13. Haruskah 'Kita', Membalas Dendam Bersama, Hari Ini?

5 1 0
                                    

Lantunan No. 9 D Minor - Johannes Brahms, meraung sampai keluar dari sebuah bangunan mewah bertingkat tiga, dengan desain klasik yang memukau. Fasadnya yang megah dihiasi oleh pilar-pilar marmer yang tinggi, menyeimbangkan dengan kesempurnaan arsitektur. Dua wanita kembar yang berjalan dituntun high heels merah mengharmoniskan setiap langkah, menaiki tiga tangga menuju teras rumah dengan susah payah.

Kedatangan mereka disambut baik. Sang pemilik rumah nampak melibatkan sukacitanya kepada Si Kembar Lily. Seorang wanita bertubuh sedikit besar, muncul dengan kehadiran yang menghias pemandangan. Melalui senyum lebar yang menampakkan double chin mengelilingi seluruh wajahnya, wanita yang melindungi tubuhnya dengan cardigan putih mengeluarkan percikan sinar yang mentereng, terikat satu sama lain, dan rok hitam mengembang yang menghapus jejak kaki kemana dia pergi, memeluk tubuh Winata yang kecil melepas rasa kerinduan yang telah lama hilang selama belasan tahun. Semerbak aroma bunga lilac yang harum, mulai disiasati.

"Lily!!!" Tangis haru pecah di pelukannya. Kehangatan kembali terasa. Mengingatkan kenangan indah, saat menghabiskan sebagian waktu mereka di rumah ini.

Sudah lama sekali.

Dia mendesah, "Dulu tubuhmu sangat bau. Sekarang, aroma dari tubuhmu... Ah... Pasti Lilac yang cantik."

Perlahan, Winata melepaskan pelukannya. Ternyata, teman semasa kecilnya sama sekali tidak berubah. Tetap berdiri pada jati dirinya. Seutas senyum yang melampirkan rasa rindu yang mendalam, Rinata menjadi saksi bagaimana rasanya mempersatukan kembali, Winata dengan Sarah sehabis melakukan penghilangan diri selama bertahun-tahun.

Masih ingat dengan Sarah? Teman seperjuangan ketika memperjuangkan membeli banyak makanan di pagi hari yang awal, demi menjauh dari senior-senior yang akan mengambil semua hal dari Sarah... Dan, Winata. Walau sebagian dari mereka tahu kalau, Winata tidak memiliki apa-apa dan hanya bergantung pada Sarah.

"Akhir-akhir ini, aku suka harum bunga lilac." Katanya, sembari menyunggingkan senyumnya.

"Ya, benar. Lavender, lilac. Tahta tertinggi dalam kasta bunga yang harum."

Sarah mengalihkan perhatiannya. Memegang kedua tangan Winata yang berbalut jas merah maroon memenuhi sekujur tubuh. Matanya terperangah begitu melihat ikat pinggang hitam yang senantiasa melampirkan pinggang Winata yang ramping.

"Waaah! Vraiment magnifique!"

Dalam bahasa Prancis, dia memuji. Yang artinya, luar biasa indah. Dia melafalkan selayaknya benar-benar orang Prancis. Maklum, Sarah menghabiskan separuh hidupnya tinggal di Paris, menempuh perjalanan yang sangat panjang sebagai perancang pakaian.

"Pinganggmu, tubuhmu. Kenapa tubuhmu bisa ideal begini? Padahal kau dulu kalau memakai celana jeans, harus berusaha sekuat tenaga." Dia terus terpukau melirik sekujur tubuh Winata. Teringat akan sebuah peristiwa di kamar Sarah, ketika mereka berdua memakai jeans yang ketat, dengan susah payah mengempiskan perut buncit mereka, agar kancing yang terpisah bersatu.

"Entahlah, mungkin yang dulu adalah orang lain yang menyamar sebagai diriku."

"Kau sama seperti dulu. Selalu membicarakan penampilanku. Sampai lupa, setelan apa yang cocok untukku hari ini."

Winata mengalihkan perhatiannya. Membuyarkan seluruh lamunan terpesona pada dirinya.

"Ah iya! Aku lupa! Hahahaha!" Tawa Sarah pecah seketika, menandingi suara musik.

"Ayo masuk! Kali ini, setelan yang ku rancang akan membuat kalian bersinar terang, layaknya putri bangsawan menemui rakyat jelata."

Katanya, seraya meluapkan perasaan emosional yang cukup mendalam, menggambarkan dua wanita bagai putri bangsawan terpandang berada di hadapannya.

~

"Astaga! Demi Tuhan!"

Sambil memutar gaun yang melambai dari pinggang hingga ujung kaki, Rinata tercengang tidak percaya, begitu indah mahakarya yang dirancang selama beberapa waktu. Dengan perasaan sepenuh hati, sukarela, penuh cinta bertaut kasih sayang, menjadi dua bagian dalam warna berbeda. Yang akan membuat keduanya sendiri bersinar terang, bagai bulan menyinari kegelapan.

"Ini kakak sendiri yang merancangnya!?"

Rinata terus memutar tubuhnya di depan cermin, masih terpaut akan keelokan gaun hijau tua yang memiliki motif polkadot putih, mengusung konsep wanita retro, yang masih hidup di abad ke-21.

Terlihat dari matanya, Sarah sedikit tersinggung, menyandarkan tubuhnya ke pilar dan menyilangkan kedua tangannya. "Kenapa? Kau meragukan keahlianku?"

Rinata tertawa, buru-buru mencari solusi untuk mencairkan suasana agar tidak jatuh ke dalam situasi menegangkan, akibat pertanyaan candaan yang bisa berujung pertikaian.

"Bukan begitu. Maksudku... Di sini, mengapa aku terlihat seperti anak muda? Padahal aku sendiri sedang mengandung."

"Apa kau lupa? Inilah keahlianku. Aku bisa membuat seluruh orang, membayangkan dirinya seolah-olah dia dari bangsawan."

"Flawless, elegant, classics... Itulah moto hidupku."

Menjelaskan dengan rasa suka hati, ia menuturkan setiap kata dalam gerakan tangan mengikuti alur.

"Ah sial. Mengingat perjuanganku menjadi designer perawan tua, mereka-mereka itu sangat menyebalkan."

"Siapa?" Rinata mengernyit.

"Siapa lagi, kalau bukan para designer muda yang menghancurkan mimpiku, hanya karena design ku terlalu kuno."

Ketukan suara dari sepatu hak tinggi, mulai bersahutan memberikan sebuah irama yang merdu, di setiap ketukannya.

"Persetan! Padahal mereka yang buta. Tidak tahu apa nilai konsep dari retro."

Hingga, dibalik seseorang yang melangkahkan kakinya penuh ketegasan, memutus sebuah pembicaraan mengenai dendam lama yang belum terbalaskan.

"Haruskah, kita balas dendam hari ini?"

Kedua degup jantung dari tubuh yang berbeda, berdetak lebih kencang dari biasanya. Memandang kilauan seorang wanita yang menerangi ruangan sampai titik ujungnya, mereka berdua tidak bisa berhenti melongo, tidak bisa merangkai kata-kata. Seperti mendadak bisu, memikirkan rangkaian kata apa yang sangat indah setiap satu demi satu. Dan, rangkaian kata yang bagaimana setiap katanya memiliki makna yang cantik, untuk ditujukan kepada Wanita Bangsawan.

Gaun biru cerah melambangkan laut bersama kehidupannya, mengambang di daratan. Bernapas, selayaknya bisa hidup kemana saja, dia pergi membawa kehidupannya. Warna biru, bagian dada ditutup oleh kancing bundar warna hitam yang membentuk seperti jas, serta bagian lengan hanya sampai setengah dari tangannya. Bukan tentang gaun saja yang memiliki sejuta keindahan dalam setiap detailnya. Tetapi, juga dengan lekukan tubuhnya. Yang membentuk huruf V sempurna, melibatkan pinggang dengan sentuhan bagian yang mekar ke bawah, dan terbentuk lah siluet A-line secara sempurna bersamaan.

Tidak ada kilauan dari berlian-berlian mewah yang terikat di gaun itu. Namun, Winata berhasil membuatnya bernilai, lebih dari kilauan berlian.

Sementara, kedua wanita yang masih nyaman terperanjat oleh sosok Winata, belum bisa menemukan kata-kata bermakna untuk seseorang yang cantiknya, tidak bisa diungkapkan sebuah kata.

"Haruskah, aku yang membalaskan dendam kita semua, hari ini?"

Seringai kejahatan penuh dendam membara, yang masih tertanam lebih dalam di kenangan pahit, muncul menengahi wajah yang anggun dan berseri. Mengunci kedua mulut agar berhenti memikirkan rangkaian kata yang indah, hingga membuat keduanya saling tenggelam di lautan pikiran.

Seperti psikopat keji, kepala Winata sengaja ia miringkan ke kiri, menatap Sarah dengan alis kanan yang mengernyit ke atas. Benar-benar aura wajah yang mengerikan, bersampul kecantikan.

"Kau manusia?"

Yang berujung, Sarah hanya bisa memberinya pertanyaan dibalik kiasan.

~

From Walkman To SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang