21. BLOOM

73 16 0
                                    

"Eza udah buat keputusan pi."

Steven menegakkan kepalanya menatap lurus pada sang ayah, ia tahu apa yang akan ia lakukan. Ia sudah di tahun terakhir sekolahnya sekarang, jadi ia menyiapkan diri dengan mendaftar beasiswa seni musik di luar negeri. Kenapa luar negeri? Steven merasa lebih bebas jika mendaftar kuliah dengan jurusan ini disana.

"Eza udah dapet beasiswa untuk ini, setelah kelulusan nanti Eza bakal pergi ke California."

Steven menunjukkan ponselnya pada Gibran, disana tertera jika Steven mendapatkan berhasil menjadi salah satu penerima beasiswa.

"Mami juga udah setuju, jadi Eza mohon pi, biarin Eza kesana."

Gibran menghela nafas, ia menatap Steven intens.

"Terus, kamu mau ninggalin Adelia?"

"Jangan tinggalin gue "

Suara Adelia terngiang di kepala Steven ketika ayahnya menanyakan hal itu. Steven juga tidak mau, tapi Steven tidak mau melepaskan kesempatan ini juga.

"Jangan egois, kamu mau tetap disini atau kejar cita-cita kamu?"

"Eza tetep akan kesana."ucap Steven mantap.

Ayah biologis laki-laki itu hanya terdiam, ia menatap putranya dengan sorot yang tak dapat Steven artikan. Beberapa menit hening menyelimuti mereka, membiarkan Steven merenungi semua yang ia pikirkan.

Gibran sedikit mengangkat dagunya, "Kalau kamu tetap mau kesana, jangan beri tahu siapapun dan disana kamu tidak boleh menghubungi teman kamu yang ada disini."

Mata Steven membulat "Maksud papi apa?"

"Cuma itu permintaan papi, kalau kamu sanggup papi ijinkan kamu pergi dan papi akan bantu biaya kamu disitu. Papi tau uang beasiswa aja gak akan cukup untuk hidup disana."

Steven berusaha menahan emosinya yang datang, Gibran memberikan syarat yang sangat aneh.

"Jangan beri tahu siapapun, terutama Adelia."

"Papi—"

"Kalau kamu mau pergi, kamu harus relakan Adelia. Jangan biarkan dia menunggu kamu disini." ucap Gibran sembari memalingkan wajahnya.

"Tapi papi sendiri kan yang jodohin aku sama Adelia? kenapa cuma karena ini papi mau misah—"

"Papi hanya tanya, kamu setuju atau tidak?"potong Gibran dengan nada yang meninggi.

Steven menatap ayahnya dengan aura permusuhan. Hanya sebentar disana, setelah itu Steven bisa kembali dan memeluk Adelia. Dengan begitu, Steven akan menyetujui syarat ayahnya. Laki-laki Dikta itu mengangguk mantap. Steven bisa.

"Eza setuju."

o0o

Steven tersenyum kecil melihat Adelia yang semangat mengambil satu cup minuman kesukaannya, matcha.

"Lo masih ada hutang matcha latte sama gue sampe 5 tahun kedepan."ujar Adelia.

Iya, bagaimana Steven bisa lupa.

Hari ini cukup melelahkan bagi mereka berdua menjalani 9 jam penuh di sekolah. Apalagi mereka sekarang sudah di tahun terakhir, dan banyak sekali pertimbangan-pertimbangan untuk masa depan yang dibahas. Jadi sepulang sekolah Steven dan Adelia memilih untuk membeli minuman dingin yang menyegarkan dan beberapa jajanan sebelum pulang kerumah dan menyantapnya di rumah Adelia—Steven bilang ingin sekalian belajar.

"Iya, kan gua sendiri yang udah janji."jawab Steven sembari mengaduk minuman manisnya dengan sedotan.

"Jangan jauh-jauh dari gue lah Steve, biar gue gampang nagihnya."

Bloom Bloom || SooliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang