02

108 15 0
                                    

"Hai kak Naual." Patra menyapa Naual yang menghampiri lapangan. Tangannya Patra melambai dengan samangat lengkap dengan suaranya yang menggelegar.

"Hai." 

Berbalikan dengan Patra, sapaan Naual bahkan terdengar seperti angin karena halusnya suaranya.

Patra menyerit bingung. Dia berjalan mendekati Naual, menganalisa wajahnya, "Kak Naual nggak semangat banget. Kakak sakit?"

"Nggak, aku nggak papa." Naual membungkuk, memperbaiki ikatan sepatunya kembali.

"Kak Naual bilang nggak papa, padahal ada apa-apa. Jangan-jangan kakak lagi dapet ya?"




"Lari yang benar Patra, jangan jalan. Kamu masih harus lari 3 putaran lagi." Naual berteriak dari pinggir lapangan.

Anggota tim yang lain melakukan peregangan sambil menonton Patra yang berlari mengelilingi lapangan, "Kasihan banget Patra."

"Ya, siapa suruh juga dia bercanda begitu."

"Padahal sudah jelas muka kak Naual lagi nggak enak diajak bercanda."

Patra? Dia sedang menyesal dengan sepenuh hati.




Setelah menyelesaikan hukumannya, dia hendak berbaring diatas rumput sebelum Naual kembali bertitah, "Setelah Latihan, jangan lupa merapikan ruangan klub."

Patra mau nangis.

Hari sudah sore, seluruh penghuni klub sudah pulang, hanya tinggal Patra yang menyeret kakinya menuju parkiran. Badannya lelah sekali, kak Naual benar-benar tidak kenal ampun hari ini.

Sebelum sampai ke motornya, Patra melihat Boby yang sedang membuka pintu mobilnya. Jiwa sok kenal sok dekat nya pun tiba-tiba terbangun kembali. Dengan cepat dia berlari menghampiri Boby.

"Hai kak Boby."

Boby yang mendengar sapaan itu malah mendengus tak suka.

"Hm, ada apa?"

Mendengar nada bicara Boby yang tidak ramah, Patra jadi takut, seketika dia menciut.

"Kak Boby dan Kak Naual kenapa sih hari ini." Bisiknya pelan. Namun sepelan apapun itu, Boby masih bisa mendengarnya.

"Naual kenapa?!"

Patra sampai kaget karena suara Boby.

"Kak Naual tadi badmood seharian kak. Aku aja kena hukum, padahal aku nggak salah apa-apa."

Heh, salah heh.

"oh, dia nggak ada bilang apa-apa soal aku gitu?"

"Hah? Soal kak Boby? Nggak ada. Emang kakak dengan kak Naual ada apa?"

Boby menggeleng cepat, dan segera masuk ke mobilnya, meninggalkan Patra yang berdiri sendirian, kebingungan di parkiran.

"Eh, kok aku ditinggal gitu aja. Apa sih? Ada apa sih hari ini?"




Patra merasa kakinya akan putus. Hari ini Naual menghukumnya lagi. Ya sebenarnya Patra juga yang salah, tau Naual masih badmood, malah diajak bercanda. Naual pun menghukumnya lari mengelilingi lapangan lagi. Hari ini tepat seminggu dia dihukum oleh Naual.

Parkiran entah kenapa rasanya jauh sekali hari ini, Patra takut kakinya putus sebelum sampai di parkiran.

"Patra?" Boby yang kebetulan sedang menuju parkiran menghampiri Patra.

Perasaannya agak kasihan melihat keadaan anak itu, kakinya gemetaran karena kelelahan.

Patra merasa seperti melihat malaikat, "Kak Boby." Jangan lupakan sinar matanya yang berkilauan.

Boby sebenarnya enggan memapah Patra. Tapi dia ini kakak tingkat yang baik, dia tidak mungkin membiarkan Patra jatuh pingsan karena lemas di jalan.

Setelah mendudukkan Patra ke bangku terdekat, dia membuka ranselnya, mencari salonpas yang memang dibawanya setiap hari. Dia kemudian memberikannya pada Patra untuk dipasang sendiri. Hei, dia tidak mau berlutut untuk memasangkannya di kaki Patra. Membayangkan nya saja Boby sudah merinding.

"Kamu kenapa lagi hari ini?"

"Dihukum sama kak Naual."

"Perasaan kemarin kamu juga dihukum."

Patra membalasnya dengan cengengesan, "Soalnya kak Patra badmood terus, kaya lagi PMS aja."

"Sekarang aku ngerti kenapa Naual menghukummu."

Patra kembali cengengesan.

"Oh ya, kak Boby beberapa hari ini sibuk ya? Aku dengar Fakultas Teknik akan ada acara Pensi ya?"

Boby mengangguk mengiyakan. Sebenarnya dia ingin menunggui Naual seperti biasa. Tapi mereka sedang bertengkar, ditambah perencaan acara Pensi yang akan datang ini betul-betul menyita waktunya.

"Pantesan kak Naual badmood. Kak Naual kesepian ternyata."

Okey, Boby agak senang mendengar itu. Tapi dengan segera dia mengusir rasa senang itu, takut kepedean.

"Nggak, dia kan punya kalian. Nggak mungkin dia kesepian. Apalagi ada kamu yang selalu disebelahnya."

Patra sontak memalingkan pandangannya pada Boby. Boby pun segera menutup mulutnya.

Yang tadi itu terdengar seperti curhat.

"Kak Bob. Kakak iri?" Senyuman Patra mengembang lebar. Boby yang melihatnya jadi takut. Kepalanya menggeleng kencang, berusaha setengah mati untuk meyakinkan Patra kalau anggapannya itu salah.

Selanjutnya diisi oleh Patra yang tertawa kencang sambil menggoda Boby. Semakin Boby menyangkal, semakin semangat Patra menggodanya. Rasanya Boby mau melempar anak ini, menyesal sudah membantunya.

Patra yang sudah selesai dengan sesi tawa histerisnya menyeka air mata yang menggantung di matanya.

"Nggak papa kak Boby. Aku ngerti kok perasaan kakak. Kalau misalnya orang yang kusuka dekat dengan orang lain, aku juga marah kok."

Kali ini Boby yang kaget. Dari mana anak ini tahu?

Patra teresenyum lebar lagi, "Akhirnya aku paham kenapa kak Boby selalu marah kalo ada aku di dekat kak Naual."

Anak ini cenayang ya? Kenapa dia bisa menebaknya secepat ini. Padahal Naual saja sampai sekarang tidak sadar dengan perasaan Boby.

"Aku juga ada pacar loh kak. Kakak kenal nggak Kak Danesh? Anak Kedokteran."

"Kamu pacarana sama kak Danesh?" Patra mengangguk semangat. Bisa berpacaran dengan Danesh adalah hal terbaik yang pernah dia dapatkan dalam hidupnya.

"Bisa-bisanya kak Danesh suka kamu. Heran."

"Heh."

Boby dan NaualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang