ke sekolah dengan mata yang mulai buram melihat wajah-wajah mereka selalu mencemooh tapi minim dalam bertindak. Kenyamanan ialah sebuah hal yang mustahil didapatkan di sana. Sulit membedakan antara manusia dan hewan.
Aku memegang kendali atas setting panggung. Pemeran di dalamnya ialah kawan-kawan―yang tak pantas dipanggil kawan― yang di dalam hatinya berkata bahwa aku ialah makhluk paling menjijikkan dan tak pantas tampil di hadapan dunia. Di matanya, ia ialah suruhanku yang dipaksa berlakon di atas panggung. Cacian dan makian itu mulai terdengar oleh kedua telingaku. Tatapan kejam nan tajam itu tak membuat waktu membelaiku sejenak dari berisiknya cacian. Kalau bisa ku ludahi mereka, ku ludahi mereka sekarang juga di tempat.
Peganganku atas mimpi-mimpi itu masih erat dan indah dilihat. Dengan memakai kemeja warna putih dengan rangkapan rompi hitam dan rok rumbai berwarna putih, ku pijakkan kaki dengan kepercayaan besar akan terwujudnya mimpiku dan tercetaknya sejarah yang akan menjadi salah satu kebahagiaan sempurna di tahun ini.
Urutan pentas kami termasuk urutan akhir. Melihat penampilan kelas lain di atas panggung dengan bahagia, menikmati peran yang mereka mainkan dan patut diberikan tepuk tangan semeriah-riahnya membuat kami minder atas eloknya pentas yang disajikan.
Telah tiba saatnya waktu jatuh tepat di bawah telapak kakiku. Aku yang memegang semua kendali atas alur di atas panggung hingga penataan musik yang bodoh nan tak disukai banyak orang. Semuanya terancang sesuai egoku. Bodoh dan tak tahu malu.
Kendala pun menerjang pohon besar tempat mimpiku tertanam hebat. Musik yang tak ingin menyala dan tersendat-sendat, tanganku yang saat itu bodoh memegang kendali musik hingga kacau balau tak enak dipandang mata dan didengar oleh telinga manapun. Seharusnya pentas seni kami kali ini sudah menjadi juara pentas terkomedi karena lawaknya tingkah kami di atas panggung maupun di belakang panggung. Mimpi-mimpiku diinjak-injak oleh kakiku sendiri, digantikan dengan takut dan gundah. Takut akan mulut mereka yang mengomel setiap hari.
Kala itu aku ingin langsung memakai topeng untuk menutupi rasa maluku, seharusnya aku tak ditempatkan di tempat di tempat yang membuatku malu dan terasa hina di mata dunia.
Permintaan maaf sebesar-besarnya ku haturkan kepada diriku, orang-orang yang terlibat, hingga pohon tertanamnya mimpi yang satupun tak kunjung datang menghampiri. Rasa banggaku luntur di tempat. Diterjang rasa malu bertubi-tubi. Kalau bisa ku hapus hari ini, sudah ku hilangkan dan robek kuat-kuat.
Sepertinya mereka yang ku kenal tak kan mengakui bahwa aku ialah seorang yang dikenalnya. Saking malu dan kumuhnya aku atas terjatuhnya di lubang penuh lumpur dan berduri tajam.
27
HARI ini hari di mana penulis lagu favoritku, Nadin Amizah akan berkunjung dan bersenandung di Solo. Aku sebagai pengikut musik Nadin dua tahun belakangan ini, pastinya keinginanku berapi-api saat pertama kali mendengar kabarnya. Sempat berdebat kecil dengan Ibu perihal berkunjung ke tempat yang ramai, namun akhirnya, hatinya luluh juga dengan alasan akan ditemani bapak. Anehnya, sistem tiket hanya dapat dibeli di tempat, sehingga kami harus cepat bergegas pergi ke sana jika tak ingin kehabisan tiket. Cukup jauh dari rumahku, kurang lebih 30 menit untuk menampakkan diri di sana. Hatiku sungguh berkobar-kobar membayangkan pertemuan pertamaku dengan Nadin di tahun ini segera terwujud—karena sebelumnya sudah bertemu di bulan September tahun lalu. Pakaian terbaik ku siapkan hanya untuk melihat seorang yang sempat menyelamatkanku dari gelap yang berkepanjangan melalui syair-syair indahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Mimpi, Kotor, dan Cinta yang Diembannya
Short StoryRayakan Takdir Tuhan adalah sebuah judul dari kesuluruhan karya-karyaku. Perihal tulis-menulis, pada dasarnya aku tak terlalu mahir untuk mendalaminya. "Rayakan Takdir Tuhan" merupakan perwujudan dari merayakan takdir Tuhan. Bukan hanya merayakan di...