Joke

4 2 0
                                    

Rachel seperti menemukan irama komunikasi dan pergaulan dengan Mr. Milo hari ini. Ia pun tak menyangka bahwa Mr. Milo mampu meletakkan diri pada posisi yang wajar. Bukannya ia tak ingin Mr. Milo memiliki perasaan yang sama dengannya, tetapi ia sadar diri dan maklum bahwa bagaimanapun Mr. Milo adalah gurunya. Meminta hal berlebih akan terasa begitu berlebihan pula.

Mr. Milo tak pernah terdengar membosankan dan kaku, tetapi juga tidak pernah menyentuh ranah pribadi. Percakapan menyenangkan ini uniknya masih tetap berada di dalam koridor hubungan seorang guru dan murid. Mr. Milo menunjukkan dengan baik passion-nya dalam membaca serta membagikannya dengan Rachel secara sukarela. Keduanya bercakap-cakap seakan berada di dalam ruangan kelas saja, minus keterbatasan waktu dan ruang, serta tanpa adanya murid-murid lain tentunya. Ia membicarakan dan menjelaskan tentang unsur-unsur sejarah di dalam sebuah novel, dan mengapa itu menjadi penting dan menarik. Ada pula unsur-unsur sosial dan budaya yang berjalan bersamaan dengan sejarah. Mr. Milo menjelaskannya tanpa terdengar membosankan sama sekali.

Bersikap profesional, tetapi berpengetahuan, terbuka dan komunikatif seperti sosok Mr. Milo ini malah membuat Rachel semakin gandrung. Ia tak menyangka sudah mampu berinteraksi sedalam ini dengan sosok idolanya tersebut.

"Eh, sudah jam berapa ini, Rach? Mama kamu belum minta dijemput apa gimana?"

Rachel mengibaskan tangannya di udara, "Ah, biasalah, Pak. Perempuan kalau sudah di salon ya gitu."

"Oiya? Kamu nggak ke salon sekalian emangnya?"

"Eh, aku nggak suka ke salon, Pak. Ngapain coba?"

"Lho, 'kan kamu bilang perempuan suka ke salon, dan kalau sudah ke salon, ya harus dimaklumi kalau lama."

"Maksudnya kebanyakan perempuan. Eh, nggak tahu aku, Pak. Soalnya aku nggak kayak mereka," Rachel meringis.

Mr. Milo tertawa ringan, tetapi tersenyum lebar.

"Mungkin nggak perlu kalik ya, Pak. Kayaknya aku udah cantik lah, kata Mama sih." Kali ini Rachel yang tertawa, meski leluconnya tidak lucu.

Mr. Milo tersenyum semakin lebar. "Ya, cantik lah, masak ganteng."

"Aduh, lelucon lama itu. Joke bapak-bapak."

"Lah, saya 'kan emang bapak-bapak. Pak guru."

"Apaan bapak-bapak. Mas mas gemes sih iya, Pak," ujar Rachel, tetapi hanya di dalam hati. Ia tak mampu menjawabnya. Sebaliknya, Rachel hanya tersenyum, menahan merah di kedua pipinya.

"Pak, Bapak punya murid favorit di Uni-National, nggak sih?" mendadak Rachel bertanya.

Mr. Milo mengernyitkan keningnya. "Memangnya kenapa?"

"Ya, tanya aja. There should be a good one, pasti ada yang bikin ngajarnya enak kalau punya murid kayak gitu. I mean, all students love PE teacher, for example. Soalnya pelajaran olahraga 'kan enak, seru-seruan, aktifitas bebas gitu. Jadi, pasti guru juga ada lah murid yang disukai. Maksud aku, murid yang gimana ya, rajin, atau pinter, gitu.'

"Ah, I know what you mean. I don't have any favorite student, and I can't have one. Mana boleh punya murid favorit, nggak profesional dong sebagai guru. Memangnya kamu suka saya lebih memerhatikan temen kamu, Dwi misalnya, dibanding kamu karena dia paling pinter misalnya?"

"Ih, jangan pakai contoh Dwi, Pak. Dia mah males orangnya. Rajinan aku kalik," jawab Rachel sambil tertawa. "Beneran Pak, masak nggak ada yang jadi favorit gitu?"

Mr. Milo menggeleng.

"Ehm, kalau Talulah?" ujar Rachel pelan.

"Kenapa memangnya sama Talulah?" jawab Mr. Milo santai.

"Lah, Bapak nggak merasa kalau Talulah itu murid favorit Bapak? Kayaknya semua murid di Uni-National tahu deh."

Mr. Milo memandang Rachel dalam-dalam. "Maksudnya, Rach? Saya belum paham."

"Ih, Bapak, nih. 'Kan Talulah sering banget ketemu Bapak. Tiap hari kayaknya ada deh Bapak bahas apa gitu sama Talulah. Kalau bukan favorit, apa namanya?"

Mr, Milo tertawa. Bukan tawa yang dibuat-buat, tapi jelas Mr. Milo seperti sadar akan sesuatu dan merasa geli. Rachel terheran-heran melihatnya. "Kamu yakin semua murid berpikir kalau Talulah itu murid favoritnya Mr. Milo, atau hanya pemikiran beberapa orang murid aja? Geng kamu misalnya? Soalnya, saya hanya bertindak sebagai fasilitator, Rachel. Ya, setahu saya, juga dari penjelasan guru-guru yang lain, Talulah dari dulu memang berprestasi dan punya kemauan kuat di bidang sejarah. Ya, saya hanya membantu. Lagipula, dia 'kan memang mau kuliah ambil sejarah. Coba kamu bayangkan, berapa persen sih murid international school yang berniat ambil ilmu sejarah? Rata-rata bisnis, teknologi, ada juga culinary, art, atau ilmu terapan lainnya. Memangnya ada yang ambil politik, budaya, atau sosial?"

Rachel berpikir. "Iya juga ya. Berarti Talulah sepintar itu ya di history, Pak? Tapi kalau pintar, ya tetap saja dia murid favorit Bapak dong."

"I thought, I told you that I don't have any favorite student. Saya cuma fasilitator. Sesuai keperluan dong. Kalau ada murid yang memang memerlukan bimbingan, ya saya pasti lakukan. Lagian, 'kan sesuai dengan regulasi sekolah. Rach, you that our school is special, different, right? Guru-guru diminta untuk memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya."

"Yeah, I know. Sekolah internasional emang beda sih, Pak. Ini masih mending aku dan satu geng bahasa Indonesianya bagus. Kebanyakan malah parah banget. Lingkungan kami tuh kecil, Pak. Ketemunya ya itu-itu aja. Soalnya bersosialisasi dengan orang lain bakal sulit."

"That's why they need school, and the teachers so bad. Mereka sangat membutuhkan sekolah dan guru-guru untuk membimbing mereka, terutama di dalam pelajaran. Jadi, sekarang kamu tahu 'kan, kalau sebenarnya semua murid istimewa di Uni-National. Tinggal apa yang perlu guru-guru lakukan dan bantu. Masalah pintar atau tidaknya, bukan itu poinnya. Yang utama adalah, apa yang bisa guru lakukan semaksimal mungkin untuk membantu murid, dan tentunya, orang tua yang sudah membayar mahal untuk menyekolahkan mereka, termasuk kamu, di sekolah itu."

"Hmm ... kalau semua murid intimewa, aku juga dong, Pak?" Rachel menjawab dengan raut wajah badung, tengil dan menggoda itu. Ia melirik ke arah Mr. Milo. Sepasang matanya hampir hilang ditelan sepasang pipi yang menyembul kemerahan.

Mr. Milo membalas tatapan Rachel, kemudian menggeleng tak percaya. Ia tersenyum tipis. "Iya, iya. Kamu spesial. Spesial pake telor."

"Ya ampun, Pak. Itu sungguh-sungguh lelucon bapak-bapak. Sudah lama, Pak. Bapak ini belum setua itu, 'kan?" protes Rachel. Namun, tetap saja ia tertawa. Lelucon itu letak lucunya bukan di isi, melainkan cara Mr. Milo menyampaikannya. Atau, Rachel sekadar subyektif saja. Apapun menjadi lucu dan menggemaskan bila berhubungan dengan Mr. Milo.

Hape Rachel berbunyi. Ada pesan masuk dari sang papa. "Udah kelar blom urusan menjaga perdamaian dunia bersama para pemimpin globalnya?"

Rachel tertawa kecil. Sang papa yang konyol itu tak pernah gagal membuatnya tertawa. Ia memalingkan wajahnya ke arah Mr. Milo. "Pak, masih lama disini?"

"Mama kamu sudah selesai nyalon? Ya sudah, sampai ketemu di sekolah. Saya masih disini sebentar lagi. Anginnya sepoi-sepoi enak, sama langitnya teduh."

"Saya duluan ya, Pak. See ya at school. Circe-nya masih saya baca. Secepatnya saya selesaikan. Jadi bisa pinjam lagi," ujar Rachel jujur.

Mr. Milo tersenyum. Seperti biasa, itu adalah senyuman terdahsyat dari seorang laki-laki yang bisa membuat Rachel bergetar seluruh jiwanya.

Dengan riang Rachel melambai ke arah Mr. Milo sembari berlalu. Kalau dituruti, ia mau saja menghabiskan waktu selama mungkin dengan gurunya itu. But enough is enough. Cukup untuk hari ini. Hatinya pun sudah penuh dengan bunga.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang