23. BLOOM

54 12 7
                                    

"Lo masih gak mau ngaku kalah?"

Steven mengangkat satu alisnya sembari memiringkan kepala, kalah apa lagi yang pecundang ini katakan.

"Paan dah, sorry ye, gue gak pernah kalah."ucap Steven songong.

"Cih, dengan lo sepakat pergi dari sini aja lo udah kalah."

"Bisa gak cocot lo itu ngomongnya gak belibet? tudep aja njing."

Jenda tertawa meledek, "Tenang aja, selama lo di sana nanti gue bakal selalu jaga Adelia."

Jemari Steven yang tadinya menggantung tenang kini mengepal kuat dengan hatinya yang mulai panas dan berusaha menahan tangannya yang mulai terasa ringan untuk dilayangkan.

Steven menghela nafasnya, "Gue gak akan pernah biarin lo deket Adelia, bahkan saat gue gak di sini sekalipun."

"Kita lihat nanti."

"Lihat apa yang bisa lo perbuat nanti."balas Steven.

Jenda pergi dari hadapan Steven, mungkin menjadi hobi baru Jenda untuk menemuinya ketika Steven sendiri, tak jarang juga laki-laki itu mengancam Steven lewat ponselnya. Itu hanya bualan tidak berguna bagi Steven, walaupun jauh dari alam sadarnya ia merasa takut ia takut tidak cukup hebat untuk membuat Adelia tetap terikat padanya. Yang ia rasakan dengan sadar hanya takut gadis itu mengalami hal yang tidak mengenakkan seperti sebelumnya. Steven tidak mau hal buruk terjadi pada Adelia, jika Adelia menemukan orang lain yang lebih pantas untuk Adelia mungkin Steven akan ikhlas asalkan bukan Jenda orangnya.

Steven menunduk menatap ujung sepatunya, biasanya dari penglihatannya seperti ini ia akan bisa melihat wajah Adelia yang menyembul dengan raut menggemaskan tanpa dibuat-buat. Bayangan gadis itu selalu ada di kepalanya, dan Steven harap tetap begitu.

"Dari mana Jenda tau semua keputusan gue?"gumam Steven.

Sepertinya mantan pacar Adelia itu memang gila.

......

Adelia sedang duduk di tempat tidurnya, dengan sebuah buku catatan kecil yang ia baca dan sebuah plester penurun panas yang menempel pada dahinya.

"Bisa bisanya gue sakit sebelum ujian biologi."gerutu Adelia.

Adelia paling tidak bisa mendapatkan angka kecil pada hasil ujiannya. Jika suatu hari ada angka kecil itu, mungkin Adelia akan jatuh sakit dengan naas nya.

Gadis itu terfokus pada tulisan dan tabel yang ia catat pada kertas seukuran telapak tangannya. Kepalanya semakin sakit dan gendang telinganya terasa berdengung. Tiba-tiba buku yang ia pegang melayang hilang dari pandangannya dan semakin membuat matanya sakit.

"Orang sakit itu tidur, kan udah gue bilangin dari kemarin kemarin jangan belajar sampe malem, lo itu udah pinter. Kalau begini siapa yang susah? udah masuk minggu ujian, dan lo bukannya istirahat biar sembuh malah belajar. Kepala lo makin sakit kan, nah badan lo juga makin panes, ngeyel banget dibilangin. Nurut bentar kenapa sih li?"

"Lo kok ngomel sih?"ucap Adelia cemberut.

Steven menghela nafasnya, Adelia ini keras kepala sekali bahkan saat demam begini ia masih ambisius untuk mengejar nilai 100. Padahal jika belajar 10 menit sebelum ujian mulai, Adelia masih bisa mendapatkan nilai sempurna. Steven mengelus rambut Adelia yang diikat asal-asalan ke belakang.

"Kalau lo sakit pas ujian mulai gimana? gimana kalau lo ga bisa jawab? sia sia kan lo belajar pas sakit begini. Lagian lo udah sering belajar, ga mungkin ga ada satupun materi yang nyangkut di kepala lo."

Adelia menatap Steven dengan wajah cemberutnya, laki-laki itu terlihat khawatir sekali bahkan ia belum mengganti seragam sekolahnya.

"Udah, ayo makan."

Bloom Bloom || SooliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang