iv.vi. 2016, dan kita yang berdiri di garis sendiri-sendiri

63 5 6
                                    

Mereka adalah yang jalannya tidak pernah sama. Selalu saja berlainan arah. Ketika sepasang kaki milik salah satu di antara kita memilih arah utara, dan kamu yang memiliki pendengaran seluas angkasa memilih selatan. Meskipun nantinya yang bersitatap adalah punggung-punggung kita, tak apa. Karena di baliknya, raut-raut milik kita sangat cemerlang.

Jarak adalah satu-satunya hal yang paling meromantisasi perpisahan, sedangkan kita adalah sepasang pasrah yang bisanya cuma mengaminkan rindu-rindu paling serius kepada semesta saat warna angkasanya kejinggaan.

Menyenangkan sekali rasanya saat melihat sosok perempuan yang dicintainya tersenyum dengan perpisahan. Hujan turun dari beberapa semesta yang bukan miliknya. Melainkan milik ibu dan Sugiri.

Pukul lima pagi, Naya, Damara, Sugiri dan Rengganis sudah sampai di bandara. Masih tersisa satu jam sebelum keberangkatan Naya ke jepang. Di sisa-sisa waktu yang sedikit itu, banyak perasaan muncul bergerumul pada satu tampuk meminta untuk ditumpah ruahkan. Menciptakan sebuah kebingungan baru yang menyenangkan. Karena dari banyaknya perasaan itu, tidak ada satu pun perasaan berbentuk kekecewaan.

"Nay, kalau sudah di sana, jangan lupa kabarin Bapak! Jangan lupa makan! Jangan lupa salat! Jaga kesehatan, kuliah yang baik. Lalu, pulang dengan selamat!" Setelah itu, Sugiri memeluk erat satu-satunya berkah dalam hidupnya yang saat ini akan pergi jauh sekali dalam waktu yang lama.

"Iya, Pak. Bapak tenang aja. Naya manusia. Masa Naya lupa makan. Naya pasti baik-baik saja, Pak," ujar Naya dengan santai.

"Namanya juga Bapak, Nak. Nggak mungkin Bapak nggak khawatir. Meskipun sekarang kalau apa-apa kamu sudah bisa sendiri."

Naya tersenyum, kemudia memeluk Sugiri erat. "Iya, Bapakku tersayang. Terima kasih banyak. Naya akan baik-baik saja. Naya janji. Jadi Bapak jangan khawatir, ya? Bapak juga sehat-sehat di sini. Makan yang banyak. Yang jangan banyak itu pikiran, Pak. Jaga kesehatan Bapak. Kalau ada apa-apa, langsung panggil aja Damara, ya, Pak. Aku yakin Damara bakal jagain Bapak dengan baik selama Naya nggak ada di sini."

Setelah itu, Naya menatap Damara dengan tajam. Dari sorotnya, tatapannya seolah berbicara kalau ada sedikit saja goresan terhadap bapak, maka selesai sudah riwayat hidupnya. Damara sedikit bergidik ngeri. Sedangkan Rengganis yang sedari tadi berdiri di samping Damara hanya bisa terkekeh kecil.

Setelah dirasa selesai, Sugiri kemudian menyuruh Damara untuk berpamitan juga. Damara mengangguk, kemudian melangkah menghampiri Naya yang berada sedikit lebih jauh di depannya. Damara tersenyum, begitu pula dengan Naya.

"Nay," katanya pelan.

"Iya, Dam."

"Ternyata sulit sekali, ya, mendapatkanmu."

Naya terkekeh kecil. "Maaf, ya, Dam."

Damara tersenyum. "Nggak apa-apa, Nay. Menyenangkan soalnya."

"Kali ini, aku yang harus pergi, Dam."

"Iya, Nay. Maafkan aku."

"Loh, kenapa malam minta maaf?"

"Karena waktu yang kuhabiskan denganmu tidak banyak."

"Memang tidak banyak, Dam."

"Maafkan aku."

"Tapi menyenangkan."

Damara membelalakkan sepasang matanya. Sial. Ia kalah telak. Di waktu-waktu sempit seperti ini, bisanya-bisanya kupu-kupu bertebaran di dalam dirinya. Pun, pipinya sedikit memerah. Naya yang melihat reaksi Damara hanya bisa tertawa melihat bagaimana lucunya Damara saat sedang malu. Kejadian menyenangkan tersebut disaksikan oleh Sugiri dan Rengganis yang sedang tersenyum di belakang Damara dan Naya.

"Nay."

"Jangan berpamitan kepadaku, ya."

"Iya, tidak akan. Karena ini bukan perpisahan, kan?"

Damara tersenyum sekali lagi. "Ya."

"Aku tahu betul kamu pasti akan berkata seperti itu. Soalnya aku sudah mengenalmu dengan baik."

"Kamu akan berjuang dengan cita-citamu, aku akan berjuang demi cita-citamu. Saat kita bertemu lagi, aku harap aku sudah pantas untuk berdiri di sebelah senyum cemerlangmu."

"Aku percaya ketika aku pulang nanti, aku yang harus memantaskan diri agar bisa berdiri di sebelahmu."

"Aku akan menjemputmu."

"Terima kasih."

Pukul setengah tujuh adalah persimpangan yang membuat punggung kita saling berhadapan. Sedangkan wajah kita yang cemerlang sedang berjuang memantaskan diri agar saatnya tiba ketika kita bertemu lagi, senyum-senyum kita yang akan timbul nantinya bisa berdiri dengan bangga sebagai aku dan kamu seutuhnya.

***

Sepasang manusia itu sudah damai dengan kehilangan-kehilangannya. Katanya, perpisahan bukanlah milik kita. Kita tidak akan menolak pepisahan. Akan tetapi, kita juga tidak akan mengaggungkan perpisahan. Karena mereka adalah sebuah entitas yang bentuknya tidak jelas, kita hanya perlu berisap untuk menyambutnya ketika saat-saat itu sudah tiba.

Banyak hal yang sudah kita lalui. Jalanan-jalanan yang kita pijaki, tidak mudah jalurnya. Di sana, banyak sekali tangisan. Di sana, banyak sekali kekecewaan. Di sana, banyak sekali ketidaklapangan. Sedangkan penerimaan yang tumbuh pada nurani kita terbatas kemampuannya untuk terus memaafkan.

Pada kalanya, kita sama-sama mengumpati semesta karena ia adalah sebuah entitas yang sangat usil. Sulit sekali menghadapinya saat kita tahu ternyata di depan jalan yang kita lalui yang sedang menunggu kita hanyalah sebuah kehilangan. Kita sama-sama ketakutan. Kita sama-sama resah akan ketetapan selajutnya. Akan tetapi, setelah kita berhasil menembus batasan-batasan di kepala kita, kita mestinya berterima kasih kepada semesta karena telah mendidik kita menjadi manusia yang keras kepala.

Karena kalau tidak, ya, kita tidak akan mampu menghadapi kehilangan.

Kepada kita, yang sudah patuh pada ketetapan semesta, terima kasih karena sudah memiliki kepala yang kuat. Meskipun sakit, meskipun pahit, kita memiliki kaki-kaki yang kuat. Yang tetap berjalan meski bertebaran seribu duri di tanahnya, ya, itu semua adalah milik kita.

Yang sudah berdiri dan utuh.







andai, jikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang